Nasional

'Mereka bertahan hidup makan daun': Kasus kelaparan di Maluku Tengah

Setidaknya tiga orang - di antaranya dua balita - anggota komunitas adat terpencil Mause Ane meninggal dunia akibat kekurangan makanan karena gagal panen.

GILANGNEWS.COM - Pemerintah pusat akan mengirim bantuan makanan dan lainnya kepada warga di pegunungan Morkelle di Kabupaten Maluku Tengah, Pulau Seram, Provinsi Maluku, yang dilanda kelaparan.

Setidaknya tiga orang - di antaranya dua balita - anggota komunitas adat terpencil Mause Ane yang tinggal di wilayah itu meninggal dunia akibat kekurangan makanan karena gagal panen.

Bantuan awal makanan dan lainnya diperkirakan baru tiba pada Kamis (26/07) karena keberadaan komunitas itu yang tinggal terpencar di kawasan pegunungan yang sulit dijangkau.

"Insyaallah bantuan mulai disalurkan Rabu," kata Menteri Sosial Idrus Marhan, dalam keterangan di Jakarta, Selasa, (24/07).

Kelaparan yang dialami oleh sekitar 170 warga komunitas adat terpencil itu dilaporkan terjadi sejak awal Juli lalu, tetapi baru diketahui oleh pemerintah setempat kira-kira dua minggu kemudian.

Agar tidak mati kelaparan, sebagian warga yang mendiami kawasan hutan di pegunungan di Kabupaten Maluku Tengah itu dilaporkan sempat mengganjal perutnya dengan makan dedaunan, kata seorang pendeta.

"Mereka bertahan hidup dengan makan daun," kata pimpinan Gereja Protestan Maluku di Kabupaten Maluku Tengah, Pendeta Hein Tualena, kepada BBC News Indonesia, Selasa (24/07), mengutip keterangan tim Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Maluku Tengah yang menemui warga di lokasi.

Tetapi tidak semua bisa bertahan dari rasa lapar, dan akibatnya tiga orang kemudian meninggal dunia, dua di antaranya adalah balita, awal Juli lalu, kata Kepala Desa Manco Rendah, atau disebut Raja Maneo, Nikolas Boiratan.

Berdasarkan pengakuan warga setempat, menurut Boiratan, kekurangan pangan sudah terjadi dua bulan sebelumnya akibat serbuan hama tikus dan babi di kebun jagung dan ladang padi mereka.

"Tidak ada makanan lagi, sebab mereka punya kebun kena hama babi dan tikus," ungkap Nicolas Boiratan kepada wartawan, Selasa (24/07).

Kehadiran hama babi dan tikus ini, lanjutnya, tidak terlepas dari kebakaran yang melanda sejumlah wilayah di Pulau Seram sekitar tiga tahun silam.

"Pohon bambu ikut terbakar. Jadi tidak ada bahan untuk buat pagar, dan akibatnya babi bisa masuk," ungkapnya.

Kawasan yang terisolasi

Warga suku Mausu Ane, yang diperkirakan berjumlah 170 orang, tinggal terpencar setidaknya di tiga lokasi di pegunungan Morkelle, yaitu di bantaran sungai Kobi, sungai Tilupa dan Lailaha.

Mereka juga hidup berpindah-pindah dan melakoni kehidupan berkebun dan berburu.

Beberapa laporan menyebutkan, untuk menuju lokasi mereka tinggal, dibutuhkan perjalanan lebih dari sehari dari kota Masohi, ibu kota Kabupaten Maluku Tengah, dengan kendaraan dan kemudian jalan kaki.

"Biasanya kami menempuh perjalanan, termasuk istirahat, sekitar 18 sampai 20 jam, dan itu berjalan kaki. Tidak ada sarana transportasi apa pun," kata pegiat LSM Himpunan Maluku Untuk Kemanusiaan, (Humanum) Marlien Elvira Marantika, kepada wartawan, Selasa (24/07).

Para pegiat Humanum setidaknya sebulan sekali melakukan semacam kegiatan pendampingan kepada masyarakat adat Mause Ane di wilayah itu. "Kami setidaknya tinggal sepekan di sana," kata Elvira.

"Di sana tidak ada puskesmas pembantu. Biasanya dinas kesehatan setempat melakukan pengobatan tiga dan enam bulan sekali ke daerah pegunungan itu," ungkapnya.

Dia juga menambahkan, di lokasi tempat tinggal para suku Mause Ane tidak ada fasilitas sosial lainnya. "Ada satu SD yang dikelola sebuah yayasan, tapi kondisinya di bawah standar," ujar Elvira.

Dahulu di lokasi mereka tinggal, lanjutnya, ada instalasi air bersih, tetapi kemudian rusak akibat kebakaran tiga tahun silam.

"Sekarang, mereka ambil air dari sungai yang ditampung ke bak-bak lama," jelasnya.

Tidak mau bertemu orang asing

Kendala lain yang dianggap membuat orang-orang dari suku Mause Ane ini agak kesulitan mendapatkan akses bantuan dari luar adalah kecenderungan sikap mereka yang mencurigai 'orang luar'.

Selain wilayah tinggal mereka yang sulit dijangkau, menurut pimpinan Gereja Protestan Maluku di Kabupaten Maluku Tengah, Pendeta Hein Tualena, mereka sulit untuk ditemui.

"Untuk ketemu mereka agak sulit. Mereka tidak mau berbaur dengan masyarakat lain. Kalau ada orang baru, mereka tidak mau menjumpai, atau aparat keamanan mereka tidak mau menjumpai," ungkap Hein Tualena kepada wartawan, Selasa (24/07).

"Dan untuk mengumpulkan mereka sangat sulit, harus negosiasi dulu," tambahnya. "Mereka hidup menyendiri."

Anggapan seperti ini juga dilontarkan Kepala Seksi Surveilans dan Imunisasi bidang pencegahan penyakit dari Kantor Dinas Kesehatan Maluku Tengah, Hapsa Salampessy.

"Karena masyarakatnya tidak pernah berhubungan dengan di luar suku mereka, sehingga kami tidak pernah tahu tentang keberadaan mereka," kata Hapsa saat ditanya wartawan, Selasa (24/07).

Dan saat kasus kelaparan ini mulai terkuak, Kantor Dinas Kesehatan Maluku Tengah pernah berupaya melakukan kontak dengan orang-orang itu, tetapi menemui kendala, tambahnya.

"Kita masuk hutan, dan kita mencari-cari, karena tidak ada titik tertentu yang bisa kita temukan. Untuk menemukan mereka agak sulit, kecuali mereka mendatangi kita," kata Hapsa.

Bagaimanapun, setelah kasus kelaparan di Pulau Seram, Maluku, menjadi perhatian nasional, pemerintah akhirnya turun tangan dengan memberikan bantuan yang dipelopori Kodam XVI Pattimura dan Polda Maluku.

Terungkapnya kasus kelaparan di Maluku ini mengingatkan kasus gizi buruk di Asmat, Papua, yang mengakibatkan lebih dari 70 warganya meninggal dunia, awal Januari 2018 lalu.


Tulis Komentar