Nasional

Kekerasan terhadap siswa masih marak, guru berdalih 'demi kedisiplinan'

Setengah dari total 161 aduan kasus kekerasan di sekolah pada enam bulan pertama 2018 terjadi di tingkat SD.

GILANGNEWS.COM - Lebih dari 100 kasus kekerasan di sekolah, dalam bentuk fisik dan verbal, terjadi sejak awal 2018 hingga pertengahan Juli ini, menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Kampanye sekolah ramah anak dianggap belum efektif.

Dalam catatan KPAI, sekitar 50% kasus tersebut melibatkan pelajar, baik sebagai korban maupun pelaku. Sisanya berkaitan dengan pengajar.

Sekolah dasar tercatat paling sering menjadi kekerasan di dunia pendidikan selama tahun 2018, dengan persentase 50%, di susul SMA (34,7%) dan SMP (19,3%).

Menurut Ketua Federasi Guru Independen Indonesia, Tetty Sulastri, selama ini guru masih kerap berdalih menegakkan kedisiplinan saat melakukan kekerasan terhadap peserta didik.

Tetty, yang juga berstatus fasilitator kampanye sekolah ramah anak, menyebut sebagian besar guru juga belum meninggalkan kebiasaan berkata-kata kasar di dalam kelas.

"Sebanyak 90% pengajar menolak kampanye sekolah ramah anak dengan berkata, dalam praktik belajar-mengajar penuh kelembutan, kedisiplinan tidak akan muncul," ujar Tetty via telepon, Senin (23/07).

Selain data tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga mencatat, 84% pelajar atau delapan dari 10 peserta didik di Indonesia pernah menjadi korban perundungan (bullying).

Namun Ketua KPAI, Susanto, menyebut secara umum jumlah kekerasan di lingkungan pendidikan terus menurun dari tahun ke tahun. Ia mengatakan pemerintah telah mengupayakan beragam cara untuk menekan kekerasan itu.

Susanto mengklaim tren penurunan itu dipicu program sekolah ramah anak dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 82/2015 tentang pencegahan dan penanggulangan kekerasan di sekolah.

"Harus diakui kekerasan verbal masih tinggi, baik oleh guru atau pelajar. Tapi pengurangan jumlah kekerasan itu prestasi dan harus diapresiasi," ujar Susanto di Jakarta.

Kasus kekerasan yang terakhir mencuat menimpa siswi SMAN 1 Mojokerjo, Mas Hanum Aprilia. Akhir pekan lalu ia dilaporkan cedera parah dan lumpuh akibat dipaksa 90 kali squat jump oleh pelajar lain di sekolahnya.

Dinas pendidikan setempat menyatakan pihak sekolah lalai atas kejadian tersebut. Sanksi administratif tengah mereka kaji untuk dijatuhkan pada kepala sekolah itu.

Sementara itu, suatu dini hari Juni lalu di Yogyakarta, mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Dwi Ramadhani Herlangga, tewas dibacok sekelompok remaja. Kepolisian menciduk para terduga pelaku yang ternyata masih berstatus pelajar.

Menurut dosen Fakultas Ilmu Pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta, Ariefa Efianingrum, meski terjadi di luar jam sekolah, tenaga pendidik tak boleh lepas tangan atas kekerasan yang dilakukan pelajar.

Di sisi lain, Ariefa juga menganggap orang tua juga berperan besar atas berbagai kekerasan yang melibatkan pelajar.

"Semua pihak harus terlibat, termasuk sekolah dan dinas pendidikan, karena status pelajar melekat 24 jam."

"Walau aktivitas pelajar di luar jangkauan, misalnya dini hari, bukan berarti mereka bisa lepas tangan. Penting juga keluarga sebagai tempat pertama anak bersosialisasi. Tidak bisa satu pihak saja," kata Ariefa.

Ariefa sebelumnya pernah meneliti fenomena kekerasan antarpelajar dan oleh tenaga pendidik di sejumlah sekolah di Yogyakarta.

KPAI menilai tradisi kekerasan di sekolah dapat menurun jika kualitas pendidikan tenaga pengajar digenjot. Menurut mereka, kampanye sekolah sebagai tempat yang steril dari kekerasan tak efektif jika dilakukan parsial.

"Pada proses pembibitan guru, mata kuliah perlindungan anak harus jadi diwajibkan di fakultas keguruan. Tujuanya saat jadi guru, mereka sudah memiliki pemahaman itu," kata Susanto.

Bagaimanapun di Jakarta, para guru terdorong untuk tak melakukan kekerasan dan berinisiatif mencegah perundungan serta tawuran.

Anshori, seorang guru SMK negeri di Jakarta, berkata tunjangan kinerjanya (TKD) akan dipotong jika gagal menjadikan sekolah ramah anak.

"Kalau siswa kami terlibat tawuran, TKD kami akan menurun. Imbasnya, kami harus terjun langsung ke lapangan, memberikan penyuluhan agar siswa tidak yang berantem," ujarnya.

Hal serupa diutarakan Tetty Sulastri yang mengajar di SMAN 24 Jakarta. Regulasi pemerintah yang tepat, menurutnya, dapat berdampak positif pada situasi belajar-mengajar.

"Di Jakarta, kalau siswanya tawuran, satu sekolah tunjangannya dipotong. Guru berebut untuk turun tangan mengatasi itu," kata Tetty.


Tulis Komentar