Proses Cacat, Sertifikat Korporasi Pulau Pari Diminta Dicabut

Sabtu, 07 April 2018

Warga Pulau Pari berunjuk rasa menuntut pembatalan 120 sertifikat perusahaan di pulau itu, di Jakarta, 2017.

GILANGNEWS.COM - Koalisi Selamatkan Pulau Pari menilai penerbitan 120 sertifikat tanah di Pulau Pari bagi PT Bumipari Asri oleh Kantor Pertanahan Jakarta Utara cacat hukum. Ombudsman pun diminta menyatakan Kantor Pertanahan melakukan tindakan maladministrasi.

Perwakilan koalisi yang berasal dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Fatilda Hasibuan, mengatakan penerbitan sertifikat tanah ini melanggar beberapa peraturan. Sebab, penerbitan ini dilakukan tanpa ada pengukuran tanah dan verifikasi terhadap warga di Pulau Pari lebih dulu.

"Penerbitan ini dapat dinyatakan cacat hukum dan maladministrasi. Sangat bertentangan dengan hukum-hukum yang ada," ujar dia, di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Menteng Jakarta Pusat, Jumat (6/4).

Prosedur penerbitan sertifikat tanah itu sendiri ditentukan dalam Pasal 14 ayat 1 dan 2 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Penerbitan Tanah yakni tanpa melalui proses pengukuran, pemetaan serta tanpa pengumuman dan dokumen tidak resmi.

Menurut Fatilda, terdapat empat bukti pelanggaran hukum yang ditemukan dalam penerbitan sertifikat tanah. Pertama, BNP Jakarta Utara tidak melakukan pengukuran tanah di Pulau Pari.

Kedua, 120 sertifikat itu seluruhnya merupakan warga yang tinggal di luar Pulau Pari. Warga Pulau Pari tidak mengenali orang-orang tersebut.

Ketiga, Fatilda menyebut seolah ada monopoli penguasaan tanah Pulau Pari oleh PT. Bumipari Asri. Perusahaan tersebut selalu mengklaim penguasaan sekitar 37 ribu hektare dari 41,2 ribu hektare di tanah Pulau Pari.

Keempat, Fatilda menduga adanya penyelundupan hukum. PT Bumipari diduga ingin memiliki sertifikat hak milik pertanahan sementara Pasal 21 ayat 1 UUPA Nomor 5 tahun 1960 menyatakan hanya warga negara yang bisa memiliki hak milik. Oleh karena itu tidak memungkinkan perseroan terbatas memiliki sertifikat hak milik atas tanah.

"Salah satu saja dari keempat ini terpenuhi, maka pernyataan maladministrasi harus dilakukan Ombudsman. Sebab berdasarkan bukti-bukti yang ada telah ditemukan fakta yang tak terbantahkan bahwa prosedur penerbitan sertifikat perusahaan sangat janggal dan bertentangan dengan hukum," kata Fatilda.

Lebih lanjut, Ketua RT 01 Rw 04 Kelurahan Pulau Pari, Edy Mulyono, juga berharap agar LAHP yang akan dirilis Senin (9/4) nanti bisa memberi keadilan bagi warga Pulau Pari. Edi menyebut laporan kejanggalan sertifikat tanah ini sudah dilaporkan ke Ombudsman sejak Maret 2017.

Ia juga meminta agar Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan segera mengambil sikap untuk menjamin hak tinggal dan kelola pulau yang telah mereka tinggali selama empat generasi ini. Sebab 90 persen tanah di Pulau Pari telah diklaim oleh PT Bumipari Asri.

Oleh karena itu, Edy meminta agar sertifikat tanah yang telah terbit segera dicabut Kantor Pertanahan Jakarta Utara.

Dalam dua tahun terakhir, diketahui lima orang warga Pulau Pari menjadi terdakwa karena dituduh melakukan tindak pidana penyerobotan tanah dan pengelolaan pantai secara ilegal. Sampai saat ini, Edy menyebut PT Bumipari Asri masih terus melakukan somasi nelayan dengan ancaman pidana.

"Hak tinggal dan kelola swadaya kami telah terancam. Banyak warga kami, termasuk saya yang menjadi terdakwa di sidang terkait somasi oleh PT Bumipari Asri. Kami sudah lelah, kami minta Gubernur [DKI Anies Baswedan] segera ambil sikap. Kalau tidak, makin banyak warga menjadi korban," tandas Edy.