Nasional

Napak Tilas Jejak Proklamasi: Kemayoran hingga Rengasdengklok

Sukarno saat berpidato di hadapan sekitar 200.000 orang di Makassar menuntut kemerdekaan Indonesia dari Belanda.

GILANGNEWS.COM - Proklamasi kemerdekaan RI yang dibacakan pada 17 Agustus 1945 pukul 10.00 WIB tak dilaksanakan begitu saja. Banyak hal yang terjadi sebelum barisan kalimat proklamasi RI dibacakan Sukarno di teras rumahnya tersebut, Jalan Pegangsaan Timur 56 (sekarang area Monumen Proklamasi), Jakarta Pusat.

Bermula dari kegelisahan tokoh pemuda setelah mengetahui Jepang telah kalah dalam Perang Dunia II, mereka mendesak Sukarno dan tokoh nasional lain yang tengah menyusun rencana kemerdekaan untuk menyegerakan proklamasi. Para darah muda yang tak ingin proklamasi Indonesia sebagai 'hadiah' dari Jepang itu pun mengasingkan Sukarno dan Muhammad Hatta ke Rengasdengklok, Karawang, agar berubah pikiran untuk mau menyegerakan proklamasi. Peristiwa membawa Sukarno-Hatta keluar Jakarta itu kemudian dikenal dalam sejarah sebagai 'Penculikan ke Rengasdengklok.

Akhirnya, sampai juga pada masa yang bersejarah saat perumusan naskah proklamasi dan pembacaannya di Jakarta Pusat. Namun, apakah Anda tahu sejumlah tempat yang menjadi saksi bisu perjuangan proklamasi kemerdekaan RI secara de facto itu bukan sebagai hadiah dari Jepang. Berikut CNNIndonesia.com rangkumkan untuk Anda, meskipun beberapa tempat sudah tak sesuai dengan kondisinya pada 1945 silam.

1. Bandara Kemayoran
Chairul Saleh dkk menunggu di Kebun Pisang dekat Bandara Kemayoran, Jakarta Pusat. Mereka menunggu untuk menemui langsung Sukarno-Hatta yang baru tiba dari Saigon, Vietnam setelah bertemu Jenderal Jepang Hisaichi Terauchi, 14 Juli 1945 petang.

'Selamat datang kembali Bung Karno, Bung Hatta. Kami semua menunggu oleh-oleh yang Bung bawa dari Saigon,' ujar Chairul seperti diriwayatkan AM Hanafi dalam Menteng 31: Markas Pemuda Revolusioner Angkatan 45: Membangun Jembatan Dua Angkatan (1996).

Dalam kesempatan itu Chairul menegaskan kepada Sukarno agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa menunggu lama lagi karena Jepang sudah kalah dalam Perang Pasifik. Namun, Bung Karno hanya menjawab sepintas tak ingin membicarakan hal tersebut di kawasan lapangan terbang tersebut. Ia dan Bung Hatta lalu pergi begitu saja.

Kini, 74 tahun berlalu, Bandara Kemayoran tak lagi beroperasi. Lahan seluas 454 hektare itu sementara ini dikelola Badan Layanan Umum Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPKK). Perkebunan pisang yang dulu menjadi tempat Chairul dkk menunggu Sukarno-Hatta pun sudah lama hilang terkena deru pembangunan selama 74 tahun Indonesia merdeka.

Setelah Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Bandara Kemayoran menjadi tonggak perusahaan kebandarudaraan komersial nasional. Di titik inilah, pengelola bandara Indonesia, Angkasa Pura, lahir pada awal dekade 1960an.

Dikisahkan, setelah kembali dari Amerika Serikat, Presiden Sukarno meminta menterinya agar lapangan terbang di Indonesia bisa setara dengan negara maju lain di dunia. Maka, pada 1962 diterbitkanlah peraturan pemerintah yang menjadi dasar pendirian Perusahaan Negara Angkasa Pura Kemayoran.

'Setelah melalui masa transisi selama dua tahun, terhitung sejak 20 Februari 1964 PN Angkasa Pura Kemayoran resmi mengambil alih secara penuh aset dan operasional Pelabuhan Udara Kemayoran Jakarta dari Pemerintah RI,' demikian dikutip dari situs PT Angkasa Pura I.

Kini, bandara itu tinggal kenangan setelah berhenti beroperasi pada 1 Juni 1984. Lokasi itu sendiri telah dijadikan menjadi cagar budaya berdasarkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 495 tahun 1993.

Sisanya yang masih tampak hingga kini adalah dua landasan pacu yang kini beralih fungsi jadi jalan raya (Jl Benyamin Sueb dan HBR Motik), sisa perkantoran dan hanggar, serta gedung menara kontrol lalu lintas udara (ATC).

1. Tulisan 17: Saksi Bisu Hari-hari Jelang ProklamasiSalah satu sudut gedung eks bandara kemayoran, Jakarta Pusat, 8 Agustus 2019. (CNN Indonesia/ Aria Ananda)

Saat media berkunjung ke sana pada awal Agustus ini, cat yang menutupi menara ATC yang dibangun pada 1938 itu terpulas cat warna merah dan putih. Berbeda dengan gedung bekas Bandara Kemayoran yang tampak dari kejauhan berwarna putih, namun catnya mulai terkelupas dan kecokelatan. Pintu menuju menara tak dapat diakses umum, dan ditutupi pagar berwarna putih, serta dijaga petugas.

"Enggak bisa masuk sembarang orang pak, harus minta izin PPKK dulu, kirim surat minta izin," ujar Cahya, petugas keamanan menara tersebut perihal tak dibuka umumnya menara tersebut, Kamis (8/8).

Beberapa tahun lalu sempat muncul gagasan agar bekas bandara itu dijadikan museum yang terbuka bagi umum. Pada 2016 silam PT AP I pun menggelar pertemuan soal rencana itu. Namun, hingga saat ini rencana itu belum juga terwujud di atas lahan milik Sekretariat Negara tersebut.

Gedung eks Terminal Bandara Internasional yang berlokasi di bidang tanah sisi timur Jalan Angkasa saat ini berseberangan dengan Mall Mega Kemayoran, membuat suasana wilayah tersebut ramai oleh kendaraan yang berlalu lalang sepanjang jalan. Sementara itu, ATC berada di Jalan Radar, yang berjarak sekitar 1,3 kilometer dari luar pagar eks Bandara Kemayoran.

Bekas lahan parkir kendaraan di bagian belakang gedung eks bandara masih bisa terlihat dari sela sela pagar besi yang mengelilingi bangunan tersebut. Terdapat juga pos jaga yang kosong pada bagian depan gedung, serta beberapa puing-puing bangunan yang tergeletak di beberapa sisi gedung tua tersebut.

Pada bagian luar kawasan gedung eks bandara, beberapa pedagang makanan dan minuman kaki lima terlihat berjejer di atas trotoar jalan, hanya terhalang pagar besi dari gedung.

Jejak Bandara Kemayoran ini pun bisa ditemukan warga sedunia lewat dongeng bergambar alias komik karya Herge dari Belgia, Tintin. Pada episode TIntin bertajuk Flight 714 to Sydney, Herge menggambarkan petualangan Tintin dan sahabatnya Kapten Haddock, Profesor Calculus, dan anjingnya Snowy yang pernah singgah di bandara tersebut.

Kisah Bandara Kemayoran sendiri baru hadir sekitar lima tahun sebelum kemerdekaan, saat Belanda masih menguasai Indonesia sebelum diambil alih Jepang pada 1942. Pada 6 Juli 1940, pesawat DC-3 milik maskapai Belanda, KNILM, menjadi yang pertama mendarat di bandara tersebut. Dua hari kemudian, Belanda pun meresmikan bandara yang telah dibangunnya sejak satu dekade sebelumnya.

2. Pertemuan Eijkmann Institute

Setelah mendapatkan jawaban tak memuaskan dari Sukarno-Hatta soal usulan proklamasi kemerdekaan, pada 14 Agustus 1945 malam sekitar pukul 20.00 para pemuda lalu berkumpul di sebuah ruangan belakang Laborotarium Eijkmann Institute, Jalan Pegangsaan Timur nomor 17, Jakarta pusat kala itu.

"Ketika malam itu ada pertemuan mahasiswa pemuda itu di kebon jarak di belakang Pegangsaan tuh ada [gedung] kedokteran, ada di situ bagian pabrik health dan bakteriologi, di belakang ada kebon untuk penelitian, cukup besar kira-kira bersebelahan dengan asrama mahasiswa kedokteran," ujar Sejarawan Rushdy Hoesein saat disambangi media, Selasa (13/8) malam.

Kini, Laboratorium Bakteriologi Eijkmann Institute yang menjadi titik pertemuan itu telah menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Bagian Mikrobiologi. Namun, ada perubahan pada alamatnya menjadi Jalan Pegangsaan Timur nomor 16, sementara nomor 17 menjadi kampus Universitas Bung Karno (UBK).

'Pertemuan ini dipimpin oleh Chairul Saleh. Pembicaraan-pembicaraan yang dirundingkan ialah: Bagaimana sikap yang akan diambil menghadapi situasi ketika itu dan bagaimana caranya supaya rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya di luar segala bentuk dan semangat Kemerdekaan Hadiah dan bagaimana sikap terhadap Sukarno-Hatta,' tulis Adam Malik dalam Riwayat Proklamasi 17 Agustus (1956).

Dari pertemuan itu diputuskanlah para pemuda akan mencoba melobi kembali Sukarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan, tak perlu menunggu persetujuan atau penyerahan dari Jepang. Akhirnya, diputuskan mengirim Wikana dan Darwis untuk segera menyampaikan hal itu sekali lagi ke Sukarno di rumahnya, Jalan Pegangsaan nomor 56.

Sementara itu, Djohar Nur diperintahkan menyusun persiapan-persiapan pelajar yang ada di asramanya, Asrama Badan Permusyawaratan Pelajar-Pelajar Indonesia (Baperpi) yang berada di Cikini 71. Djohar Nur, tulis Adam Malik, dikenal sebagai pemimpin Persatuan Mahasiswa, dan wakilnya adalah Sajoko dan Sjarif Taib.

'Selanjutnya ditetapkan akan berunding sekali lagi selengkap-lengkapnya di Cikini 71 mendengarkan perslah pertemuan ketiga wakil itu, dan dari perslah yang akan ditunggu itulah nantinya, diambil putusan dan rencana apa yang akan dijalankan,' ujar Adam Malik.

Kembali ke titik di bekas Eijkmann Institute, saat CNNIndonesia.com menyambanginya sekitar awal bulan ini tak terlihat ada tanda maupun penanda yang sengaja dibuat untuk menunjukkan secara tepat mengenai lokasi pertemuan para Chairul, Wikana dkk di lokasi tersebut pada 1945. Tak hanya itu, beberapa staf kampus yang ditemui pun mengaku tidak mengetahui sejarah dari bangunan tersebut.

"Memang disini itu laboratorium mikrobiologi, cuma saya sendiri enggak tau kalau ada sejarahnya rapat pemuda. Enggak pernah ada monumen atau dengar info itu," ujar salah satu staf Fakultas Kedokteran UI Bagian Mikrobiologi yang enggan namanya disebut.


Tulis Komentar