Nasional

Kampanye negatif 'boleh asal sesuai fakta' untuk 'ungkap kelemahan lawan'

Jokowi-Prabowo kembali bertarung di pemilihan presiden.

GILANGNEWS.COM - Partai Keadilan Sejahtera (PKS), salah satu pendukung capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno membolehkan kadernya menggunakan kampanye negatif dalam Pemilihan Umum 2019.

PKS mengatakan kampanye seperti ini ditujukan agar pemilih mengetahui dengan pasti calon pilihannya.

Meski begitu, menurut Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Pipin Sopian, penggunaan kampanye negatif tersebut harus berdasarkan data dan fakta. Tidak boleh mengarah ke fitnah.

"Ibarat menikah, di Islam ada ta'aruf. Tujuannya supaya saling mengenal, sehingga tahu positif dan negatifnya calon kita seperti apa. Apalagi ini lebih-lebih memilih seorang presiden," ujar Pipin Sopian Senin (15/10).

"Maka harus dapat informasi, data, dan fakta yang benar," ujar Pipin.

Salah satu kampanye negatif berbasis fakta yang disuarakan kubu Prabowo-Sandi, klaim Pipin, adalah di bidang ekonomi di mana Presiden Joko Widodo pernah menjanjikan pertumbuhan ekonomi sebesar 7% per tahun tapi kenyataannya hanya 5%.

Hal lain mengenai pernyataan Presiden Jokowi yang menyatakan tidak akan membagi-bagi kursi menteri kepada partai koalisi.

Tapi sejumlah menteri berasal dari partai politik pendukung ditunjuk sebagai pembantunya. Menteri yang disebut termasuk Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto dari Golkar dan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto dari Hanura.

"Jadi hal-hal itu harus diungkap ke publik. Sehingga publik paham kondisinya dan siapa calon presiden yang dipilih mereka," sambungnya.

Namun begitu, tak melulu kampanye negatif yang diumbar partai pengusung Prabowo-Sandi ini. Menurut Pipin, porsi kampanye negatif hanya 20% dan sisanya menyampaikan kampanye positif dari capres-cawapres.

Ia mencontohkan mengenai agenda utama kerja capres-cawapres soal sembako murah, perluasan lapangan kerja, mendukung pemberantasan korupsi, dan menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

"Di era Jokowi harga sembako mahal dan tentu pendukung Jokowi tak ingin informasi itu ada. Padahal kenyataannya begitu. Masak mau ditutup-tutupi? Datanya memang mahal," ucap Pipin.

Dia menjamin, kampanye negatif yang dilontarkan kubunya takkan mengarah ke isu SARA. Selain dengan alasan dilarang agama, juga rentan terjadi pelanggaran hukum.

"Jadi kami menghindari kampanye yang mendorong kebencian atau SARA. Kami ingin kampanye ini memberikan informasi yang seutuhnya kepada para pemilih sehingga mereka memilih dengan rasional dan hati nurani," jelas Pipin.

Apa komentar kubu Jokowi? Kampanye dengan ekspresi nyinyir

Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf, Arsul Sani, menuding kubu Prabowo-Sandiaga tak memberikan pendidikan politik yang baik untuk masyarakat.

Yang semestinya dilakukan pihak lawan, kata Arsul, adalah menyajikan tawaran berupa solusi atas kelemahan sang petahana.

"Yang harus dikedepankan harusnya kampanye positif, adu gagasan, adu program, adu ide. Tapi kalau dikedepankan kampanye negatif apalagi dengan ekspresi nyinyir dan ujaran kebencian meski bukan fitnah, itu tidak memberikan pendidikan politik yang baik," ujar Arsul Sani.

Dia juga khawatir jika kampanye negatif yang kini berhamburan di media sosial diteruskan, akan mengarah kepada kampanye hitam seperti yang terjadi pada Pemilu 2014 silam. Sebabnya tak semua masyarakat bisa membedakan mana kampanye negatif dan kampanye hitam.

"Kecenderungannya akan dengan mudah berubah menjadi kampanye hitam. Itu problem di masyarakat Indonesia yang harus kita akui, bahwa tingkat pendidikannya tidak merata. Bahkan mayoritas pemilih di Indonesia itu berpendidikan SD dan ada yang tidak lulus SD," sambungnya.

Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini juga mengklaim, tim kampanye Jokowi-Maruf telah berkomitmen untuk tidak memakai kampanye negatif atau pun kampanye hitam dalam menyerang lawannya.

Perintah tersebut, katanya, sudah disampaikan kepada kader di tingkat provinsi hingga kota.

Meskipun, ia sendiri mengakui masih ada anggotanya yang menggunakan kampanye negatif untuk menyerang capres Prabowo. Tapi tindakan itu merupakan balasan atas serangan gencar yang terlebih dahulu dilakukan kubu lawan.

"Dari sisi kami, sudah sangat menahan diri untuk tidak mengungkapkan persoalan HAM yang melilit Prabowo sebagia bentuk kampanye negatif atau pun kampanye hitam. Kalaupun ada itu adalah respons, bukan serangan pendahuluan."


Kampanye negatif 'bukti minim gagasan'

Bagaimanapun, kampanye negatif menurut pengamat politik dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Djayadi Hanan, tetap diperlukan untuk mengungkap kelebihan dan kelebihan masing-masing calon.

Asalkan, bersandar pada data. Bukan fitnah yang menjurus pada kampanye hitam.

"Kalau kampanye negatif boleh saja. Supaya ada kontrasnya. Misalnya kubu Prabowo menganggap pembangunan infrastruktur tidak tepat karena dibiayai utang. Itu kan menunjukkan kelemahan. Tapi jangan berhenti di situ. Kalau tidak boleh pakai utang, lalu gimana? Apakah ada cara lain?" ujar Djayadi Hanan.

"Demikian juga dengan kubu Jokowi yang menyerang dengan isu Ratna Sarumpaet. Itu bisa dipakai untuk melemahkan kepemimpinan Prabowo. Kok mudah sekali ditipu?" sambungnya.

"Kalau kampanye hitam misalnya Jokowi itu Kristen, Cina, PKI. Tapi isu begitu nggak laku. Konsumennya itu-itu saja, yang sedari awal antijokowi, ya sudah."

Djayadi juga menjelaskan, perbedaan kampanye negatif dan kampanye hitam bisa dibedakan oleh kebenaran pesan dan tujuannya.

Kata dia, kampanye negatif harus merujuk pada data atau fakta yang ada dan bertujuan untuk menunjukkan kelemahan lawan. Sementara kampanye negatif, biasanya dibumbui fitnah dengan tujuan menjatuhkan lawan politiknya.

Sesuai Undang-Undang Pemilu, ancaman sanksi bagi pelaku Kampanye Pilkada berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba Partai Politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat adalah pidana penjara paling singkat tiga bulan atau paling lama 18 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000 atau paling banyak Rp6 juta.

Dalam pengamatannya, kampanye negatif sudah dilakukan oleh kedua kubu di media sosial. Hanya saja, minim solusi.

Padahal, kata Djayadi, yang diinginkan publik saat ini tidak hanya saling serang dan membalas. Tapi juga menghadirkan gagasan atas persoalan yang dialami masyarakat.

"Kalau ide atau solusi, belum kelihatan. Misalnya bagaimana oposisi mengkritik petahana soal pertumbuhan ekonomi yang 5 persen. Itu kan kritik. Tapi bagaimana dengan lapangan pekerjaan? Apakah dengan program OK OCE?" terang Djayadi.

"Jadi sampai saat ini, baru sekadar mengidentifikasi masalah. Tapi solusinya belum ditunjukkan. Nggak ada ide baru."

Pemilih milenial inginkan solusi

Lantas seperti apa respon pemilih milenial menyaksikan kampanye negatif berseliweran, terutama di media sosial?

Winna Wijayanti (24 tahun), pegawai swasta di Jakarta Pusat, mengaku mempersoalkan hal itu. Menurutnya, beredarnya informasi negatif tentang masing-masing calon bisa jadi tolok ukur mengenal kepribadian mereka.

Akan tetapi, ia ingin kedua pihak saling bertarung gagasan ketimbang saling membantah.

"Inginnya lebih ke adu gagasan kayak diserukan netizen. Misalnya persoalan pendidikan, kedua kubu nggak ada yang komentar. Baru-baru ini saja pak Jokowi, itupun sebagai presiden," ujar Winna.

Begitu juga dengan Anggun Tri Kusumawardani (25 tahun).

Kata mahasiswi di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Yayasan Keluarga Pahlawan Negara (STIE YKPN) ini, masing-masing capres dan cawapres belum ada yang memperlihatkan ide baru ke publik.

"Kalau secara eksplisit belum terlihat sih. Misalnya timses Jokowi atau Prabowo untuk kasih ide apa ke masyarakat, belum melihat," kata Anggun.

"Kalau di media sosial cuma adu argumen antar dua pendukung, tapi nggak ada data dan logikanya ngawur."


Tulis Komentar