Kasus E-KTP: Setya Novanto dituntut 16 tahun penjara, denda, dan pencabutan hak politik lima tahun

Kamis, 29 Maret 2018

Novanto didakwa secara bersama-sama melakukan pebuatan tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp2,3 trilliun dalam proyek pengadaan KTP Elektronik.

GILANGNEWS.COM - Jaksa menuntut hukuman penjara 16 tahun bagi Setya Novanto, pencabutan hak politik selama lima tahun, dan denda Rp1 miliar dan pengembalian uang US$7,3 juta.

Jaksa juga menolak permintaan Setya Novanto untuk diperlakukan sebagai 'justice collaborator.'

Tuntutan itu merupakan puncak dari berkas setebal 2.415 halaman yang disiapkan tim jaksa untuk terdakwa bekas Ketua DPR dan bekas Ketua Golkar Setya Novanto dalam kasus korupsi KTP Elektronik, lapor wartawan BBC Ayomi Amindoni dari persidangan.

Sidang berlangsung dari pukul 11 hingga pukul 16, dengan agenda tunggal pembacaan tuntutan.

Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Kamis (29/03), jaksa menilai Setya Novanto memiliki peran penting dalam skandal korupsi yang merugikan negara sebesar Rp 2,3 triliun itu. Dia dituding melakukan korupsi bersama sembilan orang lainnya.

Maka dari itu, jaksa menuntut majelis hakim untuk menyatakan Setya Novanto bersalah dalam perkara korupsi KTP elektronik itu, dan "menjatuhkan hukuman kurungan selama 16 tahun dan denda sebesar Rp 1miliar, yang apabila tidak dibayar diganti kurungan selama 6 bulan," ujar jaksa Abdul Basir.

Jaksa menuntut pula hukuman tambahan berupa uang pengganti US$7,3 juta yang dikurangi oleh uang yang sudah dikembalikan terdakwa sebesar Rp 5 miliar rupiah. Selain itu, jaksa pula menuntut Setya Novanto untuk dicabut hak politiknya selama 5 tahun.

Jaksa menilai, faktor yang memberatkan Novanto antara lain tidak kooperatif selama pemeriksaan.

Jaksa Wawan Yunarwanto menjelaskan bahwa Setya Novanto menerima komisi sebesar US$ 7,3 juta untuk memuluskan pembahasan anggaran e-KTP di DPR.

"Berdasarkan fakta hukum, maka dapat disimpulkan bahwa terdakwa telah menerima pemberian fee seluruhnya berjumlah US$7,3 juta," ujar jaksa Wawan.

Perinciannya, Novanto menerima uang dari Made Oka Masagung sebesar US$ 3,8 juta dan uang yang sebesar US 3,5 juta diterima dari Irvanto Hendra Pambudi Cahyo.

"Serta menerima satu jam tangan merk Richard Mille seharga USD 135 ribu," kata Wawan.

"Selain itu terdakwa bersama-sama yang lain melakukan tindak pidana korupsi yang menguntungkan diri sendiri," imbuhnya.

Dalam fakta persidangan yang terungkap dari keterangan 81 saksi, 9sembilan ahli terdakwa dan barang bukti, jaksa menilai Setya Novanto menyalahgunakan wewenang dan kedudukannya sebagai ketua DPR dalam hal pengadaan barang dan jasa.

Sebagai ketua DPR, Novanto menyalahgunakan wewenang untuk memastikan usulan anggaran proyek penerapan KTP elektronik yang bernilai Rp 5,9 triliun itu lolos di DPR.

Novanto juga disebut meminta pengusaha yang mengerjakan proyek KTP elektronik untuk memberikan komisi sebesar 5 persen untuk para anggota DPR RI di Komisi II.

Jaksa Eva Yustisia membeberkan fakta penyalahgunaan wewenang dan kedudukan Setya Novanto sebagai anggota DPR yang semestinya memiliki fungsi pengawasan malah ikut serta dalan tindak pidana korupsi dan memanfaatkan kedekatannya dengan pengusaha Andi Narogong untuk memuluskan pembahasan soal pengadaan KTP elektronik. "Terdakwa juga secara suka rela membiarkan Andi Narogong melakukan intervensi dalam memuluskan pengadaan KTP elektronik," jelas Eva.
Justice collaborator ditolak

Dalam persidangan sebelumnya, Novanto meminta agar KPK mempertimbangkan permohonan untuk menjadi 'justice collaborator' (JC), atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum, agar mendapat tuntutan ringan.Namun jaksa menolak karena menganggapnya tidak memenuhi persyaratan yang dibutuhkan.

Persyaratan sebagai justice collaborator adalah memberi keterangan penting dan memberi informasi terkait pelaku lain yang lebih besar serta mengembalikan hasil kejahatannya.

"Dengan menyandingkan keterangan terdakwa dalam persidangan, terdakwa belum memenuhi kualifikasi sebagai justice collaborator sehingga jaksa tidak dapat memenuhi permohonan terdakwa tersebut," tutur jaksa.

Sebelumnya, Setya Novanto telah mengajukan pemohonan sebagai justice collaborator kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebanyak lima kali.

Pengajuan tersebut dilakukan Novanto pada 10 Januari 2018, 24 Januari 2018, 30 Januari 2018, 6 Februari 2018, dan 13 Maret 2018.

Novanto mengatakan, dalam pengajuan JC dia turut memberikan keterangan terkait aliran dana kasus korupsi KTP elektronik. Ada beberapa nama yang ia sebut terlibat dalam kasus yang merugikan negara Rp 2,3 triliun itu.

Usai persidangan, Penasehat Hukum Setya Novanto, Firman Wijaya mengatakan sepanjang pertimbangan tuntutan, pihaknya tidak melihat alasan yang signifikan bahwa status justice collaborator itu ditolak. Maka dari itu, pihaknya akan kembali mengajukan permohonan status justice collaborator.

"Saya sudah memperkirakan bahwa JC Pak Nov masih diberikan kesempatan. Kalau tadi disebut ada syarat yang belum dipenuhi, berarti ada syarat lain yang sebenarnya sudah dipenuhi. Jadi mungkin ada kekurangan persyaratan saja," ujarnya yakin.

Ke depan, pihaknya akan sedang mempersiapkan dua nota pembelaan, yakni pembelaan pribadi yang akan disampaikan sendiri oleh Setya Novanto dan pembelaan dari tim penasehat hukum.

"Sambil kami mempersiapkan nota pembelaan tentunya sebagai pilihan sebagai justice collaborator kami tetap mendorong Pak Novanto untuk memberikan keterangan-keterangan yang diperlukan terkait dengan posisinya sebagai justice collaborator," terang Firman.

Dalam sidang terdahulu, Setya Novanto mengawali sidang dengan isak tangis, dan meminta maaf 'kepada majelis hakim, dan rakyat Indonesia....'

Untuk kemudian, dalam sidang itu menyebut sejumlah nama yang disebutnya menerima aliran dana korupsi KTP Elektronik. Ia bahkan menyebut Puan Maharani dan Pramono Anung turut menerima aliran dana sebesa masing-masing $500.000 AS, kendati ia menyebut hanya mengetahuinya berdasarkan penuturan pengusaha Made Oka Masagung dan Andi Narogong menemuinya di rumahnya

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani saat itu menjabat sebagai Ketua Fraksi PDIP di DPR, sementara Sekretaris Kabinet Pramono Anung saat itu adalah anggota DPR.

Baik Puan Maharani maupun Pramono Anung membantah mentah-mentah pernyataan Setya Novanto, yang mereka sebut sebagai akala-akalan belaka untuk mendapat status 'justice collaborator,' agar mendapat tuntutan hukum ringan.

Pengacara Setya Novanto berkali-kali menyatakan perlunya jaksa memberi status justice collaborator itu. Sementara jaksa dan KPK menganggap, selama ini Setya Novanto tidak sunguh-sungguh untuk membongkar lebih jauh kasus itu. Itu ditunjukan dengan berbagai manuver Setya Novanto untuk menghindari hukum.

Setya Novanto didakwa secara bersama-sama melakukan perbuatan tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp2,3 trilliun dalam proyek pengadaan KTP Elektronik pada tahun anggaran 2011-2013.

Mantan ketua umum Golkar ini dianggap memiliki pengaruh untuk meloloskan jumlah anggaran KTP Elektronik ketika dibahas di Komisi II DPR RI pada 2011-2012.

KPK pernah beberapa kali memberikan status justice collaborator kepada terdakwa kasus korupsi, mantan anggota DPR dari Fraksi PDIP Agus Tjondro Prayitno dalam kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004 lalu.

Agus divonis bersalah namun mendapat pembebasan bersyarat.

Selain itu terdakwa kasus dugaan korupsi yang mendapat status justice collaborator adalah mantan anggota DPR serta bendahara partai Demokrat, Nazarudin dan mantan anggota DPR, Damayanti Wisnu Putranti.