Prabowo capres 2019: Peluang, batu sandungan dan mengapa tak ada calon lain?

Rabu, 14 Maret 2018

GILANGNEWS.COM - Langkah Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, untuk melaju kembali sebagai calon presiden, semakin terbuka lebar setelah Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Gerindra, mendeklarasikannya sebagai calon presiden 2019 dari partai itu.

Berikut lima hal yang perlu Anda ketahui tentang Prabowo, pendeklarasiannya dan pendapat sejumlah pengamat terkait peluangnya untuk menang.

Prabowo dideklarasikan DPD Gerindra

Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, Senin (12/03), dideklarasikan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Gerindra dari 34 provinsi di seluruh Indonesia sebagai bakal calon presiden (capres) 2019.

"Alhamdulillah terwakili seluruh Republik ini, mulai dari Kalimantan, Sulawesi, Jawa kemudian Sumatera, Papua, Indonesia bagian timur," ungkap Ketua DPD Gerindra DKI, M. Taufik, kepada wartawan, Senin, setelah melakukan pertemuan tertutup selama satu jam.

Jelas, deklarasi seluruh DPD ini akan mempertegas dorongan pada Prabowo untuk melaju di Pilpres 2019.

Meskipun begitu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon, mengungkapkan deklarasi resmi pengusungan Prabowo sebagai capres, baru akan dilakukan setelah rapat koordinasi nasional pada April 2018.

"Yang itu (Senin) adalah inisiatif teman-teman di daerah," kata Fadli Zon.

Pendaftaran capres ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri akan digelar pada 4-10 Agustus mendatang.

Namun, Prabowo tidak bisa melaju menjadi capres jika hanya mendapat dukungan Gerindra semata.

Pasalnya, untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres pada Pilpres 2019, partai politik atau gabungannya harus punya 20% kursi di DPR atau 25% suara sah nasional pada Pemilu 2014.

Koalisi Gerindra dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), akan membuat jalan Prabowo untuk menjadi capres, 'mulus'. Gerindra punya 73 kursi di DPR (13%), sementara PKS 40 kursi (7,1%), sehingga total meraih 20,1% kursi dan berhak mengajukan capres.

Nama-nama lain, termasuk mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, Ketua Umum Perindo Hary Tanoesoedibjo, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan putra mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Harimurti Yudhoyono, hanya punya elektabilitas di bawah 2%.

Jika saling diadu antara Jokowi dan Prabowo, Jokowi unggul dengan 64%, sementara Prabowo 27%.

Meskipun elektabilitasnya selalu tepat berada di bawah Joko Widodo, Djayadi Hanan mengakui kemungkinan Prabowo untuk menang 'tidaklah mudah'.

"Karena yang dilawan itu petahana dan orang yang pernah dia (Prabowo) lawan sebelumnya. Dan orang itu (Jokowi) pun (dulu) menang".

Direktur Lembaga Survei Indonesia (LSI), Dodi Ambardi, setuju Prabowo adalah kontender terkuat Jokowi. Dodi menilai Prabowo bisa menang pada Pilpres 2019, jika "bisa mempertahankan 46,85% suara yang diraihnya saat Pemilu 2014, dan meraup sisa 4%nya pada pemilu 2019."

Menurut Dodi, untuk meraih itu, Prabowo harus serius mempertimbangkan variabel partai politik, dalam kemampuannya mengarahkan pilihan politik pemilih.

"Yang hilang dari koalisi Prabowo di 2014 adalah Golkar. Berarti yang dicari adalah bagaimana mengganti suara Golkar."

"Kabar baiknya untuk Prabowo, pemilih dari partai politik, belum tentu memilih calon yang dipilih partainya. Jadi, mungkin separuh dari pemilih Golkar masih akan memilih Prabowo. Prabowo tinggal mencari separuhnya lagi," tutur Dodi.
Perlu strategi berbeda?

Gerindra sendiri tidak setuju dengan anggapan bahwa mengalahkan Jokowi di kancah pemilu presiden adalah hal yang 'sulit'.

"Kalau tidak ada keyakinan (untuk menang) ya tidak akan dicalonkan," kata anggota Komisi I DPR RI, Fraksi Gerindra, Martin Hutabarat, kepada BBC Indonesia, Selasa (13/03).

Martin menyebut semangatnya kader Gerindra di daerah untuk mengusung kembali Prabowo, "karena melihat figurnya (yang dirasa tepat) memimpin negara ini... Nanti di kampanye harus all-out."

Meskipun begitu, Direktur Eksekutif SMRC, Djayadi Hanan, tetap menyarankan Prabowo untuk 'melakukan hal yang berbeda'.

"Dia harus mencari calon wakil presiden yang bisa menambah suaranya, dan bisa menarik pemilih Jokowi".

Sayangnya, lima bulan jelang pendaftaran capres-cawapres, sosok itu disebut Djayadi, masih belum muncul. Tokoh-tokoh yang namanya sudah lama beredar, seperti Anies Baswedan, Agus Harimurti Yudhoyono, atau Gatot Nurmantyo, disebut Djayadi "tidak bisa melawan elektabilitas Jokowi."

Lalu tokoh seperti apa yang dinilai bisa menarik suara pemilih Jokowi?

Djayadi menyatakan tokoh itu "harus lebih kuat dari Jokowi, bisa dibuktikan lebih merakyat dari Jokowi dan punya basis sosial-politik di pedesaan yang kuat. Masalahnya pendukung Jokowi sekarang sudah lebih terkonsolidasi, sehingga untuk mencari siapa pendamping Prabowo agar bisa menang, juga jadi lebih sulit."
Penghalang dan batu sandungan

Sejauh ini Prabowo telah ikut serta dalam kancah pemilihan umum sebanyak tiga kali.

Pertama pada Pilpres 2004, di mana Prabowo berakhir kalah suara dari Wiranto dalam konvensi capres Partai Golkar 2004. Kedua, menjadi calon wakil presiden Megawati dalam Pilpres 2009. Dan terakhir, menjadi capres, dengan cawapres Hatta Rajasa pada Pilpres 2014.

Dan pada setiap pilpres itu, isu dugaan pelanggaran HAM di masa lalu Prabowo, kerap diangkat.

Dalam wawancara dengan BBC jelang Pilpres 2014 silam, Prabowo menegaskan "isu yang telah berkembang selama 16 tahun terakhir itu... merupakan bagian dari permainan politik".

Walupun begitu, Djayadi Hanan, menilai isu itu tidak akan menjadi batu sandungan lagi, seandainya Prabowo melaju di Pilpres 2019.

"Karena rekam jejak Prabowo sudah terekam sangat baik pada publik. Hasil ingatan itu tercermin dari berapa besar dukungan publik kepada Prabowo yang sekarang ini bisa kita lihat."

Djayadi menyebut, jika ada lagi yang mengangkat isu-isu itu, pengaruhnya sebatas "hanya mengkonfirmasi dukungan yang sudah ada saja."

Menurut Direktur LSI, Dodi Ambardi, batu sandungan terberat yang harus dihadapi Prabowo adalah fakta bahwa dia akan bersaing melawan petahana, yang kerjanya selama memerintah Indonesia 'tidak dinilai buruk'.

"Kecuali ekonomi Indonesia tiba-tiba ambruk, ada masalah keamanan serius, atau skandal serius yang melanda pemerintah, itu baru akan membuka kemungkinan opoisi (Prabowo) untuk memenangkan pertarungan."
Mengapa tidak ada calon lain?

Dalam penelitian yang dilakukan berbagai lembaga sumber, tokoh-tokoh yang muncul dalam bursa calon presiden 2019, kebanyakan adalah nama-nama yang relatif lama. Selain Prabowo, nama yang kerap disurvei adalah Susilo Bambang Yudhoyono, Anies Baswedan dan Gatot Nurmantyo.

Direktur LSI, Dodi Ambardi, menyebut alasannya adalah karena kurang terstrukturnya jenjang karier di partai politik.

"Dari tingkat kabupaten menuju provinsi, dari provinsi ke nasional, itu acak-acakan. Tidak ada pemolaan. Sehingga tidak ada kesempatan bagi mereka yang dijagokan di daerah, untuk dites di kancah yang lebih tinggi, dan panggung nasional sesekali.

"Jadi yang bagus, belum tentu dikenal," tegas Dodi.

Direktur Eksekutif SMRC, Djayadi Hanan, punya penjelasan lain; lagi-lagi soal petahana. "Kebetulan petahananya (Jokowi) mendapat evaluasi positif, dengan tingkat kepuasan publik antara 65-70%. Itu cukup tinggi.

"Sehingga orang tidak melirik calon baru, tapi memperkuat dukungan pada calon yang ada."