Putusan MK : Kumpul Kebo dan LGBT Tak Bisa Dipidana

Jumat, 15 Desember 2017

GILANGNEWS - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan terkait perluasan aturan soal perzinaan, perkosaan, dan juga pencabulan. Gugatan tersebut terkait perbuatan zina dalam kumpul kebo hingga soal LGBT bisa dipidana.

Pihak yang menjadi pemohon ini adalah Guru Besar IPB Euis Sunarti dengan beberapa orang lainnya. Mereka menggugat Pasal 284 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 285 dan Pasal 292 KUHP yang mengatur soal perzinaan, perkosaan, dan juga pencabulan. Pasal-pasal tersebut saat ini ini dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

Pada gugatannya, mereka meminta MK mengubah frasa dalam aturan-aturan tersebut. Hal tersebut membuat objek dalam aturan tersebut menjadi lebih luas.

Zina pada pasal 284 KUHP diminta turut mencakup seluruh perbuatan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat dalam suatu perkawinan yang sah. Dengan kata lain, maka kumpul kebo akan bisa dijerat bila gugatan dikabulkan.

Pemerkosaan pada pasal 285 KUHP diminta mencakup semua kekerasan atau ancaman kekerasan untuk bersetubuh, baik yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan maupun yang dilakukan oleh perempuan terhadap laki-laki. Dengan kata lain, maka seorang perempuan yang memperkosa atau mencoba memperkosa laki-laki juga bisa dipidana.

Perbuatan cabul sebagaimana pada pasal 292 KUHP diminta turut mencakup setiap perbuatan cabul oleh setiap orang dengan orang dari jenis kelamin yang sama, bukan hanya terhadap anak di bawah umur. Hal ini membuat Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) akan bisa dijerat pidana.

Kendati demikian, MK menolak permohonan tersebut. Gugatan tersebut ditolak dengan alasan bahwa MK menilai gugatan tidak beralasan menurut hukum.

"Amar putusan menolak permohonan untuk seluruhnya," kata Ketua MK, Arief Hidayat, membacakan putusan di gedung MK, Jakarta, Kamis (14/12).

Mahkamah berpendapat bahwa permohonan itu membuat MK mengubah rumusan delik dalam pasal KUHP, bahkan merumuskan tindak pidana baru. Sebab yang dimohonkan adalah pengubahan frasa di dalam aturan tersebut.

Menurut mahkamah, pengubahan dalam aturan tersebut merupakan kewenangan dari pembentuk undang-undang melalui kebijakan pidana, yang dalam hal ini adalah Pemerintah dan DPR. "Oleh karena itu, gagasan pembaruan yang ditawarkan para pemohon seharusnya diajukan kepada pembentuk undang-undang, dan hal tersebut seharusnya menjadi masukan penting bagi pembentuk undang-undang dalam proses penyelesaian perumusan KUHP yang baru," kata hakim.

Mahkamah menolak argumen pemohon yang menyatakan bahwa proses pembentukan undang-undang memakan waktu lama. Sebab hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan pembenar Mahkamah mengambil-alih wewenang pembentuk undang-undang.

Selain itu, Mahkamah menyatakan bahwa pasal-pasal dalam KUHP tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945.