Pakar Soal Kerajaan Palsu: Motif Ekonomi dan Ilusi Kebesaran

Ahad, 19 Januari 2020

Lambang dua kerajaan fiktif, Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire.

GILANGNEWS.COM - Kemunculan berbagai kerajaan palsu di Indonesia dinilai sebagai bentuk fenomena masyarakat yang ingin mendapat solusi praktis terkait masalah ekonomi sekaligus berharap lebih dihargai. Tren kepercayaan warga pada hoaks dianggap punya andil.

Diketahui, ada sejumlah kerajaan fiktif yang belakangan terungkap. Di antaranya, Kerajaan Agung Sejagat di Purworejo, Jawa Tengah (Jateng), Kerajaan Jipang di Blora, Jateng, dan Kerajaan Sunda Empire di Bandung, Jawa Barat (Jabar).

Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Sunyoto Usman mengatakan fenomena ini tak lepas dari faktor ekonomi. Pencetus kerajaan-kerajaan itu menyasar masyarakat kalangan ekonomi menengah ke bawah.

"Saya tidak tahu bagaimana merayunya, tapi yang menonjol itu kan diiming janji dapat uang. Janji seperti itu kan sangat menggiurkan apalagi bagi masyarakat pedesaan yang tidak punya pengetahuan soal kerajaan-kerajaan," tuturnya, kepada wartawan, Sabtu (18/1).

Selain itu, status kerajaan dinilai semakin menguatkan kepercayaan para pengikut. Hal ini, kata Sunyoto, tak berbeda jauh dengan fenomena penggandaan uang oleh Dimas Kanjeng Taat Pribadi di Probolinggo, Jawa Timur, yang berbalut agama. Dimas memiliki pengikut cukup besar karena memiliki padepokan yang serupa pesantren.

"Dua hal ini; agama dan adat, punya legacy kuat yang tidak bisa dipertanyakan lagi. Jadi ada ikatan emosionalnya, orang akan langsung percaya sehingga mereka dengan mudah akan mengikuti," jelas Sunyoto.

Senada, pengajar Filsafat di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Al-Makin menjelaskan kemunculan kerajaan-kerajaan palsu tak lepas dari urusan motif ekonomi.

"Terbukti pelakunya (Raja Keraton Agung Sejagat) terlilit hutang miliaran rupiah," ucapnya, yang juga merupakan Sosiolog Agama ini.

Diberitakan sebelumnya, Raja Keraton Agung Sejagat, Toto Santoso Hadiningrat, menggadaikan tanahnya untuk membayar hutang sekitar Rp 1,5 Miliar.

Al-Makin menyebut fenomena ini tak lepas dari kondisi lingkungan masyarakat yang tak stabil serta kepercayaan soal munculnya penyelamat.

"Jadi sudah lama sebetulnya, Indonesia mempunyai tradisi namanya Ratu Adil atau Mesiah. Itu semacam solusi ketika dalam kondisi tidak stabil," jelasnya.

Khayalan Kebesaran

Terpisah, Psikolog Sosial UGM Koentjoro menilai banyaknya pengikut keraton fiktif ini menunjukkan keinginan untuk dihargai dan dipandang lebih. Status kerajaan pun dinilai bisa memenuhi ilusi soal kebesaran itu. Tak heran jika warga rela membayar hingga Rp3 juta agar bisa jadi bagian Keraton Agung Sejagat.

"Bisa jadi karena mereka ingin dihargai. Dengan simbol status itu harapannya mereka bisa lebih dihargai, berkhayal dengan pakaian kebesaran," ujar dia.

Selain itu, lanjut Koentjoro, keberadaan pemimpin yang persuasif juga menguatkan kepercayaan masyarakat. Misalnya, pimpinan Keraton Agung Sejagat maupun Sunda Empire yang gencar berpidato dengan penuh semangat.

Tindakan-tindakan itu, kata Koentjoro, membuat para pengikut terbius dengan kekuatan massa yang muncul ketika mereka berkumpul.

"Sehingga ketika bersama kelompoknya dengan pakaian kebesaran mereka itu, wah, ada perasaan bangga, mantap, mereka tidak tahu kalau ditipu," katanya.

Tak ketinggalan, lanjut Koentjoro, fenomena ini sejalan dengan tren hoaks yang makin marak. Masyarakat pun mudah terpengaruh oleh hal-hal yang tak masuk akal.

"Fenomena ini masih akan terjadi mengingat sekarang orang mudah sekali kena hoaks. Apalagi dibumbui dengan cerita-cerita menarik," ucap Koentjoro.