Kekuatan besar Yang lindungi ekstasi Fredi

Selasa, 09 Agustus 2016

Bareskrim bongkar kasus pabrik narkoba Freddy Budiman.

Gilangnews.com - Kontainer dengan nomor TGHU 0683898 diangkut kapal YM Instruction Voyage 93 S berangkat dari Pelabuhan Lianyungan, Shenzhen, China dengan tujuan Jakarta pada 28 April 2012. Setelah lebih dari 10 hari, kapal itu mendarat di Pelabuhan Tanjung Priok tepatnya 10 Mei 2012.
 
Dalam dokumen pengiriman atau bill of lading (BL) tertera nama PT Primer Koperasi Kalta. Ini merupakan koperasi milik Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS TNI) yang beralamat di Jalan Kalibata Raya, Jakarta Selatan. Nama koperasi itu digunakan sebagai 'stempel' atau jaminan untuk pengirim di China, bahwa barang yang diimpor bakal 100 persen aman setibanya di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Sebab, istilahnya menggunakan jalur khusus milik TNI.
 
Barang dalam kontainer itu pesanan Chandra Halim alias Akiong bin Tingtong dan terpidana mati Fredi Budiman. Perkenalan keduanya terjadi di dalam penjara. Untuk pengiriman ini, Akiong menggunakan 'jalur' Hani Sapta Wibowo (Bowo) yang juga dikenalnya di dalam Lapas. Bowo menjamin apapun barang yang dipesan Akiong aman. 
 
Akiong dan Fredi harus memastikan barang kiriman mereka aman mengingat akuarium yang diimpor itu sesungguhnya berisi 12 karton atau dus yang isinya 1.412.476 butir ekstasi atau setara 380.996,9 gram. Rencana pengiriman barang dari China ini sudah disusun Akiong, Fredi dan Hani pada akhir 2011 di dalam sel milik Akiong.
 
Untuk mengamankan barang haram itu, Bowo menghubungi Abdul Syukur, petugas Unit Terminal Container (UTC) Tanjung Priok. Abdul Syukur menawarkan petugas PT Primer Koperasi Kalta, Serma Supriadi untuk memalsukan dokumen dan kop surat koperasi. Abdul Syukur menawarkan upah Rp 85 juta. Serma Supriadi menuruti dan memberikan dokumen itu pada Abdul Syukur untuk kemudian diteruskan ke Bowo dan pengirim barang di China. Logo koperasi milik BAIS itu pun akhirnya tertera dalam dokumen pengiriman kontainer.
 
Kontainer TGHU 0683898 20 fit itu baru dibongkar petugas Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea Cukai pada 22 Mei 2012, atau berselang 12 hari setelah kedatangan kapal. Bea Cukai langsung menyegel kontainer itu setelah diketahui berisi narkoba. Badan Narkotika Nasional (BNN) menangkap Serma Supriadi sebagai pihak 'penjemput' barang tersebut.
 
"Anak buah saya dulu (Serma Supriadi) tidak tahu isi kontainer. Kesalahan dia mengubah dokumen," ujar mantan Kepala Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS TNI) Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto saat berbincang dengan merdeka.com, Senin (8/8).
 
Ponto merangkai lagi kepingan ingatannya saat peristiwa itu. Ponto sapaan akrabnya, tidak diberi tahu perihal temuan Bea Cukai atas satu unit kontainer dengan dokumen tertera logo PT Primer Koperasi Kalta yang ternyata berisi 1,4 juta ekstasi. Dia mengetahui kabar soal ekstasi itu pada 25 Mei 2012, setelah BNN menangkap anak buahnya Serma Supriadi pada 24 Mei 2012 malam.
 
"Saya merasa dikhianati oleh Bea Cukai dan BNN karena tidak dikoordinasikan dengan saya soal temuan itu," ujar Ponto.
 
Bukan tanpa alasan Ponto mengungkapkan kekecewaannya. Dia sudah membuat kesepakatan dengan Direktur Jenderal Bea Cukai yang saat itu dijabat Agung Kuswandono. Isinya, segala temuan Bea Cukai terkait aktivitas koperasi BAIS yang bergerak di bidang forwarder itu, akan dikomunikasikan dengan Ponto. Tapi ternyata pelaksanaannya tidak demikian.
 
Sesungguhnya saat itu ada tiga kontainer yang menggunakan jasa PT Primer Koperasi Kalta. Bea Cukai hanya memberikan laporan pada BAIS dua kontainer saja. Dua kontainer itu tidak bermasalah. Sedangkan satu kontainer lagi yang ternyata berisi ekstasi, tidak dilaporkan oleh Bea Cukai. Bahkan kontainer itu dibiarkan keluar dari Pelabuhan Tanjung Priok hingga akhirnya ditangkap BNN di jalan Tol Kamal.
 
Merasa kebobolan, dia marah pada stafnya berpangkat mayor yang ikut memeriksa kontainer itu. Namun jawaban yang didapatkan justru mengejutkan. 
 
"Staf saya tanya ke intelijen Bea Cukai. Jawabannya, mereka tidak bisa menahan (kontainer keluar) karena ada kekuatan orang besar," katanya.
 
Ponto menduga ada pihak-pihak yang menginginkan ekstasi itu keluar dari Tanjung Priok. Dia lantas menyimpulkan bahwa kekuatan besar yang dimaksud adalah BNN, setelah muncul testimoni Fredi Budiman yang disampaikan koordinator KontraS Haris Azhar terkait adanya pejabat BNN yang terlibat dalam bisnis narkobanya. Apalagi, kata dia, saat itu BNN mengaku sudah mengetahui adanya kontainer yang dikirim dari China dan diduga berisi ekstasi. Tidak hanya itu, BNN juga ikut menggeledah kontainer TGHU 0683898 dan didapati 12 kardus ekstasi.
 
"Saya yakin kebenaran akan berbunyi. Kekuatan besar itu BNN, itu saya simpulkan. Mungkin ini yang dimaksud oleh petugas Bea Cukai dulu," imbuhnya.
 
Meski yakin anak buahnya tidak terlibat dalam bisnis haram ini, Ponto mengaku tak ngotot membelanya. Ponto menghindari anggapan miring yang bisa saja mengarah pada dia. 
 
"Jangan sampai terkesan saya melindungi, jadi saya biarkan proses hukum berjalan. Lagipula saya tidak punya wewenang soal pemeriksaan."
 
Benny Mamoto memimpin langsung operasi penangkapan kontainer berisi 1,4 juta milik Fredi Budiman. Sebelum melakukan penangkapan di jalan tol, anak buahnya memeriksa kontainer tersebut di Tanjung Priok. Itu dilakukan karena BNN mendapat informasi terkait adanya satu kontainer yang diduga berisi ekstasi.
 
"Waktu itu anggota saya ikut masuk dan ikut memeriksa, memastikan bahwa isinya narkoba. Setelah dipastikan isinya narkoba ditutup lagi," ujar Benny saat dikonfirmasi semalam.
 
Dia mengakui tidak melibatkan BAIS dalam pembongkaran kontainer itu. Alasannya sederhana, alamat tujuan kontainer itu ditujukan ke BAIS.
 
"Nah kalau kita tahu alamatnya, lalu nama BAIS-nya kita waspada. Kalau tahu nama BAIS-nya kita waspada agar jangan sampai operasi itu gagal," ungkapnya.
 
Selama kontainer itu ada di Tanjung Priok, Benny menginstruksikan anak buahnya mengawasi selama 24 jam penuh. Alasannya, dari hasil penyadapan, kontainer itu akan dibongkar dan diambil. BNN sengaja menunggu barang haram keluar untuk mengetahui tujuannya. Metode ini disebut control delivery dalam operasi intelijen BNN.
 
"Jadi sekali lagi kalau itu dibongkar di pelabuhan itu enggak terungkap dan yang terima. Jadi operasi intelijen yang kita lakukan bukan main-main," tegasnya.
 
Benny langsung membantah ketika disebut ada kekuatan besar di balik keluarnya 1,4 juta ekstasi milik Fredi dari Pelabuhan Tanjung Priok. Dia menyebut orang yang menganalisa adanya kekuatan besar tidak memahami metode control delivery yang dijalankan BNN.
 
"Itu ngarang. Itu namanya persepsi yang dibikin sendiri. Harus belajar dulu baru komentar. Kalau belum ya akan keliru, analisis intelijennya keliru kalau fakta yang diangkat itu tidak benar. Prihatin saya," jelasnya.
 
Kasubdit Komunikasi dan Publikasi Bea Cukai Deni Surjantono menjelaskan ada standard operating procedure (SOP) terhadap setiap barang yang masuk ke pelabuhan. Tahap pertama masuk di-subload dokumennya, lalu ada invoice, packing list menjadi dokumen pelengkap. Lalu, dilampirkan pemberitahuan info barang (PIB), dokumen diteliti adakah ketentuan dokumen larangan pembatasan atau tidak. 
 
Menurutnya, ada 18 instansi pemerintah yang ada di Indonesia National Single Window (INSW), ada karantina, lalu ada BPOM. Setelah itu masih ada pengecekan berupa persyaratan perizinan. 
 
"Kalau belum lengkap harus dilengkapi izinnya. Dokumen jalan kalau ada barang itu wajib diperiksa fisik baru diperiksa fisik. Dilakukan oleh pemeriksa fisik atau pemeriksa barang dan itu berdasarkan surat tugas," jelasnya.
 
Pengecekan itu juga dilakukan dengan memperhatikan jumlah jenis dan jumlah barang tadi. Setelah sesuai dokumennya diteliti, tarif yang masuk, termasuk nilai sesuai dengan nilai transaksi. "Setelah itu terbit Surat Pemberitahuan Pengeluaran Barang (SPTB). Jadi kalau barang keluar dari pelabuhan ada SPTB itu. Intinya pengecekan dokumen," tuturnya.
 
Namun, lanjutnya, ada juga barang yang memang tidak dilakukan pemeriksaan fisik, itu karena masuk ke jalur hijau. Masuk kategori jalur hijau karena jalur importirnya bagus terus profil komoditinya tidak wajib. 
 
Lalu kenapa barang narkoba dibiarkan lewat? "Kenapa barang itu bisa lewat, kita juga harus adu pintar dengan sindikat, semakin kita pintar kita belajar. Adu pintar, pemeriksaan sudah melakukan secara optimal. Jadi kan di pelabuhan itu kan ribuan kontainer, jadi kalau ada satu yang mojok kontainer tidak dipratinjau atau kalau tidak diperiksa 100 persen nanti akan membuat pelabuhan menjadi penuh," jelasnya.
 
"Pada intinya kita berkomitmen pengawasan yang optimal supaya barang-barang yang berbahaya itu tidak masuk," tandasnya.
 
[P]
 
Sumber Merdeka.com