Nasional

Tak Hanya Dilanda Bencana Alam, Indonesia Juga Dilanda Hoaks

Ilustrasi.

GILANGNEWS.COM - Dalam waktu kurang dari sepekan ini, Pulau Sulawesi dilanda gempa berkekuatan 7,4 magnitudo, tsunami, dan erupsi gunung api.
Erupsi Gunung Soputan yang terjadi belakangan dibanding dua bencana alam lainnya, memang memiliki potensi berbahaya dan harus terus dipantau. Akan tetapi, rangkaian erupsi yang terjadi sejak Rabu (3/10) pukul 08.47 WITA hingga malam kemarin tidaklah menghasilkan letusan dahsyat yang menimbulkan korban jiwa.

Bahkan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Minahasa Selatan melaporkan situasi terkini pasca erupsi Gunung Soputan di Minahasa Selatan, sudah mulai normal kembali.
"Sudah aman, hanya kemarin siang hingga malam aktivitas Gunung Soputan memang mengeluarkan letusan dan mengeluarkan lava pijar, tapi pagi hingga siang hari ini sudah kondusif," kata Kaban BPBD Minahasa Selatan, Handrie Komaling, dikutip dari MakassarIndeks, Kamis (4/10).

Ironisnya, seperti yang pernah terjadi sebelum-sebelumnya, sering kali kejadian-kejadian bencana alam yang melanda Indonesia disertai pula oleh hoaks atau berita bohong yang menyertainya. Termasuk pula terkait erupsi Gunung Soputan kali ini. Akibatnya, masyarakat Indonesia mendapatkan dua kemalangan: Tak hanya dilanda bencana alam, tapi juga dilanda hoaks.

Banyak hoaks terkait erupsi Gunung Soputan yang menyebar di masyarakat. Bahkan hal ini membuat IFL Science, media sains yang berbasis di Inggris, sampai membuat berita bertajuk “Fake News Alert: People Are Sharing Old Videos Claiming To Show The Indonesian Island Volcanic Eruption”.

Sedikitnya sudah ada tiga foto dan video hoaks terkait erupsi ini yang berhasil dideteksi oleh Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho.
Melalui akun Twitter-nya, Sutopo menyebutkan bahwa tiga foto dan video di bawah ini, yang sempat tersebar di dunia maya dan disebut menggambarkan erupsi Gunung Soputan, merupakan foto dan video hoaks.

Berikut ini ketiga foto dan video tersebut beserta keterangan dari Sutopo. Intinya, Sutopo mengimbau masyarakat yang menerima ketiga foto dan video hoaks di bawah ini untuk tidak ikut menyebarkannya dan segeralah menghapusnya.

Tak hanya hoaks soal erupsi Gunung Soputan, baru-baru ini Indonesia juga dilanda oleh hoaks soal bencana gempa bumi dan tsunami di berbagai wilayah di Indonesia. Hingga Kamis (4/10), Direktorat Siber Bareskrim Polri telah menangkap delapan orang yang telah menyebarkan berita hoaks terkait gempa dan tsunami di Indonesia, terutama soal gempa besar di Pulau Jawa termasuk Jakarta.

Selain kabar palsu soal bencana alam, Indonesia baru-baru ini juga dihebohkan oleh kabar hoaks yang dibuat oleh aktris sekaligus aktivis Ratna Sarumpaet. Ia sebelumnya mengklaim mukanya bengkak-bengkak karena telah dipukuli oleh tiga orang pria di Bandung, tapi ternyata yang sebenarnya terjadi adalah ia baru saja menjalani operasi plastik di Jakarta.

Apa yang dilakukan oleh Ratna Sarumpaet ini pun tak luput dari pemberitaan media asing. ABC, media yang berbasis di Australia, sampai membuat berita berjudul “Indonesian actress and activist Ratna Sarumpaet lies about political assault to hide cosmetic surgery”.

Hoaks menyebar lebih cepat daripada berita benar

Hasil sebuah riset yang telah dipublikasikan di jurnal Science pada Maret 2018 mengungkapkan bahwa hoaks atau berita palsu menyebar lebih cepat. "Lebih jauh, lebih cepat, lebih mendalam dan lebih tersebar dibandingkan berita benar, dalam semua kategori informasi," tulis tim peneliti dalam riset ini.

Dalam riset ini para peneliti dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) menghitung bahwa rata-rata informasi palsu memerlukan waktu 10 jam untuk bisa mencapai 1.500 pengguna Twitter. Adapun bagi informasi asli, diperlukan waktu sekitar 60 jam untuk bisa mencapai jumlah pengguna yang sama.

Uniknya, ditemukan juga bahwa informasi atau berita asli yang masih baru tidak pernah di-retweet hingga 1.000 orang. Sebaliknya, satu persen dari berita palsu bisa mendapat retweet dari 100 ribu orang.

Berita politik palsu dan kesadaran orang Indonesia

Dalam riset ditemukan juga bahwa berita politik terbilang sangat laku dalam hal berita palsu. Dan kita telah melihat sendiri kondisi dunia media sosial Indonesia yang kerap memanas setiap kali menjelang pemilu.

Menurut temuan para peneliti MIT dalam riset yang sama, berita politik atas hal yang mengejutkan atau menyulut kemarahan menyebar lebih cepat dibandingkan berita hoaks lainnya.

Lebih lanjut, hasil riset lain yang dilakukan oleh DailySocial.id, blog teknologi asal Jakarta, yang bekerja sama dengan Jakpat Mobile Survey Platform mengungkapkan bahwa banyak orang Indonesia yang belum bisa membedakan mana berita yang benar atau sahih dan mana yang hoaks.
Menurut hasil riset tersebut, 44 persen orang Indonesia ternyata belum bisa mendeteksi berita bohong alias hoaks.

Rincinya, berdasarkan hasil survei terhadap 2.032 orang yang dilakukan pada Agustus 2018, sebanyak 44,19 persen responden mengaku tidak yakin mereka punya kepiawaian dalam mendeteksi berita hoaks. Sementara responden lainnya, sebesar 51,03 persen, memilih untuk berdiam diri (dan tidak percaya) ketika menemui konten hoaks.

Selain itu, dalam riset ini ditemukan juga ada tiga aplikasi media sosial yang paling banyak digunakan untuk menyebarkan hoaks, yaitu Facebook sebesar 82,25 persen, WhatsApp 56,55 persen, dan Instagram sebesar 29,48 persen.
Hal senada juga pernah diungkapkan oleh hasil riset yang dilakukan Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) pada Februari 2017. Hasil riset tersebut mengungkapkan bahwa penyebaran hoaks paling banyak diterima melalui media sosial yang mencapai 92,4 persen. Media sosial yang dimaksud di sini adalah Facebook, Twitter, Instagram, Path, Line, WhatsApp, dan Telegram.


Tulis Komentar