Luka Lama di Tanah Papua

Kamis, 16 September 2021

Kepala Suku Pegaf Papua Terima Bendera Merah Putih dari Pangdam Kasuari.

GILANGNEWS.COM - Jhon Al Norotow masih ingat stigma yang dulu selalu melekat dalam pikirannya. Stigma tentang keberadaan tentara di Tanah Papua. Stigma itu perlahan dihilangkan. Setelah Jhon tak lagi menjadi bagian dari gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Tentara dianggap sebagai musuh. Oleh mereka yang mewariskan luka lama kepada anak cucunya. Mengenai operasi militer di Papua. Tercatat sebagai salah satu operasi militer terlama di Indonesia. Sejak 1963. Dimulai dari operasi Wisnu Murti I dan II. Berlanjut operasi Brathayudha, operasi Gagak, operasi Kasuari, hingga operasi Rajawali. Kerap berganti nama pada periode waktu tertentu.

Pada 1998, Panglima ABRI Jenderal Wiranto sebenarnya sudah meminta maaf dan mencabut status Papua sebagai daerah operasi militer (DOM). Meski demikian, militer tetap bersiaga di Papua. Dengan berganti nama operasi.

"Karena sejarah masa lalu itu yang tertanam di pikiran mereka," ujar Jhon saat berbincang dengan merdeka.com, akhir pekan lalu.

Warga Papua yang sampai hari ini berkonflik dengan tentara, masih beranggapan tengah membela negaranya. Keyakinan itu tak lepas dari jejak peninggalan sejarah masa lampau. Tahun 1961. Ketika Menlu Belanda menyampaikan resolusi di Dewan Keamanan PBB untuk membebaskan Irian Barat. Lalu mendirikan Negara Papua.

Presiden Soekarno marah mendengar itu. Selain mengirim utusan ke PBB untuk menggagalkan pembentukan Negara Papua, Bung Karno juga mengumumkan Tri Komando Rakyat (Trikora). Dengan salah satu bunyinya menggagalkan negara Papua. Karena dianggap negara boneka buatan Belanda.

Jhon menceritakan, penggalan sejarah itu yang membuat luka di Papua lama sembuhnya. Masih ada sebagian warga yang meyakini keberadaan Negara Papua. Sehingga mereka rela bergerilya. Hidup di antara rimbunnya hutan belantara.

"Sejarah ini yang dianggap mereka bahwa telah terjadi pembentukan negara Papua dan itu diperjuangkan sampai dengan hari ini."

Pegiat Papua Peace and Development Action (PaPeDA) Institute Ridwan al-Makassary tidak sependapat jika akar persoalan utama merujuk pada integrasi Papua ke Indonesia. Secara teori, pandangan itu yang selama ini dipakai untuk mengurai akar konflik. Bagi Indonesia, integrasi sudah final. Namun bagi nasionalis Papua, persoalan belum selesai. Perbedaan status ini dijadikan justifikasi nasionalis Papua untuk tidak pernah menyerah memperjuangkan kemerdekaannya.

"Padahal sudah ada dasar hukum Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap integrasi Papua ke Indonesia," tegas Ridwan.

Dasar terjadinya pemberontakan adalah kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi. Baik sandang, pangan dan papan warga asli Papua. Juga Pendidikan dan kesehatan. Kondisi ini dimanfaatkan oleh gerakan Papua merdeka. Mereka menembaki pekerja infrasturuktur, tenaga medis dan guru. Agar pembangunan tidak berjalan. "Sehingga banyak orang Papua yang benci pemerintah karena marjinalisasi yang terasa," katanya.

Selain persoalan integrasi Papua ke Indonesia, ada dua akar persoalan lain. Yakni problem investasi di tanah Papua yang tak dirasakan warga. Keberadaan perusahaan tambang Freeport hingga perusahaan perkebunan sawit, menimbulkan konflik. Lantaran menutup peran warga sekitar. Mereka hanya menjadi penonton. Masyarakat merasa tanahnya seolah 'dijajah'.

Persoalan ketiga adalah bisnis, politik dan keamanan di Papua. Proyek yang dikerjakan pemerintah, lebih banyak melibatkan orang luar Papua. Belum lagi bisnis ilegal di sana. Temuan Komnas HAM, bisnis ilegal dimiliki petinggi Jakarta. Kekayaan alam seperti emas, batubara, hingga hutan dan laut dikeruk. Membuat warga Papua marah.

"Itu problem konflik. Wah ini kita punya tanah punya segala macam kita tidak dapat apa-apa mereka yang mengambil kan kasihan kan timbul sesuatu," ungkap Ketua Komnas HAM Papua, Frits Ramendey.

Wakil Ketua Eksternal Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amiruddin Al-Rahab sudah 25 tahun ikut serta dalam urusan Papua. Dia adalah Peneliti di ELSAM dan Inisiator Pokja Papua yang mendalami masalah hak asasi manusia dan militer serta politik lokal. Spesialisasinya masalah separatisme dan gerakan perlawanan di Papua.

Dia tegas menyebut sumbu masalah di Papua adalah politik. Konflik tak berujung lantaran pendekatan yang dipakai adalah kekuatan senjata. Kesimpulannya berangkat dari sejarah. Setengah abad lamanya, senjata digunakan untuk penyelesaian konflik. Di berbagai belahan dunia, permasalahan politik hampir pasti tidak pernah terselesaikan dengan senjata. Masalah politik, jalan keluarnya hanya dengan langkah politik juga. Dia mengutip peneliti konflik etno nasionalisme, Ted Gurr dalam bukunya the world internal konflik di 52 negara. Kesimpulannya hanya satu. Senjata tidak bisa menyelesaikan masalah.

"Pengalaman sudah mengajarkan 50 tahun lebih pakai senjata tidak selesai. Senjata tidak pernah bisa menyelesaikan masalah politik. Ini tentang perasaan saudara kita di Papua yang aspirasinya belum didengar seluruhnya," jelas Amuruddin.

Jangan Kirim Peluru ke Papua

Konflik bersenjata sudah terjadi lebih dari 50 tahun di ujung timur Indonesia. Antara sekelompok warga yang kini dicap sebagai teroris, dengan militer. Berbagai pendekatan sudah coba dilakukan. Meredam gejolak di Papua. Kebanyakan menggunakan pendekatan keamanan untuk mendukung kebijakan. Periode kepemimpinan Presiden Habibie, Gus Dur, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah mencoba pendekatan damai. Namun tidak terwujud. Sebelumnya, periode Presiden Soekarno memulai pendekatan militer.

Periode Presiden Jokowi, selain pendekatan pembangunan, juga masih mengandalkan pendekatan militer. Bahkan Ridwan menganggap pendekatan militer kali ini cukup kuat dengan operasi menumpas mereka yang dilabeli separatis teroris. Dia tidak alergi pendekatan keamanan. Terutama untuk wilayah zona merah. Demi melindungi marwah pemerintah. Agar kelompok separatis tidak leluasa melakukan aksi terror. Karena mereka sengaja melukai warga sipil dan militer jika ada kesempatan.

"Penggunaan militer mesti terukur dan merupakan pilihan terakhir jika tidak ada upaya kompromi dari kelompok separatis," jelas Ridwan.

Jhon Norotow berharap, perintah untuk mengatasi konflik di Papua bukan lagi dengan pendekatan kekerasan militer. Wajah TNI dan Polri di Papua saat ini semakin baik di Papua. Mereka hidup berdampingan dengan masyarakat. Karena itu, jika persoalan di Papua adalah politik, tidak perlu menggunakan senjata. Untuk masalah kriminal, juga tak harus diselesaikan dengan senjata. Senjata tak perlu lagi bicara.

"Jangan mengirim peluru ke tanah Papua," singkatnya.

Pangdam XVII Cenderawasih Mayjen TNI Ignatius Yogo Triyono menjelaskan kehadiran militer di tanah Papua. Bertajuk menjaga keamanan dan ketertiban. Dari ancaman kelompok separatis teroris (KST) maupun OPM. Kelompok yang selama ini dianggap sebagai pengganggu masyarakat dan program pembangunan yang dijalankan pemerintah. Berbagai operasi militer baik pengamanan maupun penyisiran daerah rawan, diyakini menjadi bagian dari upaya mendukung pemerintah.

Operasi pengejaran terhadap kelompok KST maupun OPM tidak selalu dilakukan. Dia justru menyebut anggotanya lebih banyak membantu aktivitas warga. Mulai dari bidang Pendidikan, Kesehatan, hingga aktivitas perekonomian.

"Semua personel TNI di sini sebenarnya hanya menjaga istilahnya tidak aktif. Tidak melakukan pengejaran kita hanya mendiami tempat-tempat yang ada penduduknya," ucap Mayjen TNI Ignatius.

Berbagai video dan foto beredar. Menunjukkan kebersamaan TNI-Polri di setiap aktivitas masyarakat Papua. Kapendam Kasuari Letkol Arm Hendra menuturkan, TNI dan Polri berusaha mengisi ruang kosong yang belum terjamah karena kondisi geografis Papua sulit. Khususnya di pelosok. TNI hanya menjalankan tugas dari negara. Hendra menyebut kehadiran tentara di Papua tidak hanya masalah keamanan tapi juga peran pembangunan. Amanah Presiden Jokowi, membangun dari pinggiran. Karena itu, percepatan pembangunan mutlak dilakukan. Termasuk di Papua.

Dari situ dia meyakini. Masyarakat Papua membuka lebar tangan mereka untuk TNI dan Polri. Menurutnya, berbeda penilaian yang datang dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Mereka disebut-sebut tidak menginginkan kebersamaan tentara dan warga. Menyudutkan peran TNI.

"Ada opini yang dibangun yang tidak bertanggung jawab dari KNPB, mereka membuat opini bahwa kita hadir untuk menakut-nakuti masyarakat. Sama sekali tidak," tegas Hendra.

Kehadiran Polri di Papua hari ini mengusung Operasi Nemangkawi. Sasarannya adalah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang dianggap membuat resah masyarakat. Polisi jengah dengan kelompok bersenjata yang mendoktrin masyarakat Papua.

"Jadi yang kita jadikan sasaran adalah kelompok Kriminal bersenjata, bukan orang Papua. Salah itu," tegas Kabagpenum Humas Mabes Polri Kombes Ahmad Ramadhan.

Mereka yang hari ini melakukan pemberontakan perlu diajak bicara. Bukan dengan senjata. Agar mereka masih menganggap ruang dialog untuk berbicara damai belum tertutup. Perlu juga dipertimbangkan untuk mencabut label teroris. "Jadi kalau Jakarta memakai opini begitu justru kedamaian tidak akan terjadi," tutup Koordinator KontraS Papua,Samuel Awom.