Politik

Analisis Kenaikan Harga BBM Bisa Goyang Elektabilitas Jokowi

Keputusan menunda kenaikan BBM dinilai sebagai bentuk kekhawatiran Jokowi menghadapi tahun politik.

GILANGNEWS.COM - Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan pada Rabu (10/10) kemarin, mengumumkan rencana kenaikan harga Premium yang naik dari Rp6.550 menjadi Rp7.000 per liter di wilayah Jawa-Madura-Bali (Jamali).

Sementara untuk harga jual Premium di luar Jamali naik dari Rp6.400 menjadi Rp6.900 per liter. Namun hanya berselang beberapa menit, pemerintah menyatakan kenaikan harga BBM ditunda.

Penundaan itu disebut merupakan arahan Presiden Joko Widodo. Di sisi lain, penundaan ini bakal dilakukan sembari menunggu kesiapan PT Pertamina (Persero) selaku perusahaan minyak negara.

Keputusan Jokowi untuk menunda kenaikan harga BBM dinilai menjadi bentuk kekhawatiran mantan wali kota Solo itu menghadapi tahun politik.


Pengamat politik Universitas Padjajaran Firman Manan tak menampik kenaikan harga BBM akan berpengaruh pada elektabilitas atau tingkat keterpilihan Jokowi dan pasangannya, Ma'ruf Amin dalam Pilpres 2019.

Berkaca pada masa pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), presiden RI keenam itu pernah menaikkan harga BBM jelang pilpres 2009. Saat itu, kata Firman, dari hasil sejumlah lembaga survei menunjukkan penurunan tingkat elektabilitas pada SBY.

"Kalau bercermin dari kejadian itu mungkin hal serupa juga bisa terjadi pada pemerintahan Jokowi," ujar Firman saat ditanya wartawan.

Namun setelah menaikkan harga BBM, lanjut Firman, pemerintahan SBY kemudian menjalankan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat. Ia menilai program itu menjadi semacam recovery atau pemulihan pasca kenaikan harga BBM. Sebab, tak lama setelah itu tingkat elektabilitas SBY kembali naik.

"Ya tentu kalau lihat dari perspektif politik ada kekhawatiran bisa memengaruhi tingkat elektabilitas Jokowi sehingga keputusan itu ditunda sampai ada kebijakan lain yang akan dikeluarkan," katanya.

Menurut Firman, kenaikan harga BBM memang menjadi pilihan yang cukup sulit bagi pemerintah. Pasalnya, ketika harga BBM naik akan menimbulkan multi layer effect atau dampak lain pada kondisi perekonomian di Indonesia.

"Misalnya harga barang-barang lain ikut naik, itu yang mungkin diperhitungkan juga," imbuhnya.

Namun, lanjut dia, bisa jadi pemerintah saat ini tengah menyiapkan kebijakan lain agar tak memberatkan publik apabila harga BBM nantinya tetap naik.

Adapun, Firman memprediksi, tingkat elektabilitas Jokowi-Ma'ruf tak akan merosot terlalu jauh apabila kenaikan harga BBM itu jadi diterapkan.

Sejumlah hasil lembaga survei menunjukkan tingkat elektabilitas Jokowi-Ma'ruf belakangan mencapai kisaran 60 persen. Sementara rivalnya, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sekitar 30 persen.

Sekali pun elektabilitas Jokowi turun, Firman meyakini selisihnya tak akan terlalu berpengaruh pada kenaikan Prabowo-Sandi.

"Kalau ada pengaruh turun memang iya, tapi tidak terlalu signifikan karena selisihnya masih agak jauh," ucap Firman.

Ia menilai keputusan yang terkesan mendadak ini tak lepas dari aspek politis yang dipertimbangkan oleh Jokowi. Sementara Jonan selaku menteri ESDM lebih cenderung pada pertimbangan dari aspek teknokrat atau kebijakan yang dianggap perlu diambil oleh pemerintah.

"Mungkin secara teknis dari hitungan Jonan itu perlu ada kenaikan harga. Tapi dari aspek politisnya kan perlu dipertimbangkan juga dan putusan akhir ada di presiden," terangnya.

Firman mengatakan, kecil kemungkinan Jonan tak berkoordinasi dengan Jokowi sebelum mengumumkan kenaikan harga BBM tersebut. Namun ia enggan berspekulasi alasan Jonan yang akhirnya tetap mengumumkan rencana kenaikan harga tersebut.

"Ya alasan apapun bisa saja terjadi. Tapi ESDM mungkin memang fokusnya tidak pada aspek politis sehingga langsung umumkan saja," katanya.

Ke depan, lanjut Firman, bukan tidak mungkin Jokowi masih akan menjalankan sejumlah kebijakan yang populer di masyarakat. Sebab, dengan cara ini Jokowi akan semakin diuntungkan mengingat posisinya sebagai calon petahana dalam pilpres 2019.

Namun ia mengingatkan agar kebijakan yang dijalankan itu nantinya tak menjadi ajang pencitraan semata. Artinya, kata Firman, mesti ada urgensi bagi pemerintahan Jokowi untuk menjalankan suatu kebijakan tersebut.

"Jadi substansinya harus betul-betul terjaga. Kalau memang berdampak pada elektabilitas itu hanya konsekuensi saja dan wajar karena itu keuntungan petahana," ucapnya.


Tulis Komentar