Analisis THR Ormas, Antara Kepedulian dan Premanisme Terselubung

Rabu, 30 Mei 2018

Ilustrasi.

GILANGNEWS.COM - Beberapa waktu lalu, sejumlah pengusaha di sepanjang jalan Bangun Cipta Sarana, Kelapa Gading, Jakarta Utara menerima selembar surat permintaan dari Organisasi Masyarakat (Ormas) Forum Betawi Rempug (FBR).

Isinya adalah permintaan uang Tunjangan Hari Raya dari pengurus Gardu.021 FBR bermarkas di depan jalan itu. Sejumlah pengusaha di wilayah tersebut mengakui bahwa permintaan iuran itu terjadi setiap tahun.

Kriminolog Erlangga Masdiana menilai permintaan sumbangan atau iuran seperti itu memang sulit dianggap sebagai perbuatan kriminal. Sebab, hingga tahap itu belum ada tanda kalau pihak yang meminta memaksa warga.

Lain halnya jika pihak yang meminta sumbangan itu memang memberikan penekanan yang bersifat mengancam. Hal ini bisa dimasukan ke dalam kategori tindak kriminal.

"Kalau ada unsur pemaksaan dan menjadikan itu ancaman, dan pihak lain merasa terancam, itu bisa masuk tindak pidana," kata Erlangga saat dihubungi wartawan, Selasa (29/5).

Menurut Erlangga, permintaan sumbangan secara langsung memang menjadi hal yang lumrah terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, menurut Airlangga, selama kejadian di Kelapa Gading itu tidak terdapat unsur pemaksaan maka hal ini lebih terkait dengan konteks sosiologis masyarakat Indonesia.

"Orang minta bantuan itu kan biasa dalam masyarakat kita. Secara sosiologis, masyarakat kita itu, apalagi dalam konteks masyarakat yang gotong royong ini sebagai pola berinteraksi satu sama lain," kata dia.

Namun demikian, tak dipungkiri juga ada sejumlah ormas lain yang meminta sumbangan atau iuran disertai ancaman. Hal itu membuat warga merasa tertekan dan terancam.

Hal senada diungkapkan Kriminolog Adrianus Meliala. Menurutnya tidak tepat jika permintaan sumbangan oleh ormas dianggap sebagai tindakan kriminal. Sebab belum terbukti ada intimidasi yang dilakukan.

Lebih jauh Adrianus mengatakan, terkait permintaan sumbangan atau iuran yang biasa terjadi di Indonesia sebenarnya ada pola kondisi yang dimainkan oleh pihak peminta sumbangan.

Pada awalnya, kelompok-kelompok yang meminta sumbangan itu berdalih memberikan jaminan keamanan di wilayah tersebut. Namun kemudian, untuk menjamin keamanan itu mereka juga memerlukan dana operasional.

Kemudian, permintaan sumbangan dengan dalih memenuhi biaya operasional keamanan ini pada akhirnya menjadi hal yang dianggap biasa oleh para pengusaha. Mereka pun tidak lagi mempersoalkan hal tersebut.

"Ternyata sebetulnya dia sendiri yang menciptakan ketidakamanan itu. Dalam rangka keamanan itu mereka butuh ongkos. Itu kan sebenarnya praktik preman kan di mana-mana. Nah, untuk di Jakarta dan kota besar lainnya itu sudah jadi organisasi, sudah menjadi satu kegiatan kolektif yang ternyata bisa berlangsung berkelanjutan," kata Adrianus.

Terkait permintaan sumbangan sebenarnya sudah diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan. Di dalamnya menjelaskan soal mekanisme permintaan sumbangan di mana harus dengan izin pejabat yang berwenang. Kecuali, terhadap jenis kegiatan yang dikecualikan memperoleh izin, yaitu sumbangan yang diwajibkan oleh Hukum Agama, Hukum Adat, Adat Kebiasaan, atau yang diselenggarakan dalam lingkungan terbatas tidak memerlukan izin penyelenggaraan.

Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum menyebutkan bahwa pemerintah daerah Jakarta melarang setiap orang atau badan dilarang meminta bantuan atau sumbangan yang dilakukan sendiri-sendiri dan/atau bersama-sama di jalan, pasar, kendaraan umum, lingkungan pemukiman, rumah sakit, sekolah dan kantor.

Adrianus menilai, cukup sulit jika untuk menghilangkan persoalan permintaan sumbangan menggunakan pendekatan hukum. Oleh karena itu, menurut Adrianus, guna memutus rantai kekeliruan pemahaman terkait pungutan liar, dengan kedok permintaan sumbangan oleh ormas kepada pelaku usaha, sedianya lebih baik jika menggunakan pendekatan sosial, yakni dengan sikap penolakan tegas dari para pihak pengusaha itu sendiri. Selain itu, aparat juga perlu mendukung penuh upaya pemberantasan praktik liar permintaan sumbangan tersebut.

"Perlu ada satu kedisiplinan dari kita semua. Pengusaha tidak mau lagi bayar dan dari aparat terus-terusan memberantas," kata Adrianus.