Komnas HAM: Kopassus 'diduga terlibat pelanggaran HAM berat' di Aceh

Sabtu, 08 September 2018

Seorang perempuan warga Lhokseumawe, Aceh, dan seorang lainnya, di hadapan seorang anggota TNI, saat wilayah itu masih dilanda konflik bersenjata, 25 Mei 2003.

GILANGNEWS.COM - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyatakan memiliki bukti bahwa anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus), TNI Angkatan Darat, diduga ikut menyiksa warga sipil dalam peristiwa 'Rumah Geudong' di Pidie, Aceh, selama digelar operasi militer 1989-1998 di wilayah itu.

Komnas HAM melakukan penyelidikan kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Rumah Geudong, Aceh, semenjak 2013 sampai Agustus lalu.

"Di situ ada operasi SGI (Satuan Gabungan Intelijen) yang memang kebanyakan adalah anggota Kopassus," kata Choirul Anam, komisioner Komnas HAM dan ketua tim adhoc penyelidikan pelanggaran HAM di Aceh, dalam jumpa pers di Komnas HAM, Kamis (06/09), Jakarta.

Temuan Komnas HAM juga menyimpulkan, peristiwa Rumah Geudong memiliki bukti permulaan yang cukup atas dugaan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan.

Dari keterangan saksi dan dokumen, tim adhoc penyelidikan kasus ini juga menyimpulkan bahwa kasus kekerasan terhadap penduduk sipil ini sebagai pelaksanaan dari kebijakan penguasa pada masa itu.

"Dari strukturnya kelihatan, baik struktur operasional maupun struktur teritorial, sampai ke atas. Oleh karenanya, kami menyebut yang bertanggungjawab dari level kebijakan, adalah pembuat kebijakan, dari pelaksana lapangan adalah komando efektif sampai komando lapangan," jelas Choirul.

Apa tanggapan TNI?

Menanggapi temuan Komnas HAM, Juru bicara TNI Mayor Jenderal Santos Gunawan Matondang, dalam pesan tertulisnya yang diterima oleh beberapa media, Kamis (06/09) pukul 17.31 WIB, mengatakan, "Kami belum mendapatkan hasil tersebut, sehingga butuh pendalaman."

Mengapa disebut pelanggaran HAM berat?

Selain Komandan dan anggota Kopassus, menurut Komnas HAM, Komandan dan anggota Baret Hijau dan Brimob dapat dimintai pertanggungjawaban dalam kasus Rumah Geudong.

Disebutkan pula bahwa pihak sipil, seperti tenaga pembantu operasional atau cuak, ketua regu pos kamling dan keuchik Gampong Ulee Tutue "dapat dimintai pertanggungjawaban pula."

Dalam jumpa pers, Komnas HAM juga menyimpulkan bahwa kasus Rumah Geudong dan Pos Sattis lainnya di Aceh merupakan sebuah peristiwa pelanggaran HAM berat.

"Jadi kami menemukan sekian pola bahwa itu (kasus Rumah Geudong) lahir dari sebuah kebijakan," ungkap Choirul.

Dia kemudian memberikan contoh yang menunjukkan bahwa kekerasan di Rumah Geudong itu lahir dari kebijakan pemerintahan Suharto.

"Misalnya kayak Rumah Geudong, Pos Sattis itu didirikan di banyak tempat dan satu sama lain ternyata nyambung. Pos sattis ini juga nyambung dengan Komando Teritorial," paparnya.

"Bahkan pada beberapa korban, misalnya, itu juga wajib lapor, setelah diperiksa dan 'macam-macam', tanpa proses peradilan apapun. Itu menandakan potret kebijakan," tambah Choirul.
Kejaksaan Agung diminta menindaklanjuti

Karena itulah, Komnas HAM kemudian meminta agar Kejaksaan Agung segera menindaklanjuti temuannya ini.

"Kami berharap segera diajukan ke pengadilan sebagaimana yang ditetapkan dalam UU nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM," kata Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik dalam jumpa pers di Kantor Komnas HAM, Kamis (06/09) siang.

Laporan ini, menurut Komnas HAM, sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung pada Rabu, 29 Agustus lalu.

Selain Komandan Kopassus, menurut Choirul Anam, pihak yang diduga bertanggungjawab dalam kejadian kekerasan di Rumah Geudong adalah Panglima TNI, Brimob, Pangdam Bukit Barisan, serta Komandan Jaring Merah, hingga satuan TNI AD di bawahnya.

"Di dalam pelaksanaan DOM, pemerintah Indonesia melalui Panglima ABRI memutuskan untuk melaksanakan Operasi Jaring Merah yang menjadikan Korem 011/Lilawangsa sebagai pusat komando lapangan," ungkap Choirul.

Mengapa disebut Rumah Geudong?

Rumah Geudong merupakan sebutan untuk rumah adat Aceh yang kemudian dijadikan TNI - disebut Pos Satuan Taktis dan Strategis atau Pos Sattis - untuk menginterogasi orang-orang yang diduga anggota atau simpatisan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Pos Sattis ini menurut Komnas HAM dibentuk di setiap wilayah setingkat kecamatan di Provinsi Aceh.

Kejadian kekerasan di Rumah Geudong terjadi saat Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) pada Juli 1989.

Status DOM ini ditetapkan oleh pemerintahan Suharto sebagai tanggapan atas pemberontakan di Aceh yang dipimpin Hasan Tiro dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diproklamasikan pada 1976.

Selama penetapan status itu, temuan Komnas HAM menyebutkan, diperkirakan ada 40-118 orang anggota GAM ikut ditangkap dan disekap di Rumah Geudong.

Dari keterangan 65 orang saksi, demikian Komnas HAM, mereka menemukan bukti permulaan yang cukup atau dugaan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan, mulai disetrum, disundut rokok, digantung, serta dipaksa berhubungan badan.

Komnas HAM dan para pegiat HAM sejak awal sudah menuntut pemerintah Indonesia untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran HAM berat di Aceh, diantaranya kasus Rumah Geudong.

Namun demikian, pemerintah sejauh ini dianggap tidak pernah serius menyelesaikan kasus-kasus pelanggaram HAM - di antaranya yang terjadi di Aceh - sehingga terbengkalai hingga sekarang.

Semula pemerintah berencana membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan titik berat pada penyelesaian di luar jalur hukum.

Tetapi upaya non judisial ini tidak kunjung digelar, setelah ada penerimaan setengah hati dari para pegiat HAM dan ada putusan Mahkamah Konstitusi yang menganulirnya.

Pada Juni 2018 lalu, pemerintahan Joko Widodo mengusulkan pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN) yang disiapkan sebagai upaya penyelesaian bersifat non judisial.

Langkah terobosan pemerintah ini pun mendapat tanggapan dingin dari para pegiat HAM.

Sikap Kejaksaan Agung dan kasus HAM di masa lalu

Dalam berbagai kesempatan, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan, pihaknya terkendala bukti dan persoalan waktu dalam menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM di masa lalu.

"Ini masalah waktu saja untuk mencari bukti-bukti yang ada. Jadi di dalam ranah hukum kita tidak bisa berjalan atas dasar asumsi dan opini, tetapi harus ada bukti dan fakta," kata Prasetyo, Jumat (20/07) lalu.

"Memang untuk mencari bukti-buktinya tentu tidak mudah. Tetapi kami akan terus bekerja, kita lihat saja nanti," katanya.

Menurutnya, persoalan di seputar dugaan pelanggaran HAM berat itu masih berpeluang diselesaikan lewat jalur non judisial.

"Bisa yudisial (pengadilan), tapi juga dibenarkan undang-undang untuk pendekatan nonyudisial, melalui rekonsiliasi dan sebagainya. Semuanya tentu perlu kajian yang mendalam dan kita belum lihat realitas yang ada," ujarnya.