Nasional

'Larangan warga keturunan memiliki tanah' di Yogyakarta: penggugat diancam akan diusir dari Yogyakar

Provinsi Yogyakarta berbeda dengan provinsi lainnya karena mendapat status daerah istimewa.

GILANGNEWS.COM - Walaupun diancam akan diusir dari wilayah Yogyakarta, seorang warga Indonesia keturunan Cina di Yogyakarta tetap melakukan upaya hukum banding terhadap aturan 'larangan nonpribumi memiliki tanah' di Yogyakarta.

"Saya juga sudah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Yogyakarta," kata Handoko, warga Indonesia keturunan Cina, Jumat, (02/01), kepada wartawan di Yogyakarta.

Upaya banding ini dilakukan Handoko setelah gugatan awalnya terhadap larangan warga Tionghoa memiliki tanah di Yogyakarta ditolak oleh Pengadilan Negeri Yogyakarta, dua pekan lalu.

Handoko menggugat Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY No. K.898/I/A/1975 tanggal 5 Maret 1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah kepada Seorang WNI Nonpribumi, yang dianggapnya diskriminatif.

Memori banding, lanjut Handoko, telah dia daftarkan pada Rabu (28/02), dan teregistrasi di Pengadilan Tinggi Yogyakarta dengan nomor 132/Pdt. G/2017/PN.Yyk.

"Semoga dalam tiga bulan ke depan sudah ada putusanya," tambahnya.

'Kalau perlu kita usir dari Yogyakarta'

Tetapi upaya hukum banding Handoko dipertanyakan oleh sejumlah pihak, di antaranya salah seorang adik Gubernur DIY, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto.

Dia meminta agar tindakan Handoko tidak usah diteruskan. Di hadapan wartawan, Hadiwinoto mengatakan, kalau tidak setuju dengan aturan yang ada Yogyakarta, Handoko diminta pindah dari Yogyakarta.

"Saya mengingatkan kepada teman-teman Tionghoa agar ingat. Jangan cuma menuntut hak saja. Kamu hidup dan mati di sini, kalau enggak mau, bisa hidup di luar Yogyakarta," kata KGPH Hadiwinoto.

Sementara itu, KRT Poerbokusumo, cucu Hamengkubuwono VIII, meminta agar Handoko menghormati dan mengikuti Instruksi 1975. Kalau Handoko masih tetap mengajukan gugatan, KRT Poerbokusumo akan turun ke jalan menemui Handoko.

"Kita akan turun ke jalan. Kalau perlu kita akan usir dari Jogja," katanya, seperti dilaporkan wartawan di Yogyakarta, Furqon Ulya Himawan, untuk BBC Indonesia.

Pernyataan ini dikeluarkan di sela-sela acara pertemuan sejumlah keluarga dekat Keraton Yogyakarta dan masyarakat di kediaman Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Poerbokusumo, Kamis (03/01).

Pertemuan bertajuk Merawat Sejarah Keistimewaan Yogyakarta Untuk Kedaulatan NKRI. Acara tersebut dihadiri kerabat keraton, Emha Ainun Najib atau Cak Nun, Brotoseno, dan ratusan masyarakat serta warga Tionghoa.

Salah satu warga Tionghoa yang hadir dalam acara tersebut, Chang Wendryanto, yang juga menjadi anggota DPRD DIY, berharap agar semua permasalahan diselesaikan dengan cara musyawarah, bukan lewat jalur hukum. "Ayolah kita hidup damai," kata Chang.

Chang berharap jangan sampai ada kejadian yang tidak diinginkan dan bagi Chang, tidak mempermasalahkan adanya Instruksi 1975. "Bagi saya tidak masalah, yang penting bisa hidup," imbuhnya.

Handoko tidak mau menanggapi adanya sejumlah kelompok yang tidak suka dengan gugatannya. Dia mengaku tetap akan meneruskan jalur hukum dan tidak patah semangat.

"Saya tidak apa-apa, saya sudah siap," kata Handoko.

Handoko mengaku akan terus berjuang agar Instruksi 1975 yang dianggapnya diskriminatif tidak lagi diterapkan. Menurutnya, instruksi tersebut bertentangan dengan konstitusi dan melanggar HAM karena tidak memperbolehkan warga negara mendapatkan hak kepemilikan tanah.

Beberapa kali Handoko sudah menempuh jalur hukum, mulai dari mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung, gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta (PTUN), banding ke PTUN Surabaya atas putusan PTUN Yogyakarta, kasasi ke MA atas putusan PTUN Surabaya.

Dan yang terbaru adalah gugatan perdata tindakan melawan hukum karena gubernur dan kepala BPN DIY masih memberlakukan Instruksi 1975, tetapi berakhir kandas.
DPR menyerahkan ke Pemprov Yogyakarta

Di tempat terpisah, sejumlah anggota Komisi II DPR yang membahas masalah pertanahan bersama Pemerintah Provinsi Yogyakarta menegaskan Instruksi 1975 sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah.

Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY tertanggal 5 Maret 1975 -tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah kepada Seorang WNI Nonpribumi - melarang warga nonpribumi mempunyai hak milik atas tanah di provinsi yang mendapat status daerah istimewa tersebut.

Usai pertemuan di Kantor Kepatihan Pemerintah Provinsi DIY, Kamis (01/03), anggota DPR Sareh Wiyono menyatakan tidak mendukung Instruksi 1975 namun juga tidak menentangnya.

"Aduh, bagaimana ya, menurut saya ini kok urusan pemerintah daerah," katanya kepada para wartawan.

Tidak jelas rincian dari pembahasan terbaru antara anggota Komisi II DPR dengan para pejabat pemerintah DIY sementara Kepala BPN Kanwil DIY, Tri WIbisono, menolak berkomentar usai pertemuan.

"Mohon maaf saya belum bisa menjawab persoalan itu," katanya singkat sebelum masuk ke mobilnya.

Pemprov DIY 'berkeras'

Upaya penentangan atas Instruksi 1975 -yang dianggap diskriminatif itu- sebenarnya sudah ditempuh oleh beberapa pihak.

Tahun 2011, misalnya, Gerakan Nasional Anti Diskriminasi mengirim surat kepada presiden terkait masalah kepemilikan tanah ini dan mendapat tanggapan yang isinya adalah agar tidak ada perbedaan layanan pengurusan sertifikat tanah antara warga negara pibumi dan nonpribumi.

Namun 'perintah' pusat itu diacuhkan Yogyakarta karena pada 8 Mei 2012, Sekretaris Daerah menyatakan pemberlakukan instruksi merupakan affirmative policy untuk melindungi warga pribumi dari kekuatan modal besar.

Komnas HAM, pada tahun 2012, juga menyatakan Instruksi 1975 bertentangan dengan hak asasi manusia dengan alasan tidak semua warganegara keturunan Cina memiliki latar belakang ekonomi kuat.

Dan pada awal Februari tahun ini, Ombudsman RI Perwakilan DIY atau ORI menyatakan bahwa pemberlakuan Instruksi 1975 adalah maladministrasi dan tindakan diskriminatif terhadap pelayanan pengurusan tanah.

Laporan ORI DIY tersebut didasari pada laporan warga etnik Cina yang tidak bisa mengurus hak kepemilikan tanah di BPN Kota Yogyakarta, BPN Kabupaten Kulonprogo, dan BPN Kabupaten Bantul.

Namun tampaknya berbagai upaya itu tidak membuahkan hasil dan gubernur DIY masih tetap memberlakukan Instruksi 1975 dengan alasan keistimewaan.

Peneliti sekaligus dosen di Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) DIY, Nashih Lutfhi, menyatakan, Kanwil BPN DIY seharusnya berani dengan tegas untuk mengikuti putusan ORI DIY dan Komnas HAM serta memutus rantai agar tidak mengikuti instruksi 1975 yang lahir dari kebijakan politik.

"Kalau BPN malah tetap melanggengkan instruksi, maka dia menghilangkan kesempatan emas membuat sejarah baru, untuk membangun tradisi kelembagaan yang taat azas," tegasnya.


Tulis Komentar