Nasional

Suara azan masjid di Papua: Mencari titik temu demi perdamaian di Tanah Tabi

Masjid Al-Aqsa di Sentani, Jayapura, yang masih dalam pembangunan.

GILANGNEWS.COM - Permintaan Persekutuan Gereja-Gereja (PGGJ) di Kabupaten Jayapura, Papua, agar suara azan diarahkan ke dalam masjid karena 'mengganggu kenyamanan' disebut oleh Majelis Ulama Indonesia, MUI, setempat sebagai 'permintaan yang tak mungkin dipenuhi'.

Pihak gereja sudah melakukan pertemuan dengan MUI, yang mewakili organisasi-organisasi massa Islam, di Jayapura Senin (19/03) menyusul delapan poin permintaan yang diajukan PGGJ pekan lalu.

Termasuk dalam permintaan itu adalah suara azan, seragam dengan atribut agama, dan pembangunan hanya masjid di perumahan-perumahan baru.

"Kami minta untuk dihargai karena Tanah Tabi ini, dimulai dengan Injil... Masjid berdirinya itu di sekeliling yang ada umat Nasrani, karena itu kami minta azannya jangan ke luar.""Kami juga melakukan ibadah, tapi suara ibadah kami tak keluar, di dalam. Kami tak pake loud speaker lapangan, kami pakai speaker di dalam saja. tak sampai keluar ke khalayak umum. Marilah kita sama-sama seperti itu," kata Pendeta Robbi Depondoye, ketua umum PGGJ Jayapura kepada wartawan.

"Kami merasa suara azan yang dikeluarkan sangat mengganggu kenyamanan, dengan toa (pengeras suara) yang disetel sampai volume kandas, untuk orang lain kan gak baik... Itu yang kami bilang, bagaimana ibadahmu jalan tapi suara azannya ke dalam saja, jangan keluar. Seperti itu kan sederhana saja," tambahnya.

Namun ketua umum MUI Papua, Saiful Islam Al Payage, juga mengungkapkan pendapatnya dalam pertemuan yang juga dihadiri pemerintah daerah setempat: "Kita menyampaikan penolakan dengan cara yang baik dan Insya Allah akan menyelesaikan permohonan dengan dialog."

"Itu terlalu dalam, permintaan yang tak mungkin dipenuhi... Kita saling menghargai dan menghormati, dan membangun tanah Papua yang damai," kata Payage.

Ia menambahkan kedua belah pihak menyimpulkan perlunya menjaga persatuan, kesatuan antar umat beragama, menjaga perdamaian di tanah Papua: "Kita sepakat jangan sampai mengatas nama agama apapun dan terjadi konflik."

Pertemuan -menurut kata pendeta Robbi- juga sepakat untuk membentuk tim kecil sebagai tindak lanjut karena ada 'titik temu' walau tidak menjelaskan rincianya.

Delapan poin permintaan yang diajukan pihak gereja, tambah Robbi, merupakan fenomena dan keresahan yang dirasakan masyarakat selama empat dekade.

Pihaknya juga meminta agar pembangunan menara Masjid Al Aqsha di Sentani dihentikan dan dipastikan agar tidak lebih tinggi dari gereja-gereja di seputar.

Saling permisi

"Gereja sebagai yang sulung di tanah Papua, secara khusus di Kabupatan Jayapura harus dihargai, tolong permisilah kalau ada yang dilakukan... Mari kita jaga bersama, karena gereja sudah lebih dahulu ada di Jayapura, saudara yang berkeyakinan lain, marilah saling permisi, itu yang ada di pikiran kami," kata Robbi.

"Kita juga minta untuk di fasiltias umum seperti kantor rumah sakit, sekolah, pasar dan terminal atau kantor rpmerintah, jangan ada ruang khusus yang dibuat menjadi ruang musola, karena yang namanya ibadah adalah urusan orang per orang. Jadi tak perlu lagi ruang seperti itu di kantor-kantor."

"Pada KPR-KPR (Kredit Pemilikan Rumah) yang dibangun, kami juga minta para developer kalau mau membangun rumah-rumah, sarana ibadah jangan hanya satu agama saja. Sangat mencolok di kabupaten Jayapura, setiap ada KPR pasti ada masjidnya. Yang lain bagaimana?"

"Karena itu kami minta pemerintah kabupaten Jayapura, bersama DPR menyusun Raperda (Rancangan Peraturan Daerah) tentang kerukunan umat beragama," tambahnya.

Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, melalui situs Kementerian Agama menyatakan telah berkomunikasi dengan para pemuka agama dan menungkapkan harapannya agar masalah ini diselesaikan "dengan musyawarah".


Tulis Komentar