Sembako Kena PPN, Pemerintah Sedang Melakukan "Bunuh Diri" 

Rabu, 09 Juni 2021

sembako

GILANGNEWS.COM - Pemerintah kembali memberikan kejutan di tengah pandemi covid-19. Usai niat kini pemerintah berencana mengenakan PPN terhadap sembako atau barang kebutuhan pokok.

Hal tersebut tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Dalam draf aturan itu, barang kebutuhan pokok dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenakan PPN. Artinya, barang pokok akan dikenakan PPN.

Barang pokok yang tidak dikenakan PPN sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017. Barang pokok yang dimaksud, seperti beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, ubi-ubian, sayur-sayuran, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi.

PPN adalah pungutan yang dibebankan atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pihak yang membayar PPN adalah konsumen akhir.

Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira, pemerintah sedang bunuh diri. Ia menilai tega-teganya pemerintah mematok PPN terhadap barang kebutuhan pokok masyarakat.

"Pemerintah sepertinya sedang melakukan bunuh diri ekonomi tahun depan. Momentum pemulihan ekonomi justru diganggu kebijakan pemerintah sendiri," ungkap Bhima Rabu (9/6).

Kalau barang kebutuhan pokok dikenakan PPN, maka otomatis harga jualnya akan naik. Sebab, pengusaha biasanya membebankan biaya PPN kepada konsumen. "Kenaikan harga pada barang kebutuhan pokok mendorong inflasi," tutur Bhima.

Apabila inflasi tinggi, artinya harga barang-barang naik. Hal ini jelas akan menekan daya beli masyarakat. Masyarakat akan mengurangi belanjanya. Alhasil, tingkat konsumsi rumah tangga semakin melemah, sehingga akan berdampak negatif terhadap ekonomi nasional.

Jika aturan ini diketok dan berlaku tahun depan, jangan harap target pertumbuhan ekonomi 5 persen pada 2022 akan terwujud. Ekonomi tidak akan pernah bisa bergerak signifikan ketika konsumsi masyarakat tertekan.

"Masyarakat akan mengurangi belanja, bahkan berhemat. (Ekonomi Indonesia) bisa lebih rendah ke 2 persen-4 persen," tegas Bhima.

Pedagang melayani pengunjung yang hendak membeli kebutuhan pokok di Toko Tani Indonesia Center (TTIC) dan Toko Tani Indonesia (TTI), Ragunan, Selasa, Jakarta (05/05/2020). Pasar tani yang menggelar barang kebutuhan pokok bagi warga tersebut melayani penjualan online dengan aplikasi dan offline. 

Hal tersebut sebagai upaya meningkatkan akses pangan bagi masyarakat untuk mendapatkan pangan strategis seperti, beras, gula pasir, daging sapi, daging ayam, telur ayam, bawang merah, bawang putih, minyak goreng, cabai, sayur, dan buah dengan harga di bawah harga pasar dengan harapan dapat menstabilkan harga ditingkat eceran. CNN Indonesia/Andry NovelinoIlustrasi sembako. (CNN Indonesia/Andry Novelino).

Parahnya lagi, kenaikan harga barang pokok karena PPN juga berpotensi mengerek tingkat kemiskinan di dalam negeri. Mengingat, 73 persen penyumbang garis kemiskinan berasal dari bahan makanan.

"Artinya sedikit saja harga pangan naik, maka jumlah penduduk miskin akan bertambah," kata Bhima.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin tembus 27,55 juta pada September 2020. Angka itu setara dengan 10,19 persen dari total populasi nasional.

Populasi penduduk miskin meningkat dari sebelumnya 26,42 juta pada Maret 2020. Begitu juga dari sisi tingkat kemiskinan, meningkat dari sebelumnya 9,78 persen pada periode yang sama.