Nasional

Aksi “Kartu Kuning” Dan Kenyataan Pahit Dunia Pendidikan Kita

Aksi pelajar di Bandung, Jawa Barat.

GILANGNEWS.COM - Baru-baru ini, publik dihebohkan oleh aksi kritik yang dilakukan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa UI, M. Zaadit Taqwa, lewat pemberian Kartu Kuning kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) usia berpidato di Dies Natalis ke-68 UI di Balairiung, Depok, Jumat (2/2/2018).

Aksi pemberian kartu kuning tersebut sontak menuai kritik maupun dukungan dari berbagai pihak diseantero negeri. Ada tiga hal pokok yang disampaikan Zaadit lewat aksinya, yakni: pertama, soal gizi buruk dan campak yang terjadi di Asmat, Papua; kedua, pengangkatan Pelaksana Tugas (Plt) atau pejabat gubernur yang berasal dari perwira tinggi TNI/Polri; dan ketiga, Permenristekdiktir tentang Organisasi Mahasiswa (Ormawa), karena dapat mengancam kebebasan berorganisasi dan gerakan kritis mahasiswa.

Sebetulnya, apa yang dilakukan mahasiswa UI ini merupakan hal yang pantas dan wajar-wajar saja dilakukan setiap warga negara Indonesia dan dalam naungan Negara yang menganut demokrasi. Apalagi, mahasiswa sebagai manusia terdidik, kritis, dan berkewajiban mengawal secara kritis kebijakan pemerintah.

Namun perlu diketahui bahwa tuntutan yang disodorkan mahasiswa UI tersebut adalah bagian kecil dari banyaknya problem pokok yang melanda rakyat Papua maupun Indonesia. Di Papua, ada persoalan eksploitasi sumber daya yang disertai dengan represi. Sedangkan Indonesia tengah berhadapan dengan persoalan kemiskinan dan ketimpangan sosial.

Laporan Oxfam dan INFID pada 2017 menyebutkan tingkat ketimpangan Indonesia berada di peringkat 6 terburuk di dunia. Betapa tidak, menurut laporan tersebut, kekayaan 4 orang terkaya di Indonesia sama dengan gabungan kekayaan 40 persen atau 100 juta penduduk termiskin Indonesia. Disebutkan juga bahwa sebanyak 49 persen dari total kekayaan Indonesia dikuasai hanya oleh 1 persen warga terkaya—termasuk 4 orang terkaya tadi. Sementara 51 persen diperebutkan oleh 99 persen penduduk.

Kebijakan neoliberalisme turut mendorong dan merawat ketimpangan melalui kebijakan seperti: privatisasi dan komodifikasi barang yang seharusnya dikuasai publik, kemudian liberalisasi perdagangan dan jasa, liberalisasi investasi, kebijakan pajak yang tidak adil, dan tentunya neoliberalisme mendorong privatisasi layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, listrik, air minum, jalanan umum dan lain-lain.

Kali ini saya akan lebih menyoroti soal privatisasi pendidikan yang tengah dijalankan pemerintahan kita saat ini. Karena, menurutku, pendorong serta penyokong utama kemajuan sebuah bangsa dilihat dari kualitas pendidikannya.

Neoliberalisme di Dunia Pendidikan

Idealnya sebuah pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia. Begitulah esensi pendidikan menurut sang tokoh pendidik yang juga merupakan Menteri Pendidikan RI pertama, Ki Hajar Dewantara. Menurutnya, pendidikan haruslah memerdekakan kehidupan manusia; pendidikan mesti disandarkan pada penciptaan jiwa merdeka, cakap, dan berguna bagi bangsa.

Dahulu, dizaman saat indonesia sedang diperjuangkan kemerdekaannya, instrumen paling utama yang diperkuat adalah soal pendidikan dan pencerahan. Betapa tidak, tokoh-tokoh penggerak kemerdekaan saat itu adalah mereka yang berasal dari kaum terpelajar. Pun pendidikan saat itu betul betul dijadikan sebagai alat perjuangan untuk membebaskan rakyat dari pembodohan dan penghisapan oleh penjajah.


Tulis Komentar