Hukrim

Kisah 11 perempuan Indonesia yang 'diperdagangkan' ke Cina dan memohon pulang

Salah satu dari 11 perempuan Indonesia yang mengaku diperdagangkan ke Cina dengan modus pernikahan memohon dipulangkan.

GILANGNEWS.COM - Sebanyak 11 perempuan WNI diduga menjadi korban tindak penyelundupan manusia di Cina dengan modus pernikahan melalui perantara.

Suara seorang perempuan menggema dari sebuah telepon seluler. Nadanya terdengar meratap.

"Saya ingin memberitahukan bahwa saya di Cina diperlakukan dengan sangat tidak layak. Suami memukul saya, menampar saya sampai memar-memar, sampai kepala saya dibacok. Lima bulan saya diperlakukan tidak baik di sini, sampai saya juga tidak bisa bertahan.

"Tolong saya, saya sangat menderita di sini. Saya ingin pulang, saya mohon. Saya di sini seperti hewan layaknya, bukan diperlakukan seperti manusia. Tolong siapapun yang mendengar ini."

Permintaan tolong itu diungkapkan seorang perempuan berinisial LL. Dia mengaku termakan bujuk rayu sejumlah orang untuk menikah dengan pria asal Cina dengan iming-iming hidup senang dan kaya.

Namun, bukan kesenangan yang dia dapat, melainkan bogem mentah dari sang suami.

Kisah LL diawali kunjungan seorang perempuan tak dikenal ke rumah orang tuanya di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, pada Januari 2018, jelang tengah malam.

Perempuan yang memperkenalkan diri sebagai Vivi itu datang bersama seorang pria warga negara Cina.

Kunjungan itu hanya berlangsung sekitar 30 menit. Namun, dalam pertemuan singkat tersebut terjadi perjodohan antara LL dengan pria asing tersebut.

LL diiming-imingi uang bulanan sebesar Rp3 juta, pulang kampung setiap tiga bulan sekali, dan diperbolehkan membawa keluarga ke Cina. Itu belum termasuk uang mahar senilai Rp5 juta.

Uang tersebut diserahkan pria Cina itu kepada IS, ibu LL. Belakangan, Polda Jawa Barat menetapkan Vivi dan pria tersebut sebagai tersangka pelaku perdagangan orang dengan modus perjodohan.

Disekap dan disiksa

Selang beberapa hari setelah pertemuan di rumah keluarganya, LL dibawa ke sebuah apartemen di Jakarta. Di sana, dia berkumpul bersama beberapa perempuan lain yang juga akan diperistri sejumlah pria di Cina.

Pada 16 Januari 2018, LL berangkat ke Cina bersama dua perempuan lain.

Setelah menikah, dia tinggal bersama suaminya di Desa Weijahe, Kota Taihu Anging, Provinsi Anhui, Cina.

Awalnya semua berjalan sesuai janji. Bahkan, LL mengaku sempat mengirim uang ke orangtuanya sebesar Rp10 juta. Namun itu semua tak berlangsung lama.

Alih-alih pulang kampung secara rutin seperti yang dijanjikan, LL mengklaim dirinya disekap, disiksa, diberi makan yang tidak layak, dan dilecehkan secara seksual oleh suaminya.

Karena tidak tahan, LL kabur dengan meloncat dari lantai 2 rumah suaminya, hingga kakinya patah.

Dengan kondisi itu, LL menelusuri jalan sejauh dua kilometer menuju lokasi temannya, M, dan seorang pria Cina dari sebuah agensi.

Ibarat lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya, LL mengaku harus kembali terjerat masalah. Bantuan yang diberikan pria Cina itu ternyata tidak gratis. Perempuan 27 tahun itu harus membayar Rp20 juta.

Karena tidak punya uang, LL membayarnya dengan bekerja. Ia mengklaim seringkali diancam dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial jika tidak bisa membayar.

'Mesin pencetak anak'

Kisah lainnya datang dari Marisa (atas permintaannya, namanya kami samarkan).

Perempuan asal Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat ini, juga dikawinkan dengan seorang pria asal Cina.

Meski tidak mengalami kekerasan fisik dan seksual, namun Marisa mengaku hidup bagai dalam penjara di rumah suaminya di Henan, Cina. Dia dilarang keluar rumah dan diawasi dengan ketat.

Marisa keluar rumah hanya untuk bekerja menemani suaminya mencangkul tanah.

Selama hampir enam bulan tinggal di sana, Marisa merasa tidak diperlakukan layaknya seorang isteri dan dicekoki obat setiap hari.

Marisa merasa ia hanya akan dijadikan mesin pencetak anak.

"Mungkin aku ingin dijadikan mesin pencetak anak, makanya aku selalu dikasih terus minum obat," ujar Marisa di Cina melalui sambungan telepon, Selasa (18/9).

Marisa mengaku tergiur dengan sejumlah materi yang dijanjikan saat menerima tawaran perjodohan dengan pria Cina. Kini, ia sedih dan kecewa karena kenyataan yang ada jauh dari bayangannya.

"Aku nggak percaya sama orang sini. Dia janjinya akan mulangin aku bulan kemarin, tapi buktinya mana? Aku takutnya setelah punya anak, dia nggak akan ngizinin pulang, yang ada nanti aku disuruh punya anak. Aku pengen pulang, nggak mau di sini," ujarnya sambil terisak.

Modus perdagangan orang

Marisa dan LL adalah dua dari 11 orang yang mengaku menjadi korban perdagangan orang dengan modus perjodohan di Cina.

Sejatinya para perempuan berjumlah 12 orang, namun seorang perempuan berinisial Y berhasil kabur saat masih ditampung di sebuah apartemen di Jakarta, sebelum diberangkatkan ke Tiongkok. Tiga dari 12 perempuan itu masih di bawah umur.

Direktur Kriminal Umum Polda Jabar, Kombes Polisi Umar Surya Fana, mengatakan para tersangka pelaku sengaja melakukan "growing process".

"Trafficker meninggalkan sejumlah uang dalam konteks utang atau dalam konteks janji awal. 'Ini sepuluh juta dulu yah, nanti sisanya dikasih tiap bulan'. Ini bagian dari growing process," kata Umar.

Yang dialami 11 perempuan tersebut juga bisa dikategorikan sebagai tindak perdagangan orang lantaran "ada pihak ketiga yang mendapatkan keuntungan ekonomi".

"Makanya dibilang trafficking, tindak pidana perdagangan orang, si pedagangnya yang kena. Vivi ini terima duit, dan dua orang lainnya terima duit. Itu ciri trafficking," paparnya.

Pengakuan LL dan Marissa mengenai iming-iming suami yang tidak ditepati, tambah Umar, termasuk unsur pidana trafficking.

"Kalau rangkaian kata-kata bohong, itu sudah masuk dalam koridor penipuan. Penipuan dalam tindak pidana perdagangan orang itu masuk dalam salah satu delik unsur pidananya."

Kombes Umar Surya Fana mengungkap bahwa sebelum menikahi 11 perempuan Indonesia, para pria dari Cina punya kriteria tertentu yang disampaikan kepada perantara di Indonesia.

"Konsumen di sana punya kriteria tertentu, misalnya rambutnya harus panjang, harus ini, segala macam. Tapi ketika datang tidak sesuai dengan kriteria dia. Karena dia sudah punya kontrak, dikawin dulu, habis dikawin dijual lagi ke laki-laki yang lain. Itu apa bukan perdagangan orang?" paparnya.

Sebelum berangkat ke Cina, orang tua 11 perempuan Indonesia tersebut telah menandatangani perjanjian. Hal ini mengindikasikan para perempuan dan keluarga mereka telah paham atas konsekuensinya.

Namun, Kombes Umar Surya Fana berkilah bahwa penandatanganan perjanjian itu adalah bagian dari modus operandi para tersangka.

"Itu yang tadi saya bilang growing process tadi, itulah bagian dari unsur pidana," tegasnya.

Berbicara soal prosedur pernikahan, Umar menyebut para suami ke-11 perempuan Indonesia tersebut menggunakan cara-cara yang tidak diatur oleh undang-undang formal.

"Mengajukan visa harus mendapat undangan dari pihak suami yang akan menikahi dia. Yang kedua, visanya berlaku tiga tahun karena memang visa nikah.

"Yang ketiga, pada saat sampai, di negara tujuan, dia musti dapat verifikasi, rekomendasi dan terdaftar dalam kedutaan kita. Yang keempat, pada saat menikah, dari kedutaan kita atau yang ditunjuk, itu harus hadir. Nah empat hal ini tidak terpenuhi," sebut Umar.

Tidak mudah melepaskan

Ke-11 perempuan Indonesia tersebut kini berupaya dipulangkan pemerintah Indonesia. Namun, ini bukan hal gampang.

Irfan Arifian, kuasa hukum ke-11 perempuan, mengatakan saat kasus ini dilaporkan ke kepolisian setempat, mereka tidak bisa membantu lantaran pernikahan kliennya dan para suaminya telah tercatat secara resmi.

"KBRI (Kedutaan Besar RI) kita membuktikan bahwa ini ada pelanggaran visa, bahwa ini ada manipulasi data soal paspor, dan tidak ada catatan pengantar dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Indonesia. Mereka masuk ke Tiongkok ini liar, tidak terdaftar di KBRI. Tapi polisi setempat ini, mereka bilang hanya melihat ada buku nikah.

"Buku nikah itulah yang menurut polisi setempat, resmi. Jadi mereka tidak melihat prosesnya," tutur Irfan kepada wartawan di Bandung, Julia Alazka.

Laporan soal kekerasan dalam rumah tangga yang diklaim korban pun dianggap angin lalu. Irfan mengungkapkan, KBRI telah menunjukkan foto-foto luka yang dialami korban kepada kepolisian Cina, tapi dianggap tidak relevan.

"Mereka bilang itu masa lampau, tidak bisa difaktakan saat ini. Kalau terjadi kekerasan segera visum. Bagaimana mereka mau ke rumah sakit, ke polisi, sementara mereka benar-benar disekap di dalam rumah itu oleh keluarga suaminya. Kalau mereka mau kabur, paspornya ditahan, mereka juga ada CCTV banyak, sulit mereka bergeraknya," ungkap Irfan.

Irfan menambahkan, perdagangan orang menggunakan modus pernikahan paling sulit.

"Suami akan mempertahankan karena dia sudah keluar sejumlah uang pada agensi. Jadi tidak mudah dia lepaskan begitu saja," Irfan sambil menyebutkan pihak suami rata-rata merogoh kocek hingga Rp200 juta untuk membeli perempuan Indonesia melalui agensi.

Namun, Irfan mengatakan, pihaknya bersama Kementerian Luar Negeri akan terus memperjuangkan kepulangan para perempuan.

Sejauh ini, satu-satunya peluang memulangkan ke-11 perempuan adalah ketika proses persidangan kasus ini memiliki kekuatan hukum tetap.

"Surat nikah resmi itu bisa dibatalkan lewat permintaan polisi China, setelah perkara WNA (pelaku kasus perdagangan orang) yang disidangkan di Indonesia, sudah berkeputusan hukum tetap. (Baru) dia mau memulangkan," katanya.

Hanya saja, menunggu persidangan selesai dan berkekuatan hukum tetap bukan waktu yang singkat. Terlebih lagi buat ke-11 perempuan.

Irfan memperkirakan sidang selesai empat hingga lima bulan ke depan. Ia khawatir, korban tidak bisa menunggu. Apalagi,tiga dari 11 korban dalam keadaan hamil dengan umur kehamilan antara lima hingga tujuh bulan.

"Itu yang kita khawatirkan, mereka depresi, ada yang mau bunuh diri. Apalagi kalau sudah hamil begini," ungkap Irfan.

Tiga tersangka pelaku ditahan

Kasus perdagangan orang dengan modus perjodohan ini mulai diusut Polda Jabar setelah dilaporkan Irfan, sebagai kuasa hukum 11 perempuan, pada 27 Juni 2018.

Lima hari setelah itu, polisi menangkap tiga orang dalam sebuah aksi penggerebekan.

Mereka adalah Vivi yang berperan sebagai perekrut perempuan di Indonesia, AKI seorang warga negara asing yang berperan sebagai perantara pria Cina, dan YH alias A berperan membantu merekrut perempuan di Indonesia.

Polisi masih memburu satu orang pelaku, TMK alias A yang masih buron.

Direktur Kriminal Umum Polda Jabar, Kombes Polisi, Umar Surya Fana, menyatakan berkas-berkas perkara sudah diserahkan ke Kejaksaan dan menunggu persidangan.

Kepolisian menjerat para pelaku dengan Pasal 2 dan atau Pasal 4 dan atau Pasal 6 dan atau Pasal 10 dan atau Pasal 11 UU RI Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Perdagangan Orang dengan ancaman hukuman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120 juta dan paling banyak Rp600 juta.


Tulis Komentar