Polri Membutuhkan Bantuan TNI Amankan Tiga Agenda Besar 2018

Ahad, 04 Februari 2018

Wakapolri Syafruddin, di Jakarta, 2017. Ia mengakui bahwa Polri sulit mengamankan tiga ajang besar di 2018 sendirian, tanpa bantuan TNI.

GILANGNEWS.COM - Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Syafruddin mengatakan, perpanjangan nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) antara Polri dengan TNI dibutuhkan agar Polri mendpat bantuan dalam menghadapi pengamanan ajang tingkat nasional dan internasional sepanjang 2018.

“Itu pemimpin-pemimpin dunia akan hadir. Jadi tentu tanggung jawab TNI harus seimbang, bahkan jauh lebih besar TNI pengerahan pasukannya dibanding Polri,” ujarnya, di Jakarta, Minggu (4/2).

Sejumlah gelaran internasional itu antara lain Asian Games yang diikuti 46 negara; dan IMF-World Bank Annual Meetings yang diikuti 189 negara, pada 8-14 Oktober 2018. Selain itu, ada gelaran berkelas nasional seperti Pilkada 2018 yang digelar di 171 daerah.

Syafruddin mengaku pihaknya tak percaya diri untuk melakukan pengamanan sendirian dalam gelaran-gelaran besar itu.

“Kami tidak bisa over-confidence dengan kemampuan Polri. Itu pasti tidak mungkin Polri mampu, harus di-back up TNI,” ucapnya.

Polri memperpanjang MoU dengan TNI tentang Perbantuan TNI dalam Rangka Memelihara Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Harkamtibmas) melalui MoU bernomor Kerma/2/I/2018.

MoU itu ditandatangani oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dalam Rapat Pimpinan Polri-TNI di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta, 23 Januari.

Nota kesepahaman itu pun menuangkan sejumlah poin keterlibatan TNI yang bersifat perbantuan dalam pengamanan unjuk rasa atau mogok kerja, kerusuhan massa, dan penanganan konflik sosial.

Sebelumnya, Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Yati Andriyani mengatakan, perpanjangan MoU ini merupakan kemunduran demokrasi, HAM, dan reformasi sektor keamanan.

Sebabnya, pertama, MoU menyalahi UU TNI. Militer, kata Yati,  sesuai pasal 7 ayat (3) UU TNI, baru bisa terlibat dalam oeprasi militer selain perang hanya jika ada keputusan politik negara.

"Pembuatan MoU ini menyalahi UU TNI karena diinisiasi dan ditandatangani oleh Panglima TNI dan Kapolri dan bukan atas dasar keputusan politik Presiden sebagai panglima tertinggi kedua institusi tersebut, serta [sebagai] representasi otoritas sipil," jelasnya.

Kedua, MoU menyalahi prinsip pemisahan TNI dan Polri dan pembagian peran kedua institusi sebagai mandat reformasi sebagaimana ditetapkan dalam TAP MPR No. VI dan VII tahun 2000.

"Ketetapan ini dikeluarkan untuk memberikan demarkasi dan mencegah TNI kembali masuk dalam ranah sipil dan politik sebagaiman terjadi di masa Orde Baru," ujar dia.

Ketiga, ada masalah kepercayaan diri pada Polri dalam menjaga keamanan sipil.

"Ini menjadi evaluasi dan cerminan ada ketidaksiapan dan ketidakpercayaan diri dari instituasi Polri dalam menjalankan tugas pokokonya menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat," cetus Yati.