Penulis Buku Kontroversi Trump, Si Piranha Media New York

Jumat, 05 Januari 2018

Piranha di kolam media massa Manhattan, julukan yang disematkan sejumlah media untuk Michael Wolff, penulis buku kontroversi di Gedung Putih pada era Trump.

GILANGNEWS.COM -  Piranha di tengah kolam media massa Manhattan, demikian julukan yang disematkan oleh sejumlah media New York ketika menggambarkan Michael Wolff, penulis buku berisi kontroversi di Gedung Putih pada era kekuasaan Donald Trump.

Layaknya piranha, Wolff dianggap sebagai pemangsa kecil yang menggunakan kolom-kolomnya nyinyir untuk menyerang teman gosip politiknya di Michael's, restoran elite di Midtown, hingga mengolok bintang di satu jamuan makan malam mewah.

Lidah gosipnya terus menjilat hingga menyentuh sejumlah tokoh, seperti Rupert Murdoch, yang kisah hidupnya akhirnya ditulis oleh Wolff dengan banyak bumbu rumor.

Kini, lidah itu berhasil menjilat mangsa yang lebih besar, yaitu politik di Gedung Putih. New York Times menyatakan, ini merupakan provokasi terbesar Wolff yang selama ini hanya diwarnai skandal murahan pejabat Manhattan.

Melalui buku terbarunya, Fire and Fury: Inside the Trump White House, Wolff menggambarkan situasi Gedung Putih yang kacau balau dipimpin oleh seorang presiden tidak kompeten.

Dengan kutipan pengakuan dari sejumlah orang dalam Gedung Putih, seperti Steven Bannon, Wolff dan bukunya ini langsung menjadi sensasi dunia dalam semalam.

Namun, banyak jurnalis mencibir karena mengangggap rekam jejak Wolff selama menjadi jurnalis dan penulis biografi sangat kotor. Sejumlah kritikus bahkan menyebut Wolff sering mengabaikan pencarian fakta sebelum merilis tulisannya.

"Dalam sejarahnya, salah satu masalah dalam pengetahuan Wolff adalah ketika dia merasa tahu segalanya, dia justru salah," ujar seorang kolumnis New York Times, David Carr, pada 2008 lalu, ketika mengulas buku yang ditulis Wolff.

Sejumlah bocoran tulisan dalam buku Fire and Fury yang sudah tersebar di berbagai media pun sudah sarat kesalahan.

Sebut saja ketika Wolff menuliskan mengenai bocoran skandal seksual Trump yang tersebar di media tahun lalu. Wolff menulis, bocoran itu awalnya disebarluaskan oleh CNN, padahal BuzzFeed yang pertama merilisnya.

Dalam buku itu, Wolff juga menyebut Trump tak mengetahui identitas mantan ketua Partai Republik di Dewan Perwakilan, John Boehner. Faktanya, Trump dan Boehner sudah sering bermain golf bersama bahkan sebelum Wolff bisa mendapatkan akses ke Gedung Putih.

"Kejorokan" Wolff dalam menulis ini membuat para pakar khawatir Fire and Furry merugikan sejumlah pihak tidak bersalah meski sang jurnalis memastikan sudah mengumpulkan dan memeriksa kembali semua wawancaranya dengan 200 orang.

Namun, Janice Min, Co-President Hollywood Reporter yang hadir dalam salah satu acara yang diceritakan oleh Wolff dalam bukunya, mengatakan bahwa tulisan jurnalis itu mengenai perhelatan itu sesuai fakta.

"Setiap kata yang saya lihat dalam buku itu benar-benar akurat. Orang kadang tak suka apa yang dia katakan, tapi saya rasa salah satu kelemahan Michael adalah dia hanya loyal pada tulisannya," kata Min kepada New York Times.

Pernyataan Min ini tetap tak dapat menghapus jejak buruk yang ditinggalkan Wolff sepanjang karier menulisnya.

Lahir dari rahim seorang jurnalis, Wolff pertama kali terjun ke dunia media sebagai penyalin berita di The New York Times.

Wolff kemudian malang melintang di sejumlah situs gosip dan tabloid di New York. Pergaulannya kian meningkat hingga berteman dengan Trump. Dia bahkan sempat menjadi kameo dalam proyek reality show garapan Trump yang batal dirilis.

Saat Trump menang pemilu, Wolff berhasil memenangkan hati sang presiden dengan mengkritik jurnalis lain yang sering mengkritik pejabat nomor satu di Gedung Putih itu.

Belakangan, Wolff menghabiskan hari-harinya di hotel Hay-Adams di Washington yang terletak beberapa blok dari Gedung Putih. Dia rutin berkunjung ke West Wing di Gedung Putih dan mengajak sejumlah ajudan Trump untuk makan di Bombay Club.

Buku Wolff ini pun kaya akan pernyataan orang sekitar Gedung Putih, hingga ada 200 wawancara, salah satunya dengan Trump langsung.

Mantan editor Vanity Fair, Graydon Carter, pun mengernyitkan dahinya mengetahui akses yang begitu luas bagi Wolff.

"Misterinya adalah mengapa Gedung Putih membuka pintu untuknya," katanya.