Kartel Energi Penyebab Subsidi Tarif Listrik 900 VA Dicabut

Jumat, 16 Juni 2017

GILANGNEWS.com - Pemerintah dinilai gagal mengendalikan kartel energi, sehingga harus mencabut subsidi listrik 900 volt ampere dan mengorbankan 18,7 juta pelanggan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) yang umumnya masyarakat miskin.

“Tarif listrik seharusnya tidak perlu naik kalau pemerintah serius kendalikan spekulan atau kartel energi. Ini bukti kegagalan pemerintah mengendalikan kartel,” kata Anggota Komisi VI DPR RI Bambang Haryo Soekartono, dalam keterangannya, Jumat, 16 Juni 2017.

Dia mengungkapkan, kartel tersebut justru bisa mengendalikan pemerintah melalui Kementerian ESDM karena mereka menguasai 80 persen pasokan listrik PLN sebagai independent power producer (IPP). Adapun, PLN hanya memproduksi 20 persen listrik.

"BUMN seharusnya mengaplikasikan pasal 33 UUD 1945, tetapi ini tidak. Listrik kita umumnya pakai batu bara yang ditambang dari permukaan tanah, tetapi harganya lebih mahal dari negara lain yang tidak punya batu bara,” ungkapnya.

Seperti diketahui, harga listrik di Indonesia US$11 sen/kWh, atau lebih tinggi dari negara sekelas Amerika Serikat (US$3 sen/kWh), Eropa dan Korea Selatan (keduanya US$6 sen/kWh).

Sementara itu, untuk sesama negara Asia, harga listrik di Bangladesh 'hanya' US$3 sen/kWh, Malaysia US$6 sen/kWh, Vietnam US$7 sen/kWh dan Kamboja US$9 sen/kWh.

Bambang menilai pencabutan subsidi listrik 900 VA ini juga mengakibatkan multiplier effect yang panjang sehingga kelompok masyarakat miskin semakin terpuruk.

Perlu diketahui, pencabutan subsidi listrik juga akan memukul sektor usaha mikro dan kecil seperti penjual bakso. Sebab, jumlah UMK yang menikmati listrik 900 VA sebanyak 50 persen.

Dampak lainnya adalah muncul masalah keamanan, terutama di perkampungan yang belum tersedia penerangan jalan umum oleh PLN. "Jelas, kartel energi menyebabkan harga listrik mahal dan lebih kejam dari kartel pangan. Presiden Jokowi harus berani membenahi masalah ini,” ucap Bambang.