Nasional

Campak dan kelaparan di Asmat: kemanakah APBD triliunan selama ini?

Seorang anak kekurangan gizi menjalani perawatan di RSUD Agats, satu-satunya rumah sakit di Kabupaten Asmat.

GILANGNEWS.COM - Ribuan anak dilaporkan kekurangan gizi dan terpapar campak di Kabupaten Asmat, Papua, dalam empat bulan terakhir, sementara setidaknya lebih dari 60 anak lainnya telah meninggal dalam kejadian luar biasa (KLB) itu.

Anak-anak di Asmat kekurangan gizi, meski anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) kabupaten itu mencapai lebih dari Rp1 triliun pada 2017 dan mendapat jatah sekitar Rp106 miliar dari dana otonomi khusus Papua.

Walau mengelola anggaran triliunan rupiah, Gubernur Papua Lukas Enembe menyebut masyarakat di sejumlah kabupaten dan kota tidak mendapatkan fasilitas dasar memadai, salah satunya di sektor kesehatan.

"Sudah terjadi bertahun-tahun dan di mana-mana di Papua. Jangankan Asmat, tempat asal saya (Tolikara), daerahnya masih terbelakang. Ini bukan hal baru," kata Enembe di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa (23/1/2018) lalu.

Dosen Ilmu Politik Universitas Cendrawasih, Marinus Maung, menilai penggunaan APBD di Papua tidak efektif dan tidak tepat sasaran karena persaingan politik pada pemilihan kepala daerah tidak berkesudahan.

Dalam penelitiannya di beberapa kabupaten, kata Marinus, kepala daerah terpilih membatasi atau menghapus anggaran pelayanan publik, termasuk kesehatan, untuk daerah atau kelompok masyarakat yang menjadi basis lawan politik.

"Politik anggaran semacam itu mendominasi kabupaten yang menjadi lokasi KLB," tutur Marinus saat dihubungi melalui sambungan telepon, Rabu (24/1/2018).

Krisis kesehatan yang melanda Asmat sebelumnya juga terjadi pada beberapa kabupaten lain di Papua, antara lain Yahukimo, Nduga, dan Pegunungan Bintang, yang juga memiliki APBD triliunan rupiah.

Awal pekan ini, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyebut Pemkab Asmat menganggarkan 10% APBD 2017 untuk kesehatan, sesuai anjuran pemerintah pusat.

Tjahjo mengatakan kementeriannya tengah menginvestigasi hubungan sebab-akibat dalam alokasi anggaran dan krisis gizi di Asmat.

Namun Marinus menduga penggunaan APBD tidak tepat sasaran karena kompetensi pejabat yang rendah. Menurutnya, kepala daerah di Papua cenderung mempolitisasi birokrasi.

Para birokrat semacam itu disebut Marinus tidak dapat memaksimalkan anggaran yang tersedia.

"Struktur pemerintahan dibangun atas dasar suka-tidak suka. Kepala dinas yang dulu berpihak ke kandidat lain digantikan 'orang-orang' kepala daerah baru, yang belum tentu punya kompetensi," ucapnya.

Kalau ke puskesmas, apakah ada minyak atau perahu?

Kabupaten Asmat yang terdiri dari sembilan distrik (setingkat kecamatan) dan lebih dari 100 kampung. Luas kabupaten itu mencapai 29.000 kilometer persegi atau 48 kali luas DKI Jakarta.

Pemuka agama di Asmat, Uskup Aloysius Murwito, menyebut akses transportasi menuju dan di dalam Asmat sangat buruk. Kampung terjauh dari Agats, ibu kota Asmat, berjarak tujuh jam perjalanan laut menggunakan perahu mesin.

"Kampung-kampung itu tidak memiliki fasilitas listrik atau air yang memadai, alat komunikasi pun tidak ada.

"Di tempat seperti itu fasilitas dasar sungguh rendah, terutama kesehatan dan pendidikan," ujar Aloysius kepada awak media saat dihubungi dari Jakarta.


Tulis Komentar