Nasional

Peluang 'Kebangkitan' GBHN di Tangan Titiek Soeharto

Penunjukkan Titiek Soeharto sebagai Wakil Ketua DPR akan membuka peluang dihidupkannya kembali GBHN.

GILANGNEWS.COM - Penunjukkan Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto dinilai akan membuat peluang dihidupkannya kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) akan terbuka.

Gaung untuk menghidupkan 'kembali' rambu-rambu pembangunan yang menjadi pijakan di era Orde Baru itu semakin keras terdengar beberapa waktu terakhir.

Bahkan, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri juga kerap melontarkan keinginannya untuk menghidupkan kembali GBHN sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan.

Menurut Megawati, kebijakan yang digunakan oleh Presiden Soeharto di era Orde Baru itu dibutuhkan untuk menentukan arah pembangunan Indonesia ke depan.

Megawati mengungkapkan keinginannya tersebut dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDIP 2016 kemudian diulangi kembali ketika berorasi di Kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Sumedang, Jawa Barat pada Kamis (8/3) silam.

Kehadiran Titiek, bila nantinya resmi dilantik menjadi Ketua MPR akan memuluskan keinginan Megawati, sebab Titiek pernah mengatakan GBHN harus dihidupkan kembali agar kesinambungan di setiap pergantian presiden di Indonesia terjadi.

Di era Orde Baru GBHN berisi acuan bagi presiden selaku mandataris MPR dalam mewujudkan cita-cita bangsa bernegara. Bentuk operasional dari GBHN ketika itu dituangkan dalam Rencana Pembangunan Nasional, antara lain Repelita pada masa Suharto. GBHN ditetapkan oleh MPR.

Namun, sejak awal era reformasi GBHN tak lagi berlaku dan diubah dengan sistem lain, sehingga MPR tidak perlu lagi membuat GBHN yang akan dilaksanakan dan dipertanggung jawabkan oleh Presiden. Selain itu, GBHN dihapus karena adanya amandemen Undang-undang yang menghasilkan penguatan daerah otonom berdasarkan UU hasil amandemen yaitu UU Nomor 22/1999.

Pengamat politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun mengatakan Titiek merupakan putri Soeharto yang memiliki cara berpikir dan cara membaca kepentingan negara tidak jauh berbeda dengan sang ayah.

Ubedilah mengamini bila pergantian perwakilan Golkar di kursi Wakil Ketua MPR dari Mahyudin ke tangan Titiek diindikasi sebagai upaya untuk menghidupkan kembali GBHN di era saat ini.

"Tampaknya, ada indikasi yang menunjukkan MPR akan memunculkan kembali GBHN," kata sosok yang akrab disapa Ubed itu saat berbincang dengan wartawan, Senin (19/3).

Kata Ubed, GBHN dibutuhkan sebagai haluan arah pemerintahan setiap lima tahun dan tidak berganti setiap pergantian presiden.

"Saya kira untuk membuat arah pemerintahan selama lima tahun menjadi milik bersama dalam mencapai tujuan itu (GBHN) menjadi penting," ujar Ubed.

Namun, menurutnya, upaya menghidupkan kembali GBHN tidak mudah karena harus melalui proses amandemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945 untuk mengembalikan posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara lebih dahulu.

Tanpa amandemen UUD 1945, lanjutnya, MPR tidak memiliki dasar untuk menghidupkan kembali GBHN.

Pendapat berbeda disampaikan oleh pengamat politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Idil Akbar.

Menurutnya, upaya menghidupkan kembali GBHN tidak akan terjadi hanya karena Titiek menduduki jabatan Wakil Ketua MPR.

Selain tidak memiliki kemampuan dalam membaca situasi politik, menurutnya, Titiek juga belum mempunyai pengaruh yang signifikan.

"Tidak bisa, (Titiek) tidak mewakili kelembagaan Orde Baru secara garis besar. Dia hanya dilihat sebagai simbol, tidak mempunya pengaruh signifikan" ucapnya.

Menurutnya, upaya menghidupkan kembali GBHN harus lahir dari kesepakatan seluruh fraksi di parlemen saat ini dan Dewan Perwakilan (DPD) yang memiliki pengaruh besar untuk menyetujui amandemen UUD 1945 lebih dahulu.

"Lobi setiap fraksi sangat penting, jangan lupa DPD juga harus 'dikondisikan' karena mereka punya pengaruh besar dalam amandemen itu," tutur Idil.

Lebih jauh, Idil juga menyambut positif mimpi menghidupkan kembali GBHN. Menurutnya, Indonesia harus memiliki desain arah pembangunan ke depan.

Namun, dia mengingatkan, upaya menghidupkan kembali GBHN yang harus ditempuh dengan melakukan amandemen UUD 1945 lebih dahulu tidak boleh sampai mengubah atau memasukkan lagi sejumlah pasal yang kontroversial, misalnya terkait masa jabatan seorang presiden atau kewenangan presiden dalam mengangkat pejabat tinggi negara seperti yang terjadi di era Orde Baru dahulu.

"Indonesia butuh grand design, mau ke arah mana Indonesia? Timur, barat, atau sebagainya. Cuma upaya ke sana jangan sampai mencoba memasukkan kembali pasal kontroversial," tutur Idil.


Tulis Komentar