Rentetan Kekhawatiran Jika Jokowi Tak Terbitkan Perppu KPK

Rabu, 09 Oktober 2019

Forum Diskusi 'Habis Demo Terbitkah Perppu' mengkritisi soal Perppu KPK.

GILANGNEWS.COM - Pegiat antikorupsi Emerson Yuntho membeberkan pelbagai kemungkinan buruk jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mencabut revisi UU KPK.

Ia menyebut salah satu yang bakal terjadi adalah potensi penurunan operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK.

"Jangan sampai OTT Bupati Lampung (Bupati Lampung Utara Agung Ilmu Mangkunegara) ini jadi yang terakhir," kata Emerson di tengah diskusi mengenai 'Habis Demo Terbitkah Perppu' di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (8/10).

Kekhawatiran itu muncul lantaran dalam revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang baru saja diketok itu memuat ketentuan setiap penindakan harus atas seizin Dewan Pengawas.

"OTT Pasti jarang, karena semua mekanisme penyadapan harus lewat izinnya Dewas. Proses penyitaan dan penggeledahan juga mungkin akan jarang, sebab harus lewat Dewas. Yang jelas, aspek penindakan nanti akan turun drastis itu," kata Emerson yang sebelumnya aktif di LSM Indonesia Corruption Watch (ICW).

Ia menerangkan sebagian pengungkapan kasus di KPK seperti penyuapan selama ini terungkap dari penyadapan. Sedangkan dalam perundangan yang baru saja disahkan, proses penyadapan harus melalui izin Dewan Pengawas.

Selain itu, Emerson juga khawatir sejumlah pengusutan kasus dugaan korupsi juga terancam dihentikan. Perkiraan ini mengingat perundangan baru yang memuat kewenangan penghentian perkara melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

"Konsekuensi yang lain, beberapa kasus lain yang belum tuntas misalnya Emirsyah Satar, RJ Lino dan lain sebagainya, potensi di-SP3 gede. Kalau tidak ada Perppu ya. Karena sekarang kan KPK tidak punya kewenangan SP3," jelas dia.

Kekhawatiran serupa pernah diungkap penyidik KPK Novel Baswedan.

Ia menjelaskan, ada perbedaan karakteristik setiap kasus korupsi. Menurutnya, memang terdapat pengusutan perkara yang membutuhkan waktu lebih lama dibanding perkara lain.

Contohnya, kata Novel, penyidikan kasus korupsi e-KTP membutuhkan waktu dua sampai tiga tahun. Sebab menurutnya, penghitungan keuangan negara perlu dilakukan secara mendetail dan sebaran di seluruh Indonesia harus diperiksa.

"Auditor pemeriksa kerugian keuangan negara butuh waktu 2 tahun untuk menyelesaikan itu. Belum lagi pemeriksaan saksi-saksi yang banyak dan lain-lain," jelas Novel saat ditemui wartawan pada pertengahan September 2019.

Ia risau kewenangan penerbitan SP3 yang kini masuk salah satu pasal revisi UU KPK justru akan membuka celah transaksional.

"SP3 ini membuka peluang intervensi, kalau perkara sedang berjalan dan ada orang yang berkepentingan dengan perkara itu maka bisa saja kemudian melakukan tekanan dan lain-lain sehingga ada tools untuk mengakomodir intervensi tersebut dengan SP3. Bukankah itu bahaya?" tukas Novel.

Ragukan Uji Materi MK

Emerson menilai penerbitan Perppu berisi pencabutan revisi UU KPK ini penting ditempuh Presiden Jokowi.

"Jadi satu-satunya penyelamat menurut saya adalah Pak Jokowi. Enggak ada yang lain," ujarnya.

Dia pun meragukan mekanisme uji materi atau judicial review di Mahkamah Konstitusi, upaya lain membatalkan revisi UU KPK. Sebab menurutnya, komposisi MK memuat tiga unsur yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Emerson membayangkan masa depan pemberantasan korupsi bakal suram tanpa penerbitan Perppu KPK. Selain karena revisi UU KPK yang saat ini bermasalah, ia pun meragukan kesungguhan pimpinan KPK terpilih untuk menindak kasus korupsi.

"Arah ke depannya KPK akan jadi komisi pencegahan Korupsi, bukan pemberantasan. Kalau kita lihat pernyataan Pak Firly [ketua KPK terpilih], dari tujuh program yang dipersentasikan ke DPR itu upaya penindakan penegakan hukum itu nomor tujuh," ungkap Emerson.

"Dengan UU KPK yang sekarang, ditambah pimpinan yang sekarang itu lebih senang pencegahan maka pemberantasan korupsi akan jadi 'madesu', masa depan suram," kata dia lagi.

Dengan rentetan kekhawatiran tersebut, Emerson berharap Jokowi mendengarkan masukan Koalisi Masyarakat Sipil, juga pegiat antikorupsi dan para akademisi. Ia meminta Jokowi mengabaikan desakan sejumlah elite partai politik.

"Sebaiknya Pak Jokowi mengabaikan saja desakan Parpol, karena dia adalah presiden Indonesia, rakyat Indonesia."

Emerson mengungkapkan jika tuntutan masyarakat sipil ini diabaikan, maka tak menutup kemungkinan akan ada aksi-aksi lanjutan untuk turun ke jalan. Selain menggunakan cara-cara akademik, misalnya mendorong Perppu dengan menyodorkan sejumlah argumentasi.

Penerbitan Perppu KPK menurut dia, merupakan langkah paling tepat dan sesuai konstitusi.

"Perppu ini juga jadi bagian korektif dari Pak Jokowi untuk memperbaiki kesalahan dalam proses pembahasan revisi UU KPK yang menurut kami tidak transparan, tidak akuntabel dan terkesan ditutup-tutupi."