KPK, Jokowi, dan Lunturnya Kepercayaan Publik

Sabtu, 19 Oktober 2019

GILANGNEWS.COM - Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bakal melantik Joko Widodo dan Ma'ruf Amin sebagai pasangan presiden dan wakil presiden periode 2019-2024. Momentum itu bakal menjadi langkah lanjutan bagi Jokowi menyelesaikan berbagai persoalan bangsa yang belum diselesaikan pada periode pertama pemerintahannya.

Sejumlah tantangan menanti Jokowi-Ma'ruf di depan. Mulai dari kian melemahnya kepercayaan publik pada Jokowi, hingga sosok-sosok menteri yang dianggap gagal dalam Kabinet Indonesia Kerja jilid I.

Legitimasi masyarakat terhadap Jokowi mulai luntur, terutama dalam sebulan terakhir. Padahal, kurun waktu 30 hari belakangan ini adalah masa-masa transisi pemerintahan periode pertama ke priode kedua.

Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komaruddin menuturkan melunturnya legitimasi rakyat kepada Jokowi menjadi tantangan terbesar dalam menyongsong pemerintahan periode kedua. Ia menyebut masyarakat mulai tidak mempercayai kemampuan Jokowi dalam memimpin pemerintahan maupun sebagai kepala negara.

"Tantangan pertama yang akan dihadapi oleh Jokowi di periode kedua adalah legitimasi politik. Kita ketahui masyarakat mulai tidak percaya dengan Jokowi," ujar Ujang kepada wartawan beberapa waktu lalu.

Ujang mengatakan melemahnya legitmasi terhadap Jokowi ditandai lewat demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh mahasiswa, pelajar, aktivis, buruh, dan masyarakat dalam sebulan belakangan ini.

Pangkal dari demo itu, ia berkata, karena Jokowi dianggap 'bersekongkol' dengan DPR untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi lewat revisi UU KPK dan mengesahkan sejumlah rancangan UU bermasalah. Belum lagi RKUHP yang meski akhirnya ditunda, namun sempat menjadi 'barang panas' yang memicu aksi demonstrasi berujung kerusuhan.

Ujang menuturkan demonstrasi, khususnya yang melibatkan mahasiswa dan pelajar harus mendapat perhatian serius dari Jokowi. Sebab demonstrasi yang secara masif untuk menekan pemerintah, baru terjadi kembali pascareformasi.

Pudarnya legitimasi dari masyarakat ini tak bisa dianggap sebelah mata oleh Jokowi. Melemahnya legitimasi terhadap Jokowi akan membuat masyarakat bersikap acuh tak acuh. Masyaraka akan bertindak dengan semaunya karena merasa pemerintaha di bawah kendali Jokowi juga bertindak seenaknya.

"Pemerintahan yang tidak dipercaya rakyat, yang legitimasinya lemah, masyarakatnya tidak suka, itu cenderung akan terjadi kekacauan," ujarnya.

Selain karena pengesahan revisi UU KPK dan UU bermasalah, kacaunya penegakan hukum juga memantik masyarakat untuk menghapus kepercayaannya terhadap Jokowi. Ia menuturkan sebagain publik merasa demokrasi di Indonesia tidak berjalan karena penegakan hukum tidak dilaksanakan secara adil.

"Negara-negara di Eropa demokrasinya jalan karena penegakan hukumnya tidak tebang pilih," ujar Ujang.

Atas dasar situasi itu, Ujang merasa janji Jokowi untuk mereformasi sistem dan proses penegakan hukum sulit terealisasi. Selain itu, janji mengaktualisasikan demokrasi Pancasila di tengah masyarakat juga bakal menjadi isapan jempol belaka.

"Saya ragu janji yang hendak dicapai Jokowi bisa terwujud jika situasi saat ini masih ada di periode mendatang," ujarnya.

Untuk menyelesaikan persoalan itu, Ujang menyarankan Jokowi membuktikan pernyataan 'tidak ada beban' di periode kedua pemerintahannya. Sebab, ia menafsirkan pernyataan itu bahwa Jokowi sudah tidak dapat diintervensi oleh parpol pendukungnya dalam mengambil kebijakan.

Jokowi diharapkan mampu menertibkan partai yang membandel dalam koalisi arah pemerintahan ke depan bisa berjalan dengan lebih baik.

"Kalau tidak ada beban, buktikan. Bahwa dengan sistem presidensial artinya presiden tidak bisa diatur oleh parpol. Tapi persoalannya di negara kita sistemnya presidensial, tapi presidennya masih diatur partai politik," ujar Ujang.

Walaupun demikian, Jokowi mengatakan bahwa Indonesia tidak kekurangan orang hebat. Banyak yang mampu memimpin kementerian dan lembaga.

Mereka, lanjutnya, juga senantiasa bersedia mengabdi kepada negara. Jokowi mengatakan orang-orang hebat itu berasal dari berbagai kalangan.

"Mereka terserak di semua bidang pekerjaan dan profesi: akademisi, birokrasi, politisi, santri, juga TNI dan polisi," ujarnya.

Konflik Internal Koalisi

Pengamat politik Exposit Strategic Arif Susanto menambahkan Jokowi dalam periode keduanya akan dihadapkan pada tantangan ekonomi dan politik. Di bidang ekonomi Indonesia akan menghadapi resesi jika defisit keuangan negara terus terjadi.

Ia berpendapat persoalan itu sebenarnya bisa diatasi dengan mendongkrak pendapatan dari sektor pajak yang saat ini belum optimal. Akan tetapi, penekanan pajak bisa membuat ruang fiskal menjadi terbatas.

"Itu pilihan yang tidak mudah bagi Jokowi dalam jangka pendek," ujar Arif.

Sementara di bidang politik, Arief menilai Jokowi akan menghadapi perseteruan di internal koalisi saat menentukan kabinet yang baru. Sebab Jokowi tidak mungkin mengakomodasi semua kepentingan.

Salah satu bukti awal ada perseturan terlihat dari hubungan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri dengan Ketum Partai NasDem Surya Paloh yang merenggang belakangan ini. Situasi itu diduga terjadi karena perebutan porsi dan pos kementerian dalam Kabinet Indonesia Kerja jilid II.

Situasi Jokowi terbilang sulit. Dia bakal berhadapan dengan parpol oposisi yang memanfaatkan situsai publik yang kecewa dengan kebijakan pemerintah saat ini, misalnya terkait dengan revisi UU KPK.

Sebaliknya, Jokowi juga akan berhadapan dengan parpol koalisi jika menolak revisi UU KPK lewat Perppu. Mengingat parpol koalisi yang menjadi inisiator revisi UU itu.

"Di luar itu adalah friksi politik mungkin akan muncul sebagai dampak bahwa seluruh kekuatan politik yang ada itu berlomba-lomba untuk memacu supaya mereka bisa start lebih awal berhadapan dengan kompetisi di tahun 2024," ujarnya.

Di sisi lain, Arif meragukan komitmen Jokowi untuk mewujudkan pencegahan dan pemberantasan korupsi. Sebab, ia menilai Jokowi merupakan sosok yang membingungkan karena selalu gagal membuat langkah progresif terkait isu anti korupsi di tengah kepercayaan publik yang tergolong tinggi.

"Lalu, Jokowi juga apologetic dalam arti suka ngeles. Seolah-olah ketika ada problem itu dia tidak menjadi masalah itu. Dalam revisi UU KPK misalnya bahwa opini publik digiring bahwa yang salah DPR," ujar Arif.