Rupiah Paling Loyo di Asia, Dolar AS Sentuh Rp14.068

Selasa, 12 Februari 2019

Ilustrasi dolar AS.

GILANGNEWS.COM - Nilai tukar rupiah tercatat pada posisi Rp14.068 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan pasar spot Selasa (12/2) sore. Rupiah melemah 0,24 persen dibandingkan penutupan pada Senin (11/2) kemarin di level Rp14.040 per dolar AS.

Sementara itu, kurs referensi Bank Indonesia Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) menempatkan rupiah di posisi Rp14.088 per dolar AS atau merosot dari penutupan Senin kemarin yakni Rp13.995 per dolar AS.

Pelemahan tersebut menempatkan rupiah sebagai mata uang dengan performa terburuk di Asia untuk dua hari berturut-turut ini. Apalagi, rupiah sempat menyentuh pelemahan mendekati Rp14.098 menjelang siang hari tadi.

Meski demikian, memang sebagian mata uang Asia lunglai di hadapan dolar AS. Setelah rupiah, terdapat pula yen Jepang yang melemah 0,21 persen dan ringgit Malaysia yang melemah 0,13 persen. Sementara dolar Hong Kong terkapar sebesar 0,01 persen terhadap dolar AS.

Di sisi lain, terdapat mata uang utama Asia lain yang menguat terhadap dolar AS, seperti won Korea Selatan sebesar 0,07 persen, peso Filipina sebesar 0,1 persen, hingga dolar Singapura sebesar 0,13 persen. Yuan China dan baht Thailand juga masing-masing menguat 0,18 persen dan 0,28 persen terhadap dolar AS pada sore hari ini.

Namun, juara satu di Asia kali ini dicetak oleh rupee India yang mencatat penguatan sebesar 0,64 persen terhadap dolar AS. Padahal, beberapa minggu sebelumnya, rupee menjadi salah satu mata uang Asia dengan performa yang buruk ketimbang rupiah.

Mata uang negara-negara maju juga melemah terhadap dolar AS, sebut saja euro dan poundsterling Inggris yang masing-masing melemah sebesar 0,09 persen dan 0,1 persen. Di sisi lain, dolar Australia malah menguat 0,28 persen terhadap dolar AS pada hari ini.

Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan rupiah kian melemah karena kurangnya dukungan, baik dari sisi eksternal maupun domestik. "Untuk sentimen eksternal, saat ini investor fokus menunggu hasil perundingan perang dagang antara AS dan China," katanya kepada media, Selasa (12/2).

Dalam perundingan ini AS akan terus menekan China untuk melakukan reformasi struktural dalam melindungi kekayaan intelektual perusahaan AS. Tak hanya itu, investor juga mencermati dampak kebijakan Bank Sentral Eropa yang mempertahankan kebijakan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

Tercatat, inflasi zona Euro pada Januari ini tercatat 1,4 persen atau melambat dibanding periode yang sama tahun sebelumnya 1,6 persen. Sementara dari sisi domestik, Neraca Pembayaran Indonesia sepanjang 2018 yang mencatat defisit US$7,13 miliar juga menjadi sentimen utama investor. Apalagi, defisit transaksi berjalan pada kuartal IV lalu menembus 3,57 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

"Secara tahunan, defisit transaksi berjalan masih di bawah 3 persen dari PDB tepatnya 2,98 persen. Namun, ini juga menjadi catatan terburuk sejak 2014," jelas dia.