Penyebab Mutiara Air Laut Indonesia Dinilai Rendah

Rabu, 08 Februari 2017

Mutiara

GILANGNEWS.COM - Indonesia termasuk salah satu negara produsen mutiara air laut terbesar di dunia. Namun kualitasnya terus menurun sehingga tidak memiliki posisi kuat di pasar internasional.

Kepala Bidang Hubungan Kelembagaan dan Hubungan Internasional Asosiasi Budidaya Mutiara Indonesia (Asbumi) Raditya Poernomo mengatakan kualitas mutiara lokal mengalami penurunan dalam 10-20 tahun terakhir. Hal ini membuat valuasi komoditas laut itu ikut tertekan.

Saat ini, sebagian besar mutiara air laut yang dihasilkan di Indonesia memiliki kualitas B, C, dan D. Adapun kualitas A paling banyak hanya 5% dari total produksi. Berdasarkan data Asbumi, produksi mutiara nasional berkisar 5,4 ton—7,5 ton per tahun. Dari jumlah itu, sekitar 45% diekspor ke berbagai negara seperti Jepang, Hong Kong, Australia, Singapura, dan China.

Tetapi, banyak dari mutiara itu yang dijual kembali ke Indonesia setelah diolah di negara tersebut. Menurut dia, tidak banyak masyarakat Indonesia yang berminat membeli atau menggunakan mutiara air laut dari laut sendiri karena menganggapnya barang murahan.

Padahal, mutiara air laut dari Indonesia, seperti South Sea Pearl, memiliki pasar besar di luar negeri. “Perlu edukasi kepada semua pihak mengenai pentingnya mutiara air laut kita, pelatihan kepada masyarakat dan pelaku usaha, serta menjaga lingkungan karena ini terkait dengan alam,” ujar Raditya seusai forum diskusi di Jakarta, Selasa 7 Februari 2017.

Asbumi khawatir jika pemerintah tidak cepat bertindak maka Indonesia akan tertinggal dari negara penghasil mutiara lain, yang pajak dan regulasinya lebih mendukung. Apalagi, jika negara tetangga seperti Vietnam dan Filipina mengembangkan budidaya mutiara air laut dengan menarik konsultan yang pernah bekerja di Indonesia.

Munculnya anggapan bahwa mutiara merupakan barang murahan turut disebabkan oleh banyaknya mutiara berkualitas rendah, baik yang dari Indonesia maupun impor, yang beredar di masyarakat. Adapun harga rata-rata mutiara berkualitas baik di pasar internasional pada 2015 di kisaran US$42-US$45 per gram, yang mana tiap mutiara beratnya rata-rata 2 gram.

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kelautan dan Perikanan Yugi Prananto menyatakan sebagai negara produsen Indonesia harus memiliki kekuatan untuk mengatur harga dan pasokan. “Saat ini, banyak mutiara kita dikirim ke Jepang, kemudian dikirim lagi ke China, AS, dan negara lainnya. Ironisnya, Indonesia belum memiliki bargaining power sebagai produsen karena sistem distribusinya dikelola dan dikendalikan oleh pedagang mutiara Jepang,” terang dia.

Oleh karena itu, indeks atau standar harga mutiara dinilai perlu. Sebagian besar mutiara air laut Tanah Air berasal dari Papua, Sulawesi, Bali, Maluku, Nusa Tenggara Barat (NTB), Flores, dan Lampung. Kepala Sub Direktorat Perbenih an Ikan Laut Direktorat Jenderal (Ditjen) Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Per ikanan (KKP) Rokhmad M Rofiq mengakui kemampuan Indonesia dalam budidaya mutiara air laut belum baik.

Permasalahan lain, masih tumpang tindihnya kawasan budidaya mutiara dengan produk perikanan, sulit mendapatkan benih atau induk unggul, serta belum maksimalnya  kemitraan antara pembudidaya dan instansi terkait atau masyarakat setempat. Selain itu, ada pula indikasi mengenai perbedaan kode di dokumen ekspor sehingga tidak tercatat di ekspor Indonesia tapi masuk dalam catatan impor negara tujuan.

Untuk meningkatkan bargaining position di pasar internasional, pemerintah menyatakan telah melakukan sejumlah upaya seperti menyelenggarakan pearl festival sejak 3-4 tahun terakhir. “Memang harus kita tarik pelan-pelan ke Indonesia,” tutur dia.***


Sumber: Bisnis