Diperkosa semasa SD, dilacurkan di usia dini: kisah dua gadis belia Bandung

Senin, 12 Maret 2018

GILANGNEWS.COM - Eksploitasi dan kekerasan seksual terhadap anak-anak sering tenggelam dalam hingar bingar perdebatan tentang moral dan budi pekerti, padahal persoalannya jauh lebih pelik. Kisah dua gadis belia berusia 16 tahun yang jadi korban eksploitasi seksual di masa anak, dan terjebak dalam pelacuran di usia begitu dini.

Dua perempuan ini masih tergolong anak-anak di bawah umur. Sama-sama berusia 16 tahun. Namun rias wajah yang tak bisa disebut tipis, mengaburkan kemudaan mereka. Rias memang jadi bagian dari profesi mereka sehari-hari, sebagai perempuan yang bekerja di dunia hiburan malam, ketika anak-anak lain seusia mereka menikmati masa muda, bermain, mengecap pendidikan, bergembira.
Kisah Mira: akhirnya 'pensiun' di usia 16 tahun

Bulu mata palsu panjang dan lentik mempercantik matanya yang sebelumnya telah dibubuhi eyeliner. Pulasan bedak yang cukup tebal, blush on merah muda, serta lipstik berwarna nude mewarnai parasnya yang masih sebetulnya masih dalam kesegaran seorang remaja.

"Saya pengen jadi makeup artist," kata Mira, nama samaran yang dipilihnya untuk percakapan ini.

Profesi itu lebih realitis untuknya, kata Mira. Karena jalan meraih cita-cita sebagaimana anak lain seperti menjadi insinyur, dokter, pebisnis, sudah tertutup. Pendidikannya terputus di kelas 9, menjelang ujian kelulusan tingkat menengah pertama.

Gara-garanya, sekolah tidak lagi jadi tempat yang nyaman dan aman baginya.

Itu bermula dari kejadian saat ia masih duduk di bangku kelas 6 SD. Seorang anak yang lebih tua, sudah SMA, berhasil mempedayanya. Ia dipacari, dan terus menerus didesak dan dirayu, bahkan diancam, agar mau berhubungan seks.

Akhirnya terjadi hubungan seks. Terjadi beberapa kali karena dipaksa-paksa dan diancam. Tapi ia bahkan takut melapor pada orangtuanya. Karena ayahnya cepat naik pitam, katanya.

"Bapak pernah mukulin orang yang nagih hutang, jadi takut," ungkapnya dalam perbincangan di sebuah kafe di pinggir jalan Kota Bandung yang ramai.

Sialnya, entah bagaimana, banyak murid di sekolah Mira bergunjing tentang dirinya. Bahwa ia sudah tak lagi perawan -status yang sangat memojokkan perempuan, terlebih anak di bawah umur.

Mira mulai mengalami perundungan dan dijauhi teman-temannya. Mira memutuskan keluar dari sekolah, karena merasa sudah tak diterima lagi oleh murid-murid lain.

Lebih-lebih, Mira berasal dari keluarga miskin yang tinggal di sebuah pemukiman padat dan dikenal rawan kejahatan di Kota Bandung.

Ibunya bekerja di sebuah tempat jajanan dengan gaji yang minim. Bapaknya seorang supir ojek pangkalan. Bagaikan cerita di sinetron-sinetron murahan: masalah semakin parah karena bapaknya hobi berjudi, dan tentu selalu kalah sehingga meninggalkan hutang dimana-mana.

"Kadang gaji mama juga dipakai untuk bayar hutang bapak," ungkap Mira terisak. Dan kedua orangtuanya sering bertengkar

Sekeluar sekolah, seorang temannya yang ia panggil kakak menawari apa yang tampak seperti jalan keluar: bekerja sebagai pemandu lagu (PL) di sebuah tempat karaoke, tak jauh dari sebuah terminal bus. Tawaran itu segera diterima Mira yang saat itu baru berusia 14 tahun.

Mira sempat ketakutan saat melayani klien pertamanya. "Saya sama sekali tidak menduga harus menemani bapak-bapak, yang ternyata seorang polisi. Saya harus menemani dia bernyanyi selama tiga jam," katanya.

Di hari pertamanya kerja itu Mira mendapat bayaran Rp150.000.

Lambat laun, ia terbiasa. Dan selanjutnya, cukup mudah bagi Mira mendapat klien hingga akhirnya mendapat tiga orang gadun (pelanggan tetap): seorang polisi, aparat Satpol PP, dan orang 'biasa.'

Awalnya, tugasnya memandu lagu, menemani jalan-jalan dan minum-minum. Namun kemudian ia mulai dibujuk untuk memberi juga layanan seks. Istilahnya, BO -Booking Order.

"Asalnya dijebak teman. Katanya mau diajak jalan sama klien. Tapi ternyata dibawa ke apartemen," tuturnya.

Di apartemen itu, Mira dan temannya bertemu dengan tiga orang pria dewasa. Tadinya, Mira menolak lantaran hanya dipesan untuk menemani jalan-jalan. Namun, temannya terus membujuk dengan alasan "sudah terlanjur datang."

Akhirnya Mira menyerah, termakan bujukan temannya, "Lagi pula, saya sudah tidak perawan," pikirnya saat itu.

Mira hanya dibayar Rp 150 ribu untuk layanan seks pertamanya itu. Bayaran yang sama dengan tiga jam menemani klien bernyanyi. Mira mengeluh, merasa bayaran itu tidak sebanding.

Namun kerja seks berikutnya lebih mudah bagi Mira. Dan ia sudah bisa lebih pasti: untuk sekali transaksi ia dibayar Rp 700 ribu hingga Rp 800 ribu.

Dari uang itu, Mira bisa membantu membayar hutang bapaknya, cicilan motor, dan biaya sekolah kakak serta adik. Sebagian lagi, dipakai membiayai kebutuhan hidupnya.

Untuk menyamarkan pekerjaannya, Mira pindah dari rumah keluarganya, dan tinggal di kos. Kepada orangtuanya, Mira mengaku bekerja sebagai buruh pabrik di Subang.

Mira sempat menggantungkan harapannya pada seorang laki-laki yang membuatnya berhenti dari pekerjaan "kotornya" itu. Laki-laki yang mau membantu keuangan keluarganya. Tapi, beberapa kali, Mira mengalami kekerasan verbal dan fisik oleh sang pacar, yang kemudian dia tinggalkan.

"Harusnya menikah tahun ini, tapi 'kan udahan. Soalnya, baru tahu, makin ke sini, dia makin kasar. Gimana kalau rumah tangga," katanya.

Kini, Mira sedang menata kembali hidupnya. Beruntung, ia mendapatkan pekerjaan sebagai office girl di sebuah instansi pemerintahan. Gajinya tentu saja lebih kecil, tapi Mira mengaku senang. Ia juga giat mengikuti kursus tata rias sebagai jalan untuk meraih cita-citanya sebagai makeup artist.

Satu yang jadi harapan dia saat ini, membantu sang mama.

"Pikiran saya sekarang cuma pengen bantuin mama doang, soalnya mama yang terus kerja, enggak pernah ngeluh. Mama kerja apa juga tetap mau, asalkan itu baik buat keluarga," ungkap Mira. Air matanya berlinang.

Beberapa waktu lalu, Mira bertemu dengan Ade Jasti, aktivis Komite Anti-Pemiskinan (KAP) Indonesia yang mendampingi anak-anak yang mengalami situasi Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA).

Mira menjadi salah seorang anak dampingan Ade dan mengikuti sejumlah kegiatan, antara lain paduan suara, kursus tata rias, dan pendidikan kesehatan reproduksi. Mira kemudian mengetahui sesuatu yang tak pernah dibayangkan selama ini: penyakit menular seksual, juga HIV.

Dewi: takut tertular HIV, tapi tak ada jalan lagi

Tak seperti Mira, penampilan Dewi, bukan nama sebenarnya, tak beda dengan anak remaja pada umumnya. Wajahnya polos tanpa riasan. Sikapnya ceria yang sekaligus menampakkan keluguannya. Wajahnya selalu tersenyum memamerkan kawat gigi yang dipasang di rahang atasnya.

Melihat sosoknya, orang tidak akan menduga remaja putri ini telah "melayani" belasan bahkan puluhan pria dewasa. Sudah setahun ini Dewi menjadi pekerja seks komersial (PSK). Juga karena alasan klasik: kemiskinan.

Ayahnya seorang buruh bangunan, yang untuk mencukupi makan keluarga sehari-hari pun sering kesulitan. Dewi akhirnya keluar dari sebuah sekolah negeri favorit.

Awal kisahnya pun diwarnai kekerasan seksual sang pacar, seorang pemuda sekampung yang umurnya tiga tahun lebih tua. Si pacar melakukan berbagai tipu daya untuk memaksanya melakukan hubungan seks.

"Dia bilang aku pasti gak perawan. Padahal, aku masih perawan. Terus, pacar aku bilang, kamu sayang gak ke aku, kalau memang sayang, mau gak diperawanin sama aku, kalau kamu memang masih perawan," papar Dewi.

"Bodohnya, aku akhirnya mau," tutur Dewi pula menyungging senyum pahit.

Tetapi seks pertama itu ibarat menandatangani kontrak kekerasan yang berkepanjangan. Dewi jadi seakan tidak punya daya untuk lepas dari pacarnya, meski disiksa, dan dijadikan budak seks.

"Aku pernah disundut rokok," cerita Dewi.

Orang tua Dewi tak pernah tahu.

Betapa pun, setelah tak tahan disiksa dan dikhianati berulang kali, akhirnya berhasil meninggalkan pacarnya. Ia lalu memutuskan bekerja sebagai PL.

Seorang pemuda berusia 30 tahunan menjadi klien pertama Dewi bekerja sebagai PL. dengan bayaran Rp 150 ribu per jam. Bayarannya memang lebih mahal dari Mira, sebab Dewi harus mau digerayangi.

"Kalau dipegang-pegang, aku harus diam," ungkapnya lugu.

Tawaran BO tak lama datang. Mudah saja bagi Dewi menerima tawaran itu, mengingat kondisinya yang sedang butuh uang.

"Aku paling takut tertular HIV, tapi gak ada jalan lagi," kata sulung dari tiga bersaudara ini. Parahnya lagi, kebanyakan klien menolak memakai pengaman.

"Ada saja alasannya, gak mau pakai kondom," tutur Dewi.

Dalam sebulan, Dewi bisa mendapat 2-3 klien, baik PL atau pun BO. Sesekali, uangnya diberikan ke ibunya, tapi seringkali dipakai untuk kebutuhannya.

"Kalau ada temen ngajak mabok, ya uangnya dipakai beli minuman," kata Dewi yang merokok sejak kelas 4 SD ini.

Dewi kemudian bergabung dengan anak-anak dampingan KAP Indonesia. Sama seperti Mira, ia mengikuti berbagai kegiatan, termasuk mengikuti pendidikan kesehatan reproduksi remaja. Salah satu materinya tentang penyakit menular seksual. Namun hal itu belum cukup membuat Dewi berhenti dari pekerjaannya.

"Kalau aku dapat pekerjaan yang enak, enggak capek, aku mau berhenti," ujar Dewi yang sempat bercita-cita jadi PNS ini.

Dewi enggan memikirkan masa depannya. Dia hanya ingin menjalani saja kehidupannya saat ini.

Pola yang sama dan terus berulang

Mira dan Dewi adalah potret anak-anak yang dilacurkan di Kota Bandung. Ada pola kekerasan serupa yang dialami keduanya. Mulai dari kemiskinan, minimnya pendidikan seks dan kesehatan reproduksi, putus sekolah, kekerasan fisik dan seksual oleh pacar atau teman lelaki yang diawali tipu daya dan intimidasi, orangtua yang lalai, kemudian berujung ke eksploitasi seksual.

Pola itu tidak hanya ditemukan pada kasus Mira dan Dewi. Tapi juga sejumlah anak yang menjadi dampingan KAP Indonesia. Bahkan, pola itu terjadi pada sejumlah anak-anak dampingan Yayasan Bahtera di 2002 hingga 2014.

"Karena banyak pihak, termasuk pemerintah, yang abai terhadap isu eksploitasi seksual komersil anak (ESKA). Semua cenderung memandang persoalannya sangat berat, jadi sebaiknya tidak masuk ke persoalan itu," kata Direktur KAP Indonesia, Bambang Sundayana.

Ia mengatakan, ada yang membedakan antara anak-anak yang dilacurkan beberapa tahun ke belakang dengan tahun ini. Di tahun-tahun sebelumnya, sosok "mamih" atau mucikari masih berperan sebagai penghubung antara klien dan anak buahnya. Pada masa itu, banyak ditemukan pula kasus perdagangan orang.

Kini, klien bisa didapat melalui teman yang lebih dulu menjajal profesi tersebut. Proses "perekrutan" pun berawal dari ajakan teman. Sehingga, siapa pun, umur berapa pun, jika mau, bisa langsung bekerja sebagai PL atau menerima BO. Transaksi seks bisa terjadi tanpa peran "mamih".

Secara tak sadar, mereka membentuk jaringannya sendiri yang didasari pertemanan. Tidak heran, jika di antara mereka adalah teman dekat, tetangga, atau teman sekolah. Seperti, Mira dan Dewi yang merupakan teman satu sekolah.

Secara undang-undang, mereka semua masih anak-anak. Sehingga yang direkrut pun temannya yang juga anak-anak. Bahkan, ada anak yang usianya masih 12 tahun.

Koordinator Program KAP Indonesia, Anita Gayatri menyebutkan, pertemanan dan pergaulan menjadi pintu masuk ESKA.

"Ada peran teman juga yang mencari gadun dan atas permintaan anak juga untuk dicarikan gadun," kata Anita.

Saat ini, KAP Indonesia mendampingi sebanyak 200 anak yang mengalami ESKA, yakni anak-anak yang menjadi objek seksual. Dari jumlah itu, anak perempuan sebanyak 105 orang dan anak laki-laki 95 orang. Rentang umur mereka antara 12 hingga 18 tahun.

"Objek seksual itu tidak hanya hubungan seks tapi juga dalam bentuk pornografi anak. Bisa saja anak difoto, dikoleksi," kata Bambang.

"Mira dan Dewi sempat mengalami sakit akibat perilaku seks yang berisiko. Mira mengeluh rahimnya sakit, sedangkan Dewi sempat terjangkit Herpes.

Isu ini menjadi perhatian KAP Indonesia. KAP Indonesia menemukan, fenomena ESKA menggambarkan tingkat kerentanan anak pada sejumlah masalah, seperti situasi yang eksploitatif, terkena penyakit menular seksual, hingga terpapar HIV/Aids.

"Memang dalam proses pendampingan tidak ditemukan terlalu banyak HIV positif, tapi dari hampir 400 anak yang kami dampingi dari 2009-2014, saya bisa katakan 95 persen lebih mereka terkena penyakit menular seksual. Memang kasus HIV/Aids sangat kecil kalau tidak salah ada 2 atau 3 anak yang kena," kata Bambang.

Hal itu diketahui berdasarkan test VCT yang dilakukan terhadap anak-anak dampingan.

Di tahun ini, KAP Indonesia melakukan VCT terhadap anak-anak dampingan melalui Program Peduli Inklusi Sosial. Tujuannya untuk melihat sejauh mana anak-anak dampingan terpapar penyakit menular seksual. KAP Indonesia melihat tingginya penderita HIV/Aids di Kota Bandung, terutama di rentang usia produktif.

Anita mengaku, pihaknya terpaksa tidak melibatkan orangtua dalam pemeriksaan VCT lantaran banyak orangtua yang tidak mengetahui kondisi anaknya. Sementara si anak merahasiakan kondisi dirinya.

Padahal, untuk melakukan test VCT pada anak, harus ada persetujuan orangtua.

"Kami terpaksa mengalihkannya kepada para pendamping, karena sebagian besar orangtua tidak mengetahui anak-anaknya dalam kondisi rentan ESKA," ujar Anita.

Test VCT dilakukan bekerja sama dengan PKBI dan Klinik Mawar dengan cara mengambil sampel darah. Hasilnya, dari 39 anak yang diperiksa, semuanya negatif nonreaktif HIV.