Putusan MK: Penarikan Barang Leasing Harus Melalui Pengadilan

Senin, 13 Januari 2020

Mahkamah Konstitusi memutuskan penarikan barang leasing kepada kreditur tak boleh dilakukan sepihak, melainkan melalui pengadilan.

GILANGNEWS.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penarikan barang leasing kepada kreditur tak boleh dilakukan sepihak melainkan harus melalui pengadilan. Hal ini telah diputuskan dalam sidang pengucapan putusan di MK, 6 Januari lalu.

"Dalam putusan menyatakan tidak boleh lagi ada penarikan barang leasing langsung kepada kreditur," ujar juru bicara MK Fajar Laksono saat dikonfirmasi wartawan, Senin (13/1).

Fajar menyebutkan, selama ini banyak kasus penarikan langsung barang leasing melalui pihak ketiga seperti debt collector atau penagih utang. Cara penarikannya pun kerap dilakukan sewenang-wenang.

"Misalnya, debt collector melakukan langsung kepada kreditur di mana pun, kapan pun, seperti banyak kasus selama ini," katanya.

Dalam putusan bernomor 18/PUU-XVII/2019, MK menyatakan selama ini tak ada tata cara pelaksanaan eksekusi atau penarikan barang leasing jika kreditur melewati tenggat pembayaran. Akibatnya muncul paksaan atau kekerasan dari orang yang mengaku sebagai pihak yang mendapat kuasa untuk menagih pembayaran tersebut atau kerap disebut debt collector.

Sementara, jika merujuk ketentuan eksekusi yang diatur Pasal 196 HIR atau Pasal 208 Rbg menyebutkan, eksekusi tidak boleh dilakukan sendiri oleh kreditur--atau dalam istilah hukum disebut sebagai penerima fidusia atau penerima hak, melainkan harus mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri.

"Jika terjadi cedera janji atau wanprestasi, eksekusi jaminan fidusia tidak boleh dilakukan sendiri oleh penerima fidusia (kreditur), melainkan harus dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri," ucap hakim seperti dikutip dari putusan yang diunggah di website MK.

Janji ini merujuk pada kesepakatan antara pihak leasing dengan kreditur.

Menurut hakim, ketentuan ini diputuskan demi memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan antara pihak leasing dengan kreditur serta menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan eksekusi.

Perkara ini berawal dari gugatan dua orang wiraswasta yakni Apriliani dan Suri Agung Prabowo yang merasa dirugikan dengan tindakan paksa pengambilan mobil Toyota Alphard V oleh PT Astra Sedaya Finance (ASF).

Sebelumnya, pemohon melakukan perjanjian pembiayaan multiguna atas pembelian tersebut dengan kewajiban membayar utang ke ASF senilai Rp222.696.000 dengan cicilan selama 35 bulan terhitung sejak 18 November 2016.

Selama 18 November 2016-18 Juli 2017 pemohon telah membayarkan angsuran secara taat. Namun pada 10 November 2017, ASF mengirim perwakilan untuk mengambil kendaraan pemohon dengan dalil wanprestasi.

Pemohon kemudian mengajukan surat pengaduan atas tindakan yang dilakukan perwakilan ASF. Namun aduan itu tidak ditanggapi hingga akhirnya pemohon mengambil langkah hukum dengan mengajukan perkara ke Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan pada 24 April 2018 dengan gugatan perbuatan melawan hukum. Pengadilan mengabulkan gugatan dengan menyatakan ASF telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Namun pada 11 Januari 2018, ASF kembali melakukan penarikan paksa kendaraan pemohon dengan disaksikan pihak kepolisian.

Menurut pemohon, penarikan ini tetap dilakukan karena ASF berlindung pada ketentuan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 tentang Jaminan Fidusia yang menyebut bahwa kekuatan eksekutorial sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pemohon juga mempersoalkan Pasal 15 ayat (3) yang menyebut, apabila debitur-- dalam hal ini adalah pihak leasing cedera janji, maka kreditur punya hak menjual benda yang menjadi objek jaminan atas kekuasaannya sendiri.

Ketentuan itu dianggap pemohon tak memberi kepastian hukum yang adil dan perlindungan terhadap hak milik pribadi pihak leasing. Di sisi lain, aturan itu juga tak menjelaskan kedudukan sertifikat jaminan milik leasing jika dihadapkan dengan putusan pengadilan, mekanisme dan prosedur penyitaan, serta mekanisme untuk menentukan tindakan jika terjadi wanprestasi.

Oleh karena itu, menurut hakim, segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi itu harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.