Karpet Merah Rezim Otoriter dalam Pasal Penghinaan Presiden

Kamis, 15 Februari 2018

Aliansi Masyarakat Sipil melakukan aksi tolak RKUHP di depan gedung DPR RI, Jakarta, Senjn, 12 Februari 2018. Tuntutan dari aksi tersebut menolak pengesahan rancangan KUHP.

GILANGNEWS.COM - Rencana memasukkan pasal penghinaan terhadap presiden dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menuai perdebatan. Pasal itu dinilai nantinya akan digunakan rezim guna membungkam oposisi atau pengkritik pemerintah.

Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun salah satu pihak yang menolak pasal ini. Refly meminta pemerintah seharusnya berpikir panjang lebih dulu saat merencanakan pasal ini, sebab rentan disalahgunakan dan bisa menghidupkan otoritarianisme.

"Sekarang mungkin tidak terlihat dari Presiden Jokowi. Tapi seandainya presiden yang berkuasa antikritik, mati semua dan demokrasi mundur," ujar Refly kepada awak media.

Refly menyatakan, segalanya mungkin terjadi dalam politik. Sehingga, pemerintah saat ini dinilai betul-betul harus berpikir jernih dan tidak memikirkan kepentingan semata. Sebab pemberlakuan pasal penghinaan presiden berdampak jangka panjang.

"Misalnya tentara kembali tergoda terjun dalam politik. Orangnya kuat dan bisa mengendalikan tentara. Begitu mudahnya Indonesia kembali ke fase non-demokrasi (karena pasal penghinaan presiden)," katanya.

Refly berpendapat demikian karena di dalam RKUHP pasal penghinaan presien itu bersifat delik umum. Akibatnya, jika disahkan, penegak hukum dapat langsung menindak yang diduga menghina atau mencemarkan nama baik presiden.

Doktor ilmu hukum ini menegaskan, pasal penghinaan terhadap presiden pernah hidup di Indonesia guna melindungi kekuasaan kolonial dan Orde Baru.

Di sisi lain, ia menyatakan demokrasi bisa hidup di Indonesia hampir 20 tahun ini atas upaya keras, keringat, air mata, dan darah banyak orang.

Demokrasi juga menjadi sejarah pemerintahan Indonesia terpanjang dan diharapkan bertahan bahkan membaik di masa mendatang.

Sudah Ada Hukum yang Cukup

Refly menegaskan, sejatinya ketiadaan pasal penghinaan pada Presiden bukan berarti masyarakat bisa bebas menghina atau mencemarkan nama baik kepala negara. Penghina presiden, katanya, masih bisa dipidana melalui undang-undang yang sudah ada.

Salah satunya adalah Pasal 310 KUHP yang menyatakan pencemar nama baik seseorang terancam pidana penjara paling lama sembilan bulan. Sementara pencemaran melalui tulisan atau gambar diancam pidana paling lama satu tahun empat bulan.

Lalu, Pasal 28 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik juga dapat digunakan karena mengatur pemidanaan terhadap penyebaran kebencian berbasis SARA.

"Undang-Undang yang ada melindungi semua warga negara, termasuk presiden dan wakil presiden. Jadi tidak ada warga negara yang tidak terlindungi. Jangankan menghina presiden, menghina warga biasa juga enggak boleh," kata pria yang pernah berkarier sebagai wartawan ini.