Politik

Terjadi di Semua Partai, 'Perselingkuhan' Caleg di Pemilu 2019

Ilustrasi.

GILANGNEWS.COM - Politik dua kaki oleh calon anggota legislatif (caleg) jelang Pemilihan Umum 2019, dirasakan di beberapa tempat. Terutama, di daerah yang memiliki perbedaan dukungan calon presiden-wakil presiden.

Bahkan, anekdot "Boleh siapa saja presidennya, asal calegnya gua" menjadi hal lumrah di kalangan caleg.

Salah satu diutarakan caleg DPR RI asal Aceh dari Golkar yang enggan disebut namanya.

Kepada wartawan, ia mengaku sudah tidak bisa mendorong instruksi partai sejalan dengan kepentingannya.

Baca: Sandiaga Ingin Kasus Hanum Rais yang Dilaporkan ke PDGI Tak Dikaitkan ke Ranah Politik

"Di tempat saya, masyarakatnya justru dukung Pak Prabowo. Kalau dipaksakan, malah saya yang tidak terpilih," ujarnya di Jakarta, Sabtu (20/10).

Hal yang sama juga diakui oleh Caleg asal Demokrat Dapil Jawa Tengah yang mengatakan lumbung suara di daerahnya, didominasi oleh pendukung capres Jokowi-Ma'ruf Amin. Secara terpaksa, dia harus bekerja sendiri untuk meraup suara tanpa mengampanyekan Prabowo-Sandi.

"Ya mau tidak mau. Daripada tidak terpilih semuanya," ucap dia.

Sekjen PPP, Arsul Sani mengatakan hal itu lumrah terjadi di setiap partai politik. Alasannya, kondisi di setiap daerah berbeda dan baru kali ini pemilu secara serentak terjadi di Indonesia. Dia mengaku, banyak caleg PPP Dapil Sumatera Barat juga mengalami hal serupa.

"Ya banyak. Tidak bisa dinafikkan yang seperti itu. Ini pemilunya serentak. Banyak juga yang akhirnya memilih untuk 'selingkuh' atau 'jomblo'," akunya.

Namun, dia menegaskan, tidak boleh ada caleg yang mengucapkan hal itu secara terbuka ke publik. Apabila ditemukan, maka pimpinan pusat akan langsung memecat yang bersangkutan.

Jalan tengahnya, lanjut dia adalah kebijaksanaan dari para caleg dan pengurus partai diatasnya. Lanjutnya, caleg dapat memberitahu informasi itu kepada pengurus atau tim kampanye pasangan presiden yang ada di dapilnya.

Selebihnya, tim kampanye akan melakukan pendekatan kepada warga agar mendukung pasangan calon yang sudah diusung.

"Sebenarnya, tidak ada alasan. Pasti, ada tim kampanye pasangan capres-cawapres di daerah. Nah, mereka yang akan lakukan penetrasi ke masyarakat. Toh, masih ada waktu enam bulan lagi," tukasnya.

Pertanyakan Konsolidasi Koalisi
Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jeirry Sumampow justru mempertanyakan konsolidasi saat komunikasi koalisi berlangsung. Menurutnya, hal ini seharusnya sudah selesai diawal.

"Jangan-jangan masalah ini, tidak dibahas saat awal koalisi kemarin? Ini menjadi hal dasar yang sudah seharusnya rampung. Sehingga, tidak perlu lagi masalah ini sampai ke publik," ujar Jeirry.

'Perselingkuhan' caleg, jelas dia sudah terlihat sebelum masa pencalonan presiden dan wakil presiden. Mereka yang tidak menempatkan kader sebagai capres maupun cawapres tidak akan mendapat keuntungan elektoral yang signifikan.Sehingga, praktis hari ini, keuntungan tersebut hanya dimiliki PDIP dan Gerindra karena dua capres yang bertarung di Pemilu 2019 berasal dari dua partai tersebut.

Sementara, partai lain yang hanya membubuhkan tanda tangan sebagai syarat di KPU, sangat sulit meningkatkan perolehan suara.

"PDIP saja dengan Gerindra yang memiliki keuntungan. Partai lain ya cari peruntungan. Memang harus diakui, di beberapa daerah harus seperti ini dan kejadian ke semua partai," jelasnya.

Menurut dia, solusinya adalah partai pendukung Jokowi-Ma'ruf harus dapat meraup keuntungan di lumbung suara pasangan nomor urut 01.

Begitu juga partai pendukung pasangan nomor urut 02, Prabowo-Sandi. "Jadi, mereka harus bertarung sesama partai koalisi sendiri. Karena itu tadi, mereka harus cari peruntungan di daerah pasangan presiden dan wakil presiden tersebut berpotensi menang," tukasnya.


Tulis Komentar