Segelintir Potret Buruh Perempuan Indonesia

Selasa, 01 Mei 2018

Sopir perempuan TransJakarta Sumiyati.

GILANGNEWS.COM - "Karena pada dasarnya kita sama saja, perempuan juga berhak untuk dihargai," ujar Sumiyati.

Badan padat dan potongan rambut pendek klimis ala lelaki dewasa bikin orang terkadang pangling melihat Sumiyati. Perempuan yang berumur sekitar 30-an ini memilih profesi yang tak biasa.

"Saya sudah menjadi driver di TransJakarta sejak tahun 2006," kata Sumiyati memulai perbincangan dengan wartawan.

Jalan panjang Sumiyati menjadi sopir TransJakarta tak langsung mulus. Sejak lowongan pertama dibuka pada 2004, Sumiyati mengaku tertarik mengikut tes menjadi sopir.

Adapun tes yang mesti dia lalui mulai dari kejiwaan, administrasi, dan kesehatan. Padahal sebelumnya ia hanya bekerja sebagai pegawai administrasi biasa. Belum pernah merasakan berada di balik kemudi bus berbadan besar.

"Setahunnya saya pertama melamar tahun 2005 dan saya gagal, tahun depannya saya coba dan gagal lagi. Saya akhirnya masuk keterima tahun 2011," kata dia.

Pertama masuk, ia menjadi sopir TransJakarta untuk rute reguler. Dia mengakui tugasnya lebih berat ketimbang yang sekarang menjadi pengemudi bus wisata.

"Dulu waktu di reguler sangat berpacu dengan waktu, Masuknya juga saya harus lebih subuh, kira kira jam 3 pagi berangkat dari rumah," ujar perempuan berkacamata itu.

Meski beralih profesi dari belakang meja ke balik kemudi Transjakarta, Sumiyati mengaku didukung keluarga. Betapa tidak, sebab Sumiyati yang kini sudah berstatus orang tua tunggal harus berjibaku menghidupi dua orang anaknya.

"Saya masih punya anak yang sekolah di pondok pesantren kelas 1 SMP," ujar dia.

Tujuh tahun menjadi pengemudi TransJakarta, Sumiyati mengaku belum pernah merasa direndahkan. Keberadaannya malah didukung oleh teman-temannya yang kebanyakan adalah pengemudi pria.

"Kami hanya ada sekitar belasan atau 17 driver untuk bus wisata perempuan. Dulu saya yang sopir reguler juga enggak ada masalah, malah semua saling menghargai," terang dia.

Cuti tahunan, cuti haid dan cuti melahirkan pun diberikan kepada Sumiyati dan rekan kerja pengemudi perempuan lainnya. Namun dari segi kewajiban, Sumiyati tetap diberikan jam dan rute yang sama dengan pengemudi laki-laki.

"Cuma terkadang kalau cuti haid enggak saya ambil. Tapi kalau dari segi pendapatan alhamdulilah cukup sejahtera. Kita juga dipotong uang pensiun dan untuk BPJS," ujar dia.

Tak Semua Seindah Kisah Sumiyati

Sumiyati adalah salah satu buruh perempuan yang beruntung karena hak-haknya terpenuhi. Komisioner Komnas Perempuan Thaufiek Zulbahary membeberkan tidak seluruh buruh wanita bernasib seperti Sumiyati. Di baliknya masih ada sejumlah buruh perempuan yang merana. Mulai dari hak-haknya dilanggar, hingga mengalami kekerasan sampai pelecehan di tempat kerja.

Pada 2016 ada sekitar 159 pengaduan kepada Komnas Perempuan. Dari total tersebut ada sebanyak 44 laporan yang menyebutkan terjadi kekerasan terhadap buruh perempuan di tempat kerja.

"Kemudian tahun 2017 meningkat ada laporan kekerasan perempuan di tempat kerja sebanyak 50 kasus dari 195 pengaduan," terang Thaufiek kepada wartawan.

Ada tiga fokus laporan kekerasan pada buruh perempuan yang menjadi catatan Komnas Perempuan. Pertama soal adanya diskriminasi upah, perlindungan hak reproduksi dan terakhir soal kontrak alih daya (outsourcing) yang menyasar buruh perempuan.

Masalah diskriminasi upah, kata Thaufiek sangat bekaitan dengan Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2013 tentang Kebijakan Penetapan Upah dalam Rangka Keberlangsungan Usaha. Dalam salah satu klausul, sambung Thaufiek, menyebutkan perusahaan berhak untuk menetapkan Upah Minimum Provinsi di bawah rata-rata.

"Regulasi yang dibentuk adalah untuk menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan. Kebanyakan buruh perempuan yang dikorbankan dengan mendapatkan upah tidak seimbang," kata dia.

Hal ini berhubungan pula dengan faktor kedua soal kontrak alih daya yang disasarkan kepada perempuan. Terutama pada masa kehamilan, para buruh perempuan diberhentikan sebelum melahirkan dan dipekerjakan kembali sesudah melahirkan.

"Intinya perusahaan menghindari biaya cover untuk biaya melahirkan. Lagi-lagi perempuan menjadi koban dalam kebijakan ini," terang dia.

Catatan terakhir yang paling banyak menyentuh buruh perempuan adalah soal hak yang berkaitan dengan reproduksi. Kebanyakan perempuan juga masih enggan dan tak mendapat cuti haid dari perusahaan.

"Dalam regulasi itu tertulis bahwa perempuan harus mendapat surat dari dokter perusahaan untuk mendapat cuti tersebut. Harusnya itu tidak perlu," ungkap Thaufiek.Hal ini berhubungan pula dengan faktor kedua soal kontrak alih daya yang disasarkan kepada perempuan. Terutama pada masa kehamilan, para buruh perempuan diberhentikan sebelum melahirkan dan dipekerjakan kembali sesudah melahirkan.

"Intinya perusahaan menghindari biaya cover untuk biaya melahirkan. Lagi-lagi perempuan menjadi koban dalam kebijakan ini," terang dia.

Catatan terakhir yang paling banyak menyentuh buruh perempuan adalah soal hak yang berkaitan dengan reproduksi. Kebanyakan perempuan juga masih enggan dan tak mendapat cuti haid dari perusahaan.

Dalam Undang Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 menyatakan Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.

Buruh perempuan juga banyak dilaporkan tak mendapat hak cuti keguguran yang diamanatkan sebanyak dua pekan. Selain itu buruh perempuan juga banyak kesulitan untuk mendapatkan waktu 'pumping'.

"Buruh perempuan dilaporkan hanya mendapat setengah dari jatah cuti masa keguguran. Sementara soal pumping juga kebanyakan mereka tak memiliki waktu yang diberikan cukup," ujar dia.

Dengan banyaknya laporan ini, Thaufiek berpendapat bahwa Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2013 perlu dibenahi agar berpihak kepada buruh dan bukan hanya perusahaan semata. Dia juga menyarankan agar ada pengawasan khusus bagi hak buruh perempuan.

"Inpres itu perlu diubah, kalau perlu dibatalkan saja. Selain itu PR pemerintah harusnya juga bisa mengawasi hak-hak buruh perempuan tersebut," ujar dia.