Nasional

Soal tuduhan 'mahar Rp500 miliar ke PKS-PAN', Andi Arief tolak minta maaf, Sandiaga membantah

Sandiaga Uno (kanan) membantah dirinya telah membayar mahar kepada pimpinan PKS dan PAN masing-masing Rp500 milyar seperti dituduhkan Andi Arief.

GILANGNEWS.COM - Politikus Partai Demokrat, Andi Arief, menolak meminta maaf terkait pernyataannya yang menyebut Sandiaga Uno 'telah membayar mahar' agar menjadi calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto.

"Justru PAN dan PKS beserta Gerindra yang (harus) menjelaskan kepada kami, bukan kami yang meminta maaf kepada mereka," kata Wasekjen Partai Demokrat, Andi Arief kepada wartawan di Jakarta, hari Minggu (12/08).

Tuntutan permintaan maaf sebelumnya dilontarkan oleh sejumlah politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang menganggap Andi Arief melakukan fitnah.

Mereka bersikukuh tidak ada uang mahar di balik pencalonan Sandiaga.

Andi Arief, berdasarkan informasi yang diterimanya dari elite partai koalisi Prabowo, menyebut bahwa 'PAN dan PKS telah menerima uang masing-masing Rp500 miliar dari Sandiaga Uno' agar mereka mendukung pencalonannya.

"Kami mendengar tim kecil mereka itu setelah bertemu PKS dan PAN, lalu diputuskanlah nama Sandiaga Uno, tanpa konsultasi kepada kami (Partai Demokrat)," ungkap Andi. "Jadi yang seharusnya menjelaskan mereka, bukan saya."

Di tempat terpisah, hari Minggu (12/08), Sandiaga Uno membantah dirinya telah membayar mahar kepada pimpinan PKS dan PAN masing-masing Rp500 miliar seperti yang dituduhkan Andi Arief.

"Tidak benar ada mahar, karena semuanya harus sesuai dengan undang-undang. Kita sekarang harus pastikan tidak bisa lagi ada 'hengki pengki' dalam politik," kata Sandiaga kepada wartawan.

"Masyarakat marah kalau ada "hengki pengki", masyarakat merasa dibohongi, enggak bisa lagi," tambahnya.

Sandiaga kemudian menambahkan, "Saya bilang ini ada biaya kampanye, bagaimana penyediaannya. Saya bersedia menyediakan sebagian dari pada biaya kampanye dan ada bantuan bagi tim pemenangan dan bantuan kepada partai yang mengusung, itu yang menjadi komitmen kita."

'Jika terbukti, sanksi diskualifikasi'

Bagaimanapun, menurut pimpinan LSM Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, jika terbukti benar ada uang mahar, itu melanggar Undang-Undang Pemilu.

"Dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang pemilu menyebutkan, pasangan calon yang terbukti memberikan imbalan kepada parpol akan dikenai sanksi diskualifikasi," kata Titi Anggraini kepada BBC News Indonesia, Minggu (12/08).

Menurutnya, dugaan adanya mahar terkait pilpres 2019 ini tidak berbeda dengan "suap politik" yang tidak diperbolehkan karena bagian dari praktik korupsi.

"Tidak boleh ada orang yang mengakses sebuah kekuasaan, sebuah kedudukan, karena praktik suap," tegas Titi.

Bawaslu harus menelusuri

Apabila situasi seperti dibiarkan, lanjutnya, akan melukai praktik demokrasi.

"Sehingga orang-orang yang punya uang akan mengendalikan akses kepada kekuasaan," tandasnya.

Dari situasi seperti itulah, Titi Anggraini meminta agar Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menelusuri dan menindaklanjuti dugaan adanya uang mahar.

"Karena ini sudah muncul ke publik dan menjadi diskursus yang melahirkan spekulasi oleh banyak pihak. Kehadiran Bawaslu untuk memperjelas kasus ini sangat diperlukan," kata Titi.

Dia juga meminta para pimpinan parpol yang disebut Andi Arief wajib untuk mengklarifikasi. "Ini untuk menjamin kepercayaan masyarakat terhadap integritas penyelenggaraan pemilu 2019."

Sampai tadi malam, beberapa media sudah berusaha  menghubungi tiga pimpinan Bawaslu -Mochammad Afifuddin, Ratna Dewi Pettalolo, dan Fritz Edward Siregar- melalui pesan tertulis maupun telepon, tetapi belum mendapat tanggapan.

Meminta bantuan PPATK

Namun pada Kamis (09/08), anggota Bawaslu Fritz Edward mengatakan, pihaknya meminta agar Andi Arief melaporkan tuduhan itu kepada mereka dan berjanji akan menelusurinya.

"Langkah-langkah itu pertama harus dari Bawaslu, klarifikasi, apabila terbukti nanti masuk ke sentra Gakkumdu untuk membuktikan aliran uangnya dan nanti kita akan menunggu waktu putusan pengadilan," kata Fritz Edward kepada wartawan.

"Sentra Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu) bisa meminta bantuan dari PPATK misalnya, ataupun bisa dari OJK (Otoritas Jasa Keuangan)," tambahnya.

Lebih lanjut dia menjelaskan, Pasal 228 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur bahwa parpol dilarang menerima imbalan dalam bentuk apa pun terkait pencalonan presiden/wakil presiden.

Pasal tersebut juga mengatur, setiap orang atau lembaga dilarang memberikan imbalan kepada parpol dalam bentuk apa pun dalam proses pencalonan presiden dan wakil presiden.

Jika terbukti di pengadilan, sambungnya, maka parpol pengusung dilarang mengusung capres dan cawapres pada pemilu periode berikutnya.

"Dan sekali lagi kan itu membutuhkan proses klarifikasi dan apabila itu pun terindikasi, maka membutuhkan putusan pengadilan untuk membatalkan pencalonan," katanya menekankan.

Tuduhan adanya uang mahar muncul ke permukaan setelah keinginan Partai Demokrat agar Agus Harimurti Yudhoyono, putra sulung pimpinan Partai Demokrat, SBY, menjadi cawapres mendampingi Prabowo Subianto, kandas.

Andi Arief kemudian menuduh pemunculan sosok Sandiaga sebagai cawapres karena faktor uang. Persoalan ini kemudian membuat koalisi Partai Demokrat dengan kubu Prabowo nyaris bubar.

Di hari terakhir pendaftaran bakal capres dan cawapres, Demokrat akhirnya memilih tetap mendukung koalisi Prabowo, walaupun Andi Arief mengaku kecewa dengan dugaan adanya kasus uang mahar tersebut.


Tulis Komentar