Aksi Gerak Perempuan lawan kekerasan seksual di kampus.
GILANGNEWS.COM - DPR dan Pemerintah mulai membahas Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Anggota Panitia Kerja (Panja) DPR RUU TPKS Taufik Basari mengatakan terdapat sejumlah norma baru yang diatur, antara lain terkait hak untuk dilupakan dan victim trust fund.
"Banyak norma-norma hukum yang progresif yang dihasilkan dari pembahasan," kata Taufik dilansir Antara, Senin (4/4).
Dia mengatakan Pemerintah dan DPR menghasilkan berbagai norma yang menggunakan perspektif perlindungan korban dan hukum acara modern, guna mengakomodasi perkembangan zaman, penegasan peran Pemerintah, serta kehadiran negara dalam memberi perlindungan kepada rakyat, khususnya terkait isu kekerasan seksual.
Melalui RUU TPKS, kata Taufik, para pembuat kebijakan menegaskan adanya hak restitusi bagi korban kekerasan seksual serta penyitaan harta pelaku, sebagai upaya pelaku dapat memberikan dan memenuhi jaminan restitusi kepada korban.
Apabila pelaku tidak mampu memenuhi besaran restitusi yang diputuskan pengadilan, maka RUU TPKS mengakomodasi mekanisme victim trust fund atau dana bantuan korban. Korban akan menerima dana tersebut sebagai kompensasi, tambahnya.
"RUU TPKS juga mengakui right to be forgotten atau hak untuk dilupakan," katanya.
Hak untuk dilupakan ialah penghapusan bukti digital pada kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE), sehingga publik tidak lagi dapat mengakses bukti digital tersebut.
RUU TPKS juga mengakomodasi visum psikiatrikum berupa hasil pemeriksaan psikiatri sebagai alat bukti. Korban juga memiliki hak untuk mempunyai pendamping selama proses hukum berlangsung.
"Selain itu, peran dan fungsi LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) dalam melindungi saksi dan korban pada perkara kekerasan seksual juga ditegaskan di RUU TPKS," jelasnya.
RUU TPKS, lanjutnya, juga menegaskan adanya kebutuhan akan pelatihan dan pendidikan bagi berbagai pihak, untuk bersama-sama berperan menanggulangi kekerasan seksual, dan memiliki perspektif perlindungan terhadap korban.
Ke depannya, Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komnas Hak Asasi Manusia (HAM), Komnas Disabilitas, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dan masyarakat sipil memiliki peran penting dalam memantau dan mengawasi pelaksanaan undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
"DPR dan Pemerintah memiliki semangat dan titik pijak yang sama, yakni menginginkan agar RUU TPKS menjadi UU yang mampu melindungi korban dan membangun kesadaran bersama untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual," ujarnya.