Kasus penembakan mahasiswa Trisakti, Semanggi I dan II, belum selesai setelah 20 tahun reformasi

Sabtu, 12 Mei 2018

Tuntutan penyelesaian kasus pelanggaran HAM dalam aksi Kamisan di depan Istana Merdeka.

GILANGNEWS.COM - Empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas ditembak aparat ketika berdemonstrasi pada 12 Mei 1998, sampai saat ini kasus penembakan mahasiswa dan kasus pelanggaran HAM lain di saat menjelang dan sesudah turunnya Soeharto belum tuntas.

Pada 12 Mei 1998, demonstrasi sampai sore berlangsung tertib dan damai, dengan pembacaan puisi dan menyanyikan lagu. Demonstrasi itu juga pertama kalinya didukung oleh seluruh civitas academika Trisakti termasuk para dosen.

Awalnya mereka ingin menuju DPR namun terhambat oleh barikade aparat, setelah proses negosiasi, mahasiswa pun mundur. Saat itu, seseorang berteriak pada mahasiswa dan lari ke belakang barisan aparat, lalu ketegangan pun muncul.

Mahasiswa kemudian mundur, dan tiba-tiba terjadi tembakan gas air mata dan juga penembak jitu. Awalnya John mengira para penembak menggunakan peluru karet.

Aktivis mahasiswa Trisakti 1998 John Muhamad masih mengingat saat itu tiba-tiba terdengar teriakan mahasiswa.

"Innalilahi, saya langsung lari gedung F, saya lihat Hendriawan Sie mahasiswa Fakultas Ekonomi, kaku sudah meninggal, tak lama kemudian terdengar lagi Innalilahi, saya lari kencang lalu melihat Heri Hertanto yang mengerang kesakitan," jelas John.

Hanya selang beberapa detik saja, teriakan mahasiswa kembali terdengar. Kali ini John mendapati adik kelasnya di Fakultas Arsitektur, Elang Mulia Lesmana.

"Elang masih hidup saat itu, tidak bisa ngomong, dia diam, kayak kesakitan, tangannya dingin," ungkap John.

Penembakan empat mahasiswa termasuk Hafidin Royan pada sore itu memicu kemarahan mahasiswa Trisakti lainnya, mereka melempar apa saja ke arah pasukan penembak jitu yang berada di atas gedung.

"Memang tidak akan sampai tapi saya melihat mereka marah sekali," jelas John yang dulu merupakan komandan lapangan aksi 12 Mei.

Sampai sekitar pukul 9 malam suara tembakan masih terdengar. Suasana di dalam kampus pun tegang, jumlah korban tewas pun simpang siur. Sebagai koordinator lapangan aksi mahasiswa Trisakti, John berupaya memastikan dengan pergi ke RS Sumber Waras, menyamar dengan menggunakan jaket seorang wartawan.

"Waktu itu ada wartawan yang mencegah keluar, bisa ditangkap nanti, jadi meminjamkan jaketnya pada saya," jelas John.

Di RS Sumber Waras, empat mahasiswa tersebut tidak ditangani karena petugas medis membutuhkan surat izin dari kepolisian. Setelah berbicara dengan sejumlah tokoh, yang kemudian merekomendasikan seorang dokter Mun'im Idris untuk melakukan otopsi terhadap jenazah mahasiswa yang tewas.

Tewasnya empat mahasiswa Trisakti semakin memicu gelombang demonstrasi mahasiswa di berbagai kota yang sudah bergulir sejak akhir 1997 ketika krisis ekonomi mulai terjadi di Indonesia.

Sebelumnya pada 8 Mei 1998, seorang mahasiswa Universitas Sanata Dharma tewas akibat benda tumpul dalam demonstrasi di Yogyakarta.

Demonstrasi mahasiswa yang didukung oleh sejumlah tokoh masyarakat dan akademisi serta berbagai kalangan lain membuat Presiden Soeharto mundur dari jabatannya pada 21 Mei 1998. Wakil presiden saat itu, BJ Habibie diangkat menjadi Presiden ketiga RI.

Sumarsih menuntut keadilan dengan aksi Kamisan di depan Istana

Setelah kasus Trisaksi, pada 13 November 1998, aparat menembak mahasiswa dari berbagai perguruan tingi yang berdemonstrasi memprotes Sidang Istimewa DPR/MPR dan menolak Dwifungsi ABRI di kawasan Semanggi. Mereka kemudian berlari ke kampus Universitas Atmajaya.

Menurut data Tim Relawan untuk Kemanusiaan, jumlah korban tewas mencapai 17 orang warga sipil terdiri dari berbagai kalangan, dan ratusan korban luka tembak, dan terkena benda tumpul. Empat orang mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi menjadi korban tewas saat itu, yaitu Teddy Mardani, Sigit Prasetya, Engkus Kusnadi dan Bernardus Realino Norma Irawan atau Wawan.

Pada hari Wawan tertembak, ibundanya Maria Katarina Sumarsih tengah menyaksikan berita demonstrasi mahasiswa melalui televisi dan mendengar ada mahasiswa tertembak. Tak lama telepon di rumahnya berdering, dua kali dia menerima informasi tentang penembakan. Namun percakapan terakhir dengan Sandyawan Sumardi, Tim Relawan Kemanusiaan, memastikan penembakan Wawan memintanya menuju RS Jakarta.

Sampai di RS Jakarta, Sumarsih diminta ke lantai bawah, di sana dia mendapati tiga keranda yang terbuka, salah satunya terbaring jenazah Wawan. Sumarsih mendekati jasad putranya.

"Wawan pakai kaos putih, matanya terpejam seperti orang tidur,dua jempol kakinya diikat pakai tali putih, saya meraba seluruh tubuhnya, sampai di perut saya katakan 'kamu lapar ya perutmu tipis'," ungkap Sumarsih.

Sumarsih melihat lubang kaos putih di bagian dada putranya, "Saya katakan "Wan, kamu ditembak"."

Setelah itu Sumarsih yang didampingi suami Arief Priyadi dan adiknya pun berdoa. Tak lama dia mengurus pemulangan jenazah Wawan.

Namun seorang penyidik memintanya agar jenazah Wawan diotopsi. Awalnya Sumarsih menolak namun akhirnya setelah penyidik itu menyatakan otopsi hanya 'operasi kecil' dia pun menyetujuinya.

Untuk keperluan otopsi, jenazah di bawa ke RSCM melalui jalanan yang masih dipenuhi suara tembakan. "Supir ambulans yang membawa jenazah Wawan saat itu terus berteriak 'tundukkan kepala, tundukkan kepala, mobil kita ditembaki'," ungkap Sumarsih.

Dokter menyebutkan hasil otopsi menunjukkan peluru yang mengenai jantung dan paru-paru Wawan merupakan standar TNI.

Setelah Wawan meninggal, Sumarsih berupaya mencari kesaksian dari sejumlah teman-teman putranya. Dari kesaksian tersebut, Sumarsih mengetahui bahwa Wawan yang selama ini aktif di Tim Relawan Kemanusiaan tertembak ketika menolong korban penembakan lainnya.

Sumarsih pun masih menanti keadilan, sejak 18 Januari 2007 dia bersama dengan para penyintas dan keluarga korban pelanggaran HAM menggelar aksi Kamisan di depan Istana Presiden sampai saat ini.

Penembakan Semanggi II

Hampir setahun setelah penembakan mahasiswa dan warga sipil di kawasan Semanggi, mahasiswa di Jakarta dan berbagai daerah masih terus menggelar demonstrasi 'mengawal pemerintahan transisi'.

Pada 24 September 1999, rencana pemberlakukan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) kembali memicu demonstrasi besar. Aturan yang bertujuan untuk mengganti UU Subversif itu dianggap bersifat otoriter.

Penembakan terhadap mahasiswa pun kembali dilakukan, catatan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebutkan 11 orang meninggal di seluruh Jakarta salah satunya adalah Yap Yun Hap mahasiswa Universitas Indonesia di kawasan Semanggi, sekitar 217 orang mengalami luka.

Perjalanan Kasus Trisakti Semanggi I dan II

Penyelidikan kasus ini menyeret enam terdakwa kasus penembakan mahasiswa Trisakti yang kemudian mendapatkan hukuman 2-10 bulan pada 31 Maret 1999. Tiga tahun kemudian, sembilan terdakwa lain disidangkan di Mahkamah Militer, yang kemudian dihukum 3-6 tahun penjara pada Januari 2002.

Namun Komnas HAM menyebutkan terdakwa dalam kasus ini masih memberikan hukuman pada pelaku lapangan, dan bukan komandannya.

Sebelumnya pada tahun 2000 lalu, DPR membentuk Pansus Trisakti, Semanggi I dan II (TSS) atas desakan mahasiswa dan keluarga korban. Setahun kemudian, Pansus menyimpulkan bahwa tidak terjadi pelanggaran HAM berat dalam kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II. Pansus juga merekomendasikan penyelesaian melalui jalur pengadilan umum dan pengadilan militer.

Juli 2001, rapat paripurna DPR RI mendengarkan hasil laporan Pansus Trisaksi, Semanggi I dan II, hasilnya tiga fraksi F-PDI P, F PDKB, F PKB menyatakan kasus ini terjadi unsur pelanggaran berat, namun tujuh fraksi lain F- Golkar, F- TNI/Polri, F-PPP, F-PBB, F-Reformasi, F-KKI, F-PDU menyatakan tidak terjadi pelanggaran HAM berat pada kasus TSS.

Mahasiswa dan keluarga korban pun tidak puas. Pada 2001, Komnas HAM mulai melakukan penyelidikan kasus Trisakti, Semanggi I dan II dengan membentuk KPP HAM. Para mahasiswa pun membantu Komnas HAM untuk mengumpulkan bukti dan saksi kasus penembakan tersebut.

"Kami mengumpulkan saksi, siapa yang menemukan barang bukti dan banyak saksi dari mahasiswa itu yang kami wawancara," jelas John.

Dalam laporan hasil penyelidikan KPP HAM menyimpulkan terdapat bukti-bukti permulaan yang cukup telah terjadi pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II dengan 50 orang perwira TNI/Polri diduga terlibat dalam kasus penembakan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi.

Sesuai dengan UU No. 26 tahun 2000, Komnas HAM menyerahkan hasil penyelidikan kepada Kejaksaan Agung untuk dilakukan penyidikan pada April 2002.

Di tahun berikutnya, Kejaksaan Agung menolak dengan alasan kasus tersebut sudah disidangkan melalui pengadilan militer, sehingga tidak dapat mengajukan kasus yang sama ke pengadilan. Padahal menurut Komnas HAM, peradilan militer hanya menjerat pelaku lapangan, sementara pelaku utama belum diadili.

Pada Maret, dalam rapat Tripartit antara Komnas HAM, Komisi III dan Kejaksaan Agung, pihak Kejakgung tetap bersikukuh tidak akan melakukan penyidikan sebelum terbentuk pengadilan HAM ad hoc. Selain itu, Komisi III juga memutuskan pembentukan Panitia Khusus (PANSUS) orang hilang.

Pada 13 Maret 2007, Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR RI memutuskan tidak akan mengagendakan persoalan penyelesaian tragedi TSS ke Rapat Paripurna pada 20 Maret nanti. Artinya, penyelesaian kasus TSS akan tertutup dengan sendirinya dan kembali ke rekomendasi Pansus sebelumnya.

Optimisme sempat muncul selama masa kampanye pemilihan presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla, berjanji untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu secara berkeadilan, menjadi salah satu prioritas utama pemerintahan mereka untuk mencapai kedaulatan politik.

Pada April 2015 Jaksa Agung HM Prasetyo menyatakan pemerintah akan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, termasuk kasus penembakan 12 Mei 1998.

Namun Kontras menilai dalam pemerintahan Jokowi dan setelah 20 tahun reformasi, penyelesaian kasus pelanggaran HAM bukan hanya jalan di tempat namun mengarah pada kemunduran.

Koordinator Kontras Yati Andriyani mengatakan berbagai kebijakan tidak sejalan dengan pemenuhan keadilan dalam Nawacita dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

"Dalam Perpres Ranham yang terbaru disebutkan untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu, rencana aksi HAM adalah untuk optimalisasi dan koordinasi penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Kok sudah 20 tahun masih koordinasi, ini terkesan mengulur waktu," ujar Yati.

Di sisi lain, Yati menilai kultur impunitas atau ketiadaan penghukuman di Indonesia sangat kuat yang membuat kasus pelanggaran HAM sulit untuk diselesaikan dan justru orang-orang yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM di masa lalu kembali memiliki kekuatan politik.

"Ketiadaan peradilan terhadap kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, akhirnya para pihak tersebut dengan mudah kembali lagi dan "justru menunggangi" agenda demokrasi dengan membuat partai politik dan bahkan mencalonkan diri sebagai presiden, masuk kekuasaan dan itu akan semakin mempersulit," jelas Yati.

"Jadi dalam 20 tahun reformasi, kita tidak bisa membedakan, tidak jelas di mana kita: fase Orde Baru, fase transisi dan reformasi," ujar Yati.

Meski begitu keluarga korban tak berhenti menuntut penyelesaian kasus pelanggaran HAM di masa lalu, dalam aksi Kamisan, seperti pada awal Mei lalu.

Aksi diam dengan membawa payung hitam di seberang Istana Presiden ini, sudah berlangsung sejak 18 Januari 2007 lalu. Namun tak pernah sekalipun presiden yang menjabat mendatangi keluarga korban tersebut.

Sebelum mengikuti aksi Kamisan, Sumarsih mengatakan dia menduga pemerintah sengaja mengulur waktu dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu.

"Kalau dibilang kurang alat bukti, kami ini bisa menjadi bukti, pemerintah itu menunggu kami, keluarga korban, meninggal satu per satu, menunggu kami keluarga korban lelah dan menunggu masyarakat melupakannya," ujar Sumarsih.

Dengan begitu menurut Sumarsih, orang-orang yang diduga melakukan pelanggaran HAM bisa bebas.

"Namun kami tak pernah lelah mendesak pemerintah menuntaskannya," ujar Sumarsih.