Hukrim

Makin banyak kepala daerah terkena OTT, pertanda korupsi makin parah?

Bupati Cianjur Irvan Rivano Muchtar.

GILANGNEWS.COM - Operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Bupati Cianjur, Irvan Rivano Muchtar, dan lima orang lainnya pada Rabu (12/12) adalah OTT yang ke-28 yang dilakukan tahun ini.

Tiga di antaranya lalu ditetapkan sebagai tersangka, termasuk Irvan, dan dua pejabat di Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur, yaitu kepala dinas, Cecep Sobandi, dan kepala bidang SMP, Rosidin.

Masih ada satu tersangka lagi, Tubagus Cepy Sethiady, kakak ipar Irvan, yang belum ditemukan keberadaannya. Tiga nama pertama langsung ditahan.

Sementara itu, 27 kasus lain yang berhasil diungkap KPK tahun ini didominasi oleh kepala daerah sebagai pelakunya.

Dari Bupati Hulu Sungai Tengah H. Abdul Latif yang ditangkap 4 Januari silam, hingga Bupati Pakpak Barat Remigo Yolando Berutu yang diamankan 17 November lalu.

Dari 105 kepala daerah yang kasusnya tengah ditangani KPK, 60 orang di antaranya terlilit kasus suap, sementara sisanya terkait kasus yang merugikan keuangan negara, gratifikasi, hingga pemerasan.

Masalah perizinan dianggap kerap menjadi batu sandungan para kepala daerah yang akhirnya terjerembap ke dalam kasus korupsi.

"Teman-teman kepala daerah itu kan sebenarnya, kadang-kadang yang menjadi bagian dari problem, ketika pengambilan kebijakan. Pengambilan kebijakan itu kemudian terbentur dengan persoalan-persoalan birokrasi, peraturan dan segala macam," ungkap Wakil Wali Kota Yogyakarta, Heroe Poerwadi, saat dihubungi BBC News Indonesia, Kamis (13/12).

Menurutnya, hal lain yang juga sering menjadi penyebab seorang kepala daerah nekat korupsi: tingginya biaya politik.

"Jadi biaya yang besar ini, biaya besar yang diupayakan untuk running pilkada itu memang besar, dan upaya nanti kalau misalnya dia pengen maju lagi itu, tidak akan cukup kalau kita hanya mengandalkan dari pendapatan yang ada saat ini," ujar Heroe.

"Kadang-kadang dia sudah bekerja bagus di masyarakat, dinilai baik. Tetapi ketika dia running tetap saja kan dia harus kampanye, macam-macam. Jadi sudah bekerja bagus pun sebenarnya tidak cukup, karena memang perlu biaya," lanjutnya.

Heroe yang merupakan Ketua DPD PAN Kota Yogyakarta berpandangan, jika memang seorang kepala daerah berniat untuk maju kembali dalam pemilu berikutnya, investasi sosial adalah jalan terbaik.

"Setiap kepala daerah mungkin sudah berpikir sejak jauh-jauh hari ya, ada yang berpikir 'saya akan menginvestasikan secara sosial, meskipun nanti secara finansial saya tidak cukup, tapi investasi sosial saya cukup, sehingga itu bisa membantu mengurangi biaya.

"Jadi dia memang bekerja serius, kemudian mencari sesuatu yang membuat masyarakat merasa puas dengan kinerja mereka, sehingga akan mengurangi dana," pungkas Heroe.

Korupsi yang endemik, atau KPK yang heroik?

Menurut peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, tren OTT yang dilakukan KPK meningkat drastis pada tahun 2018 ini.

Hal itu jauh berbeda dengan jumlah operasi tangkap tangan yang dilakukan di tahun-tahun sebelumnya.

Pada tahun 2014, menurut catatan ICW, KPK melakukan 14 operasi tangkap tangan. Angka itu menciut menjadi empat OTT saja di tahun 2015. Lalu, jumlahnya meningkat sedikit menjadi sembilan dan delapan, masing-masing di tahun 2016 dan 2017.

Barulah di tahun 2018, OTT mencapai puncaknya, dengan 28 kasus, setidaknya hingga 13 Desember.

Dari 28 kasus, "21 (melibatkan) kepala daerah dan satu mantan kepala daerah (dari OTT)," ujar Febri Diansyah, juru bicara KPK melalui pesan singkat kepada wartawan, Kamis (13/12).

Wakil ketua KPK, Saut Situmorang, menjelaskan sebenarnya tidak ada target spesifik dari sisi penindakan.

"Jadi kalau pun ada peningkatan penindakan di daerah, (itu) lebih pada pembuktian yang dilakukan di dalam proses aduan masyarakat yang ditindaklanjuti oleh KPK," kata Saut.

Jika dirata-ratakan, pada tahun ini KPK mengeksekusi dua operasi tangkap tangan setiap bulannya. Banyaknya praktik korupsi yang 'dipergoki' KPK dinilai Kurnia memiliki dua sisi.

"Di satu sisi KPK sudah bekerja dengan baik sehingga menangkap pelaku-pelaku korupsi di daerah," ungkap Kurnia kepada BBC News Indonesia, Kamis (13/12).

"Sisi buruknya ternyata kondisi Indonesia sampai saat ini -dengan data yang kita pegang- belum banyak berubah, soal perbaikan tata kelola pemerintahan yang baik, good governance, itu belum banyak berubah."

Senada dengan Heroe, menurut Kurnia, biaya politik ketika para kepala daerah maju dalam pemilu masih menjadi faktor signifikan di balik perilaku koruptif yang dibongkar KPK.

Namun demikian, faktor lemahnya pengawasan praktik birokrasi di daerah juga menjadi faktor pendukung.

"Sebenarnya kan setiap pemerintah daerah ada pengawasnya sendiri. Kita harap itu yang lebih aktif untuk melihat kinerja dari si pemerintah," ujar Kurnia.

Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM, Zainal Arifin Mochtar, mengatakan banyaknya jumlah kepala daerah yang telah ditangkap KPK dalam setahun terakhir bukan berarti praktik korupsi di daerah tumbuh lebih subur dibanding sebelumnya.

"Karena KPK memang sedang rajin melakukan OTT dan pengejaran korupsi-korupsi di daerah, jadi itu yang membuatnya seakan-akan naik, karena selama ini kan sebenarnya faktor korupsi daerah itu (memang) tinggi, cuma cara kita melakukan pemberantasannya yang rendah," ujar Zainal kepada Rivan Dwiastono, wartawan BBC News Indonesia, Kamis (13/12).

Menurut Zainal, kepemimpinan KPK di bawah Agus Rahardjo kini memang memiliki road map yang berbeda dengan periode sebelumnya.

"Di KPK yang sebelumnya kan road mapnya adalah aparat penegak hukum. Jadi yang banyak dikerjakan itu polisi, jaksa, dan sebagainya," ujar Zainal.

"Saya lihat ada kesan KPK sekarang itu road mapnya agak bergeser, kan. Yang dia kerjakan adalah korupsi birokrasi, yang dia kejar adalah menteri, lalu kemudian anggota DPR, kepala daerah."

Hal ini dinilai Zainal wajar dilakukan KPK.

"Mana mungkin KPK bisa mengerjakan semua hal dengan keterbatasan kapasitas, dengan kemandekan kejaksaan dan kepolisian, dan lain sebagainya."

Meski demikian, pegiat antikorupsi merasa bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada terpidana korupsi belum memunculkan efek jera yang bisa berdampak pada menurunnya praktik korupsi di berbagai lini.

Hukuman 'baru' sebatas pemidanaan penjara.

"Padahal kalau kita mau bilang efek pemenjaraan kan harusnya banyak, kerja sosial, lalu kemudian perampasan harta, lalu hukuman pencabutan hak politik, harusnya banyak. Sekarang kita masih mengenal itu sebagai hidangan tambahan saja," imbuh Zainal.

Hal ini diamini Kurnia yang menganggap asset recovery alias pengembalian aset sebagai instrumen hukuman yang patut dikenakan kepada pelaku korupsi.

"Jangan sampai vonis pengadilan yang rendah, asset recovery yang sangat sedikit, dan vonis hakim yang tidak mencabut hak politik terdakwa kasus korupsi yang punya afiliasi dengan politik, ini akan menghambat kerja-kerja KPK di awal," katanya.


Tulis Komentar