Bombardir Insentif ke Maskapai demi Harga Tiket Pesawat Murah

Jumat, 21 Juni 2019

Ilustrasi.

GILANGNEWS.COM - Harga tiket pesawat yang belakangan dikeluhkan masyarakat karena mahal membuat pemerintah harus 'putar otak'. Berbagai kebijakan pun ditelurkan demi menurunkan tarif. Terakhir, pemerintah menjanjikan berbagai insentif fiskal guna membantu efisiensi biaya operasional maskapai.

Sekretaris Menko Perekonomian Susiwijono mengatakan insentif fiskal terhadap maskapai akan diberikan terhadap tiga biaya maskapai. Pertama, jasa sewa, perawatan dan perbaikan pesawat udara. Kedua, jasa sewa pesawat udara dari daerah luar pabean. Ketiga, biaya impor dan penyerahan atas pesawat udara dan suku cadangnya.

Meski tidak secara gamblang, ia bilang insentif fiskal itu akan terkait dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

"Saya tidak akan jelaskan secara detail, tapi kalau penyerahan jasa pasti terkait dengan PPN. Kalau terkait impor dan penyerahan atas pesawat udara dan suku cadangnya, terkait impor tentu ada PPN impornya," ujarnya Kamis (20/6).

Ia menuturkan pemberian insentif tersebut dalam tahap finalisasi dan ditargetkan selesai dalam beberapa minggu ke depan. Dalam hal ini, pemerintah tidak menyusun aturan baru, tetapi melalui revisi Peraturan Pemerintah (PP) yang sudah ada.

"Ini tidak harus kami respons sendiri, kami optimalkan insentif yang sudah ada, kami kaji dulu karena ini harus hati-hati betul memberikan insentif fiskal," katanya.

Dengan sejumlah insentif fiskal tersebut, pemerintah berharap biaya operasional maskapai. Sebagai imbalan, pemerintah meminta maskapai LCC sehingga bisa menyediakan tarif murah kepada penumpang meski terbatas.

Pengamat penerbangan sekaligus Direktur Arista Indoensia Aviation Centre (AIAC) Arista Atmadjati mengatakan pemberian insentif fiskal terhadap biaya jasa sewa dan impor merupakan jawaban untuk efisiensi biaya operasional maskapai. Harapannya, ketika biaya operasional maskapai bisa ditekan, maka tarif tiket pun turut terdiskon.

Arista menyebut biaya-biaya itu sebagai hidden cost alias biaya tersembunyi yang tidak banyak diketahui masyarakat. Namun kontribusinya signifikan kepada operasional maskapai.

"Saya herannya, maskapai dan INACA (Indonesia National Air Carrier Association) sendiri tidak pernah memperjuangkan (insentif fiskal). Akhirnya pemerintah terbuka juga karena maskapai memang tidak pernah teriak," katanya kepada media.

Ia memberikan gambaran, berdasarkan sebuah studi, pajak yang dibebankan kepada maskapai atas jasa sewa dan impor bisa mencapai 22,5 persen secara rata-rata. Angka ini terpaut jauh dari besaran pajak yang umumnya berlaku sekitar 10 persen. Ini disebabkan, pungutan pajak dibebankan secara terpisah, misalnya pajak ban, pajak oli, pajak onderdil pesawat, dan sebagainya.

Jika pemerintah bisa menekan pajak tersebut hingga kisaran 10 persen, menurut prediksi dia, maka tarif tiket bisa berkurang hingga 20 persen. Perhitungan tersebut masuk akal, lantaran catatan pemerintah yang disampaikan Susiwijono menyebut biaya sewa pesawat berkontribusi sebesar 20 persen-24 persen kepada harga tiket dan biaya perawatan suku cadang sebesar 16 persen-20 persen.

Namun, jika ingin disebut sebagai insentif, pajak tersebut seharusnya bisa diturunkan mencapai 5 persen-6 persen. Selanjutnya, pemerintah bisa melakukan evaluasi seiring perbaikan dalam keuangan maskapai sendiri.

"Evaluasi bisa dilakukan evaluasi enam bulan, sambil memantau keuangan maskapai. Pemerintah memonitor jika ada dampak positif maka bisa dinaikkan lagi," tuturnya.

Ia menilai pemberian insentif tersebut merupakan hal yang lumrah dilakukan. Beberapa maskapai di Asia Tenggara juga memberlakukan hal yang sama kepada industri penerbangannya, misalnya di Thailand dan Malaysia. Namun, ia tidak merinci bentuk insentif tersebut.

Insentif ini diperlukan lantaran Indonesia tidak memproduksi pesawat dan onderdilnya secara mandiri. Lain cerita, dengan industri maskapai di negara maju, di mana mereka bisa menghasilkan komponen pesawat sendiri atau impor dari negara tetangga yang relatif dekat sehingga biaya impornya tidak terlalu tinggi.

Senada, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nawir Messi mengatakan pelonggaran pajak akan berkontribusi pada penurunan biaya operasional maskapai sekaligus meringankan beban utang yang ditanggung hampir semua maskapai. Akan tetapi, ia meragukan kebijakan insentif ini mampu mendorong penurunan harga tiket. Penurunan biaya operasional, menurut dia, bukan jaminan pasti turunnya harga tiket pesawat.

"Pasti ada manfaatnya pada penurunan biaya operasional maskapai, tetapi pertanyaannya kemudian apakah dengan turunnya biaya operasional lantas akan menurunkan harga tiket, apa begitu? Kan tidak," katanya kepada CNNIndonesia.com.

Jika pemerintah ingin mendorong penurunan harga tiket, lanjutnya, maka pemerintah perlu turun tangan pada perbaikan persaingan di industri penerbangan. Dalam hal ini, pemerintah perlu menggandeng Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Pasalnya, ia menduga terjadi penyesuaian harga (price parallism).

Menurut Nawir, praktik price parallism kemungkinan terjadi ketika Garuda Indonesia Group mengerek harga, lalu diikuti dengan kenaikan harga dari Lion Group tanpa diminta dan tanpa saling komunikasi. Terlebih, lanjutnya, saat ini hanya dua grup maskapai penerbangan yang bermain di pasar Indonesia, yakni Garuda Indonesia Group (meliputi Garuda Indonesia, Citilink Indonesia, Sriwijaya Air, dan NAM Air) serta Lion Group (meliputi Lion Air, Batik Air, dan Wings Air).

"Kita tunggu KPPU bekerja, apakah KPPU bisa memperbaiki iklim persaingan atau tidak. Jadi harapan kami ada koordinasi antara KPPU dengan Kemenko Perekonomiansehingga persoalan menjadi clear dan respons kebijakan menjadi kena atau menjawab persoalan secara menyeluruh," katanya.

Sejalan dengan itu, ia mendukung pemerintah untuk tetap memberikan dukungan kebijakan insentif fiskal guna mengurangi inefisensi pada industri penerbangan. Baik dari efiesinsi biaya jasa dan pelayanan bandara maupun utamanya biaya avtur.

"Sebenarnya kami sudah dari dulu teriakkan agar Pertamina dan Kementerian Keuangan melakukan adjustment (penyesuain) terhadap harga. KPPU sudah sudah suarakan dari 10 tahun lalu tidak direspons tapi baru direspons sekarang," katanya.

Menurutnya, penurunan biaya avtur akan berpengaruh signifikan pada biaya tiket. Merujuk kepada data yang disampaikan Susiwijono, avtur menyumbang kontribusi sebesar 30 persen-31 persen pada pembentukan harga tiket. Ia mencontohkan, industri penerbangan Singapura yang tidak dipungut pajak penjualan avtur.

"Itu sebabnya maskapai asing dari Singapura tidak isi minyak di Cengakreng, sehingga mereka bisa hemat biaya avtur 7 persen-10 persen dari biaya avtur. Itu artinya sangat besar pengaruhnya," katanya.

Sebelumnya, pemerintah telah meminta maskapai menurunkan tarif tiket pesawat berbiaya murah (Low Cost Carrier/LCC) untuk rute dan jam penerbangan tertentu sesuai dengan usulan dari maskapai penerbangan. Usulan akan diberikan pada pekan depan untuk selanjutnya ditinjau kembali oleh pemerintah.

Selain meminta maskapai untuk menurunkan harga tiket pesawat LCC, pemerintah menyatakan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) industri penerbangan sepakat untuk menurunkan komponen biaya operasional yang masih memiliki peluang untuk dipangkas. Stakeholder itu meliputi pihak maskapai sendiri, pengelola bandar udara (bandara), dan PT Pertamina (Persero) sebagai penyedian avtur pesawat.