Nasional

Komnas HAM: 'Soal kasus-kasus HAM berat, Jokowi belum lulus'

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Ifdhal Kasim, menyebut Presiden Jokowi telah menunjukkan komitmen pada perkara HAM.

GILANGNEWS.COM - Presiden Joko Widodo diragukan mampu menyelesaikan setidaknya satu kasus pelanggaran hak asasi manusia saat masa kepemimpinannya habis 20 Oktober 2019.

Namun pemerintah mengklaim selama ini telah berupaya keras menuntaskan kasus-kasus yang ada dan menyebut penyelesaian perkara kini ada di tangan Kejaksaan Agung dan Komnas HAM.

"Soal kasus HAM berat, Jokowi belum lulus," kata Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, di Jakarta, Jumat (19/10).

Menurut Taufan, realisasi janji penuntasan kasus HAM selama ini berhenti pada tataran pernyataan publik. Jokowi disebutnya tak pernah memerintahkan Kejagung secara tegas untuk menggulirkan perkara HAM ke pengadilan.

"Untuk menyelesaikan dalam satu tahun tidak mungkin, tapi bisa untuk memberikan arahan yang tegas, misalnya agar Jaksa Agung segera membentuk tim penyidik. Itu jelas, bukan hanya pernyataan," kata Taufan.

Dihubungi terpisah, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Ifdhal Kasim, menyebut Jokowi telah menunjukkan komitmen pada perkara HAM.

Ia mengatakan pemerintah kini fokus untuk menyelesaikan kasus HAM di Wamena dan Wasior, di Papua.

"Ada progres yang dilakukan. Kalau dikatakan tidak ada sama sekali, jelas itu menyesatkan karena pemerintah ini bekerja. Memang belum sampai pada digelarnya pengadilan. Karena itu perlu waktu," ujarnya kepada BBC News Indonesia.

Ifdhal mengatakan, pemerintah tak dapat mencampuri proses penyelidikan perkara Wamena (2003) dan Wasior (2001) yang tengah berjalan di Kejagung. Ia menyebut jaksa dan penyelidik Komnas HAM yang sebenarnya justru sangat berperan dalam tahapan itu.

"Jadi pemerintah sudah menunjukkan komitmen, itu bukan semata untuk kepentingan elektoral, tapi dilandasi kemauan politik," kata Ifdhal.

Lebih dari itu, Ifdhal menjelaskan setiap pemerintahan pascareformasi akan menghadapi kesulitan yang sama dalam kasus HAM. Ia menyatakan, Jokowi tak mau mengorbankan stabilitas pemerintahan demi isu HAM.

"Pemerintahan Gus Dur sangat berani tapi risikonya dia jatuh. Belajar dari itu, pemerintahan setelahnya lebih memilih berkalkulasi agar tidak menyebabkan terganggunya stabilitas politik," kata Ifdhal.

Kasus agraria

Tak cuma perkara pelanggaran HAM, Komnas juga mencermati kasus agraria yang terjadi seiring berbagai proyek infrastruktur di era pemerintahan Jokowi.

Jumlah kasus itu dikhwatirkan meningkat setelah dicapai kesepakatan investasi infrastruktur senilai lebih dari Rp245 triliun dalam pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia di Bali, pekan lalu.

"Kami khawatir, semakin besar investasi infrastrukur, lahan akan semakin dikuasai swasta. Bukan hanya terjadi pengosongan lahan, tapi juga intimidasi terhadap masyarakat," kata Taufan.

Meski begitu, Komnas HAM mencatat perbaikan pengelolaan konflik saat Jokowi menerbitkan Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria.

Beleid itu menjamin strategi mengatasi ketimpangan kepemilikan lahan dan proses penanganan sengketa agraria.

"Isu agraria nilai untuk pemerintah belum sampai 50 karena kasusnya banyak sekali. Tapi paling tidak sudah ada kerangka hukum meski belum memuaskan," ujar Taufan.

Dalam catatan Komnas HAM, dalam setahun terakhir kasus intoleransi dan pelanggaran atas kebebasan berekspresi marak terjadi di Indonesia.

Taufan menyebut kepolisian gagal menindak pelaku penyerangan kelompok rentan seperti Ahmadiyah. Di sisi lain, kepolisian dianggap tak netral dalam sejumlah kasus pembubaran diskusi maupun persekusi kelompok minoritas.

"Pekerjaan rumah masih cukup banyak, karena tinggal beberapa bulan lagi, pemerintah seharusnya menetapkan skala prioritas penyelesaian kasus," kata Taufan.


Tulis Komentar