Kunjungi Indonesia, pelapor khusus PBB untuk hak atas pangan soroti kasus gizi buruk di Papua

Ahad, 22 April 2018

Kasus tewasnya lebih dari 70 orang di wilayah Kabupaten Asmat, Provinsi Papua, akibat gizi buruk dan campak, salah-satu yang menjadi sorotan pelapor khusus PBB untuk hak atas pangan.

GILANGNEWS.COM - Keberhasilan Indonesia meningkatkan produksi beras seharusnya diikuti pemenuhan hak atas pangan semua warganya, kata pelapor khusus PBB untuk hak atas pangan.

Pelapor Khusus PBB untuk hak atas pangan, Hilal Elver, telah mengakhiri kunjungannya selama 10 hari di Indonesia.

Dalam keterangan tertulisnya, Elver mengungkapkan, Indonesia telah tumbuh menjadi salah satu eksportir komoditas pertanian dan ikan terkemuka, akan tetapi "ironinya... 30% anak-anak (Indonesia) mengalami pertumbuhan yang terhambat."

Kasus tewasnya lebih dari 70 orang di wilayah Kabupaten Asmat, Provinsi Papua, akibat gizi buruk dan campak, salah-satu yang menjadi sorotan pelapor khusus PBB.

Hasil kunjungannya, lanjutnya, juga menemukan "lebih dari 92% penduduknya makan buah dan sayuran jauh lebih sedikit daripada tingkat yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)".

Menurutnya, temuan ini menunjukkan bahwa makanan bukan hanya tentang kuantitas tetapi juga tentang kualitas, aksesibilitas, dan keterjangkauan.

"Orang-orang yang tinggal di daerah terpencil memiliki akses terbatas terhadap makanan sehat, dan penduduk miskin di perkotaan tidak mampu membeli buah dan sayuran, yang harganya sangat mahal," paparnya.

Pelapor khusus PBB adalah badan independen, sementara Hilal Elver adalah guru besar riset dan anggota kehormatan di University of California Los Angeles Law School (UCLA) Resnick Food Law and Policy Center.

Pada Sabtu (20/04) sore, BBC Indonesia telah menghubungi seorang pejabat di Kementerian Pertanian untuk meminta tanggapan atas laporan pelapor khusus PBB ini, tetapi yang bersangkutan menolak memberikan tanggapan.
Mandiri pangan?

Sebelumnya, Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian, Agung Hendriadi, mengatakan ketimpangan sosial dan kemiskinan merupakan penyebab timbulnya persoalan rawan pangan di sejumlah wilayah Indonesia.

Sebagai jalan keluarnya, menurut Agung Hendriadi, pihaknya telah menyiapkan antara lain dua program, yaitu Kawasan Mandiri Pangan dan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) di desa-desa terpencil dan sulit dijangkau.

"Program ini mengajari masyarakat bagaimana cara menghasilkan bahan konsumsi rumah tangga secara mandiri dan sehat," kata Agung kepada RMOL, Kamis (22/03).

Dalam situs resminya, Kementerian Pertanian menyatakan akan memulai program yang disebut sebagai "pengentasan kemiskinan berbasis pertanian" pada 23 April ini.

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengklaim program ini merupakan "solusi permanen jangka pendek, menengah, dan panjang" untuk menjangkau 1,000 desa di 100 kabupaten.

Dalam berbagai kesempatan, Andi Amran menyatakan pemerintah akan terus mengembangkan produk-produk hortikultura khususnya buah-buahan dalam negeri.

Kebijakan ini dilakukan untuk meningkatkan daya saing buah lokal disamping meningkatkan kesejahteraan dan peningkatan produksi petani buah dalam negeri.

"Perintah Bapak Presiden meminta kami agar memberikan bibit gratis kepada seluruh petani-petani Indonesia dan itu nilainya Rp5,5 triliun, itu akan kami bagikan gratis," ujar Amran, Agustus 2017.
'Distribusi yang tidak efisien'

Sementara, pengamat kebijakan pertanian, Fadhil Hasan, menganggap, selain akses terbatas ke makanan sehat, sebagian masyarakat Indonesia menghadapi masalah produksi pangan yang tidak mencukupi, serta distribusi yang tidak efisien.

"Saya kira di sini terjadi apa yang disebut sebagai ketimpangan terhadap akses, kesenjangan terhadap kecukupan (pangan), serta distribusi yang tidak efisien," kata Fadhil kepada BBC Indonesia, Jumat (20/04).

Perihal sedikitnya penduduk Indonesia yang mengkonsumsi buah dan sayur, Fadhil Hasan mengatakan kemungkinan itu bisa terjadi karena struktur produksi pangan lokal, termasuk buah dan sayur, yang telah mengalami perubahan.

"Dulu ketersediaan bahan baku pangan lokal itu tersedia secara lokal, termasuk produksi sayur dan buah. Sekarang sudah berubah," katanya.

Dihadapkan antara lain komersialisasi, masyarakat kemudian melupakan produksi holtikultural dan sayur-sayuran.

"Sehingga mereka mengandalkan ketersediaan dari luar," katanya.

"Dan, ketersediaan dari luar itu, menyebabkan terjadinya ketergantungan dan ketidakpastian dari suplai, sehingga harganya menjadi komersial," ujarnya menganalisa.
Rekomendasi pelapor khusus PBB

Bagaimanapun, dalam rekomendasi awalnya, pelapor khusus PBB untuk hak atas pangan, meminta pemerintah Indonesia memberantas akar penyebab kelaparan dan kekurangan gizi, mulai kemiskinan, pengangguran, dan kurangnya layanan kesejahteraan sosial.

Mereka juga menyatakan kebijakan pangan di Indonesia harus dilakukan diversifikasi.

Alasannya, kebijakan pangan yang berfokus pada swasembada beras dianggap tidak memberikan solusi jangka panjang bagi ketahanan pangan dan gizi serta praktik pertanian berkelanjutan.

Pemerintah Indonesia juga diminta memberikan perlindungan yang lebih baik bagi petani dan nelayan dengan memberikan mereka penguasaan lahan pertanian dan perikanan yang stabil serta layanan sosial.

Diingatkan pula bahwa pemerintah Indonesia harus mempercepat pelaksanaan distribusi lahan kepada petani dan menyelesaikan semua konflik terkait lahan.

Koordinasi antara pemerintah pusat dan provinsi juga diminta ditingkatkan untuk menyelesaikan masalah pangan.