Nasional

Pengakuan Pengamen Salah Tangkap soal Perlakuan Oknum Polisi

Ilustrasi.

GILANGNEWS.COM - Para korban salah tangkap kasus pembunuhan sesama pengamen di kawasan Cipulir, Tangerang Selatan, mengaku sempat diminta jadi saksi dan diberi iming-iming uang oleh polisi sebelum disiksa agar mengaku sebagai pelaku.

Kasus ini diusut pertama kali pada 2013. Keempat korban salah tangkap yang merupakan pengamen itu adalah Fikri, Fatahillah, Ucok, dan Pau. Mereka kemudian mempraperadilankan penangkapan itu dan menuntut agar Polda Metro Jaya, Kejati DKI dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) membayar kerugian sebesar Rp750,9 juta.

Salah satu korban salah tangkap, Arga alias Ucok (19), yang pada 2013 berusia 13 tahun, mengaku tak curiga saat diajak pihak kepolisian untuk menjadi saksi.

"Karena kami kan kasih tahu ada yang meninggal. Artinya polisi nyari saksi atas kejadian itu siapa. Lalu kami datang. Katanya enggak diapa-apain cuma dimintai keterangan aja nanti pulangnya mau dìkasih uang," ungkap Ucok di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (17/7).

Nyatanya, Ucok mengaku bahwa dirinya dipaksa mengaku sebagai pelaku dengan cara dipukuli. Menurutnya, dia dipaksa mengaku setelah dua orang teman lainnya sudah mengaku.

Ucok kemudian terpaksa mengaku karena tidak mau disiksa lagi. Kedua temannya pun, kata dia, meminta dirinya untuk mengaku saja dari pada dipukuli lagi.

"Habis dari Polsek dibawa ke Polda [Polda Metro Jaya] saya diinjak [badannya]. Dibawa ke lapangan. Setelah itu dibawa ke TKP di kolong jembatan. Itu saya dikemplangin lah kepala. Dikerubutin polisi," jelas dia.

Ucok mengaku tidak mengingat siapa yang melakukan kekerasan itu. Namun, ia masih ingat sosok dua penyidik yang memeriksanya.

Saat itu, Ucok mengatakan pihaknya tidak diberikan pendampingan hukum. Padahal, pihaknya masih tergolong anak di bawah umur dan wajib mendapatkan pendampingan. Hal itu lah, lanjut dia, yang membuatnya tidak dapat mengambil keputusan secara tepat.

"Enggak ada pendamping hukum," tambah dia.

Ucok yang sekarang ini berprofesi sebagai sopir ojek online di kawasan Jakarta Selatan mengaku berharap pihak kepolisian tidak terus semena-mena menghakimi sendiri siapapun yang diperiksa.

Ia pun mengatakan sidang praperadilan kali ini ini bukan semata-mata bertujuan mendapatkan ganti rugi. Namun untuk menunjukkan bahwa pihak terkait harus bertanggung jawab.

"Kalau persidangan ini ya harapannya sih biar polisi tuh lain kali engak semena-mena sama masyarakat, kalau dibiarin kan, kalau maaf-maaf ya, kata kasarnya ngelunjak lah. Makanya sekali-sekali harus dituntut. Kami di sini kan nuntut bukan buat uang juga, tapi pihak kepolisian harus bertanggung jawab juga, atas perlakuannya," tuturnya.

Korban salah tangkap lainnya, Fikri Pribadi (23) yang pada saat kejadian berusia 17 tahun, juga mengaku dipaksa mengaku sebagai pelaku pembunuhan.

Pada awalnya, ia hanya berniat melaporkan kejadian untuk menolong korban tersebut. Fikri mengaku melihat korban pembunuhan yang penuh luka di bawah kolong jembatan di kawasan Cipulir tempat ia biasa menongkrong.

Ia mengaku panik dan memutuskan untuk melapor ke seorang satpam. Satpam itu lah yang melaporkan ada korban pembunuhan ke pihak kepolisian.

"Ada golok yang ketinggalan. Tapi waktu polisi cari di kali ada senjata lagi," jelas Fikri.

Setelah itu, Fikri mengatakan pihaknya sempat diminta jadi saksi. Namun pada saat proses pemeriksaan menjadi saksi dengan tiga orang lainnya, mereka malah dipaksa mengaku dan diancam.

"Polisinya bilangnya 'tolong ya, bang, abang jadi saksi ya'. 'Iya enggak apa-apa, saya mau'. Tahunya pas sudah di Polda malah kita yang ditekan," tutur Fikri.

"Disetrum, dilakban, dipukulin. Disuruh ngaku kan, saya disuruh ngaku," ucap Fikri kepada para wartawan di tempat yang sama.

Jika tidak mengaku, ia menyebut polisi mengancam akan terus memukulinya. Ia juga mengatakan pihaknya disiksa selama sekitar satu minggu.

Diketahui Polda Metro Jaya dan Kejati dituntut menyatakan bersalah karena melakukan salah tangkap dan juga praktik kekerasan terhadap keempat anak tersebut. Sedangkan Kemenkeu dituntut juga untuk membayar kerugian keempatnya.

Pengacara publik dari LBH Jakarta Oky Wiratama menjelaskan nilai Rp750,9 juta itu dihitung dari ganti rugi secara materil sebesar Rp 662,4 juta dan secara imateril senilai Rp88,5juta.

Oky juga menjelaskan ganti rugi itu dimaksudkan untuk membayar kerugian atas kehilangan penghasilan keempat anak tersebut sebagai pengamen dan atas kekerasan yang dilakukan kepada mereka.

Keempatnya diketahui terbukti tak bersalah dalam kasus pembunuhan itu di persidangan. Pernyataan tidak bersalah itu dinyatakan oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Nokor 131 PK/Pid.Sus/2016.

"Total, mereka sudah mendekam di penjara selama 3 tahun atas perbuatan yang tidak pernah mereka lakukan, ditambah mereka hanyalah anak-anak yang dengan teganya disiksa oleh Kepolisian dengan cara disetrum, dipukuli. ditendang, dan berbagai cara penyiksaan lainnya," tambah Oky.

Pihak Polda Metro Jaya maupun Polri masih berusaha dimintai tanggapannya perihal keterangan para korban ini.


Tulis Komentar