Sidang korupsi E-KTP: Setya Novanto tak lagi sebut Puan Maharani dan Pramono Anung

Jumat, 13 April 2018

GILANGNEWS.COM - Dalam pembelaan pribadi kasus e-KTP, Setya Novanto mengatakan, terlepas dari pandangan apapun, ada 'sedikit yang bisa dikenang' dari dirinya, khususnya yang ia lakukan saat kunjungan Raja Salman beberapa waktu lalu.

Kali ini Setya Novanto tak lagi menyebut nama Puan Maharani dan Pramono Anung, dua politikus PDIP yang sekarang menjabat menteri, yang dalam sidang terdahulu ia katakan mendapat aliran uang US$500.000 yang didengarnya dari pengusaha Made Oka Masagung.

Ia membantah semua dakwaan jaksa tentang perannya dalam korupsi e-KTP.

Ia mengaku bertemu sejumlah pengusaha terkait E-KTP, termasuk Andy Narogong dan Johanes Marliem yang kemudian tewas di Amerika. Pertemuan pertama berlangsun di sebuah hotel, disusul beberapa pertemuan lain di rumahnya. Namun ia mengaku tak pernah menindak-lanjuti permintaan mereka untuk mempengaruhi pengambilan keputusan di DPR terkait proyek e-KTP.

Bahwa ia mengembalikan uang sebesar Rp5 miliar ke KPK, katanya, itu sebagai tangung jawab atas perbuatan keponakannya, Irvanto Hendra Pambudi, yang menerima uang Rp5 miliar dari Andi Narogong dan sebagian diserahkan kepada sejumlah anggota Komisi II DPR.

"Waktu itu sebagai Bendahara Partai Golkar dan sebagai paman, saya merasa bertanggung -jawab.," kata Setya Novanto.

"Saya punya keyakinan bahwa Irvanto tidak akan mempu mengembalikan uang itu, maka dengan sukarela saya ambil alih dan mengembalikan uang Rp5 miliar itu ke rekening penampungan KPKJ," kata Setya Novanto.

Di bagian lain, Setya Novanto mengatakan bahwa terlepas dari 'cap koruptor dan pencuri uang rakyat' yang terlanjur menempel, ia merasa 'setidaknya ada hal-hal positif yang saya tinggalkan untuk dikenang oleh rakyat Indonesia.' Khususnya apa yang menurutnya sebagai keberhasilannya saat kunjungan Raja Salman dari Arab Saudi, tahun lalu.

"Dalam kunjungan Raja Salman ke DPR, saya meminta penambahan kuota haji, yang kemudian disetujui Raja Salman," katanya.

Ia juga memapar keberhasilannya 'menyelamatkan' Partai Golkar yang sebelumnya terpecah.

Dalam persidangan sebelumnya, jaksa menuntut hukuman penjara 16 tahun bagi Setya Novanto, pencabutan hak politik selama lima tahun, dan denda Rp1 miliar dan pengembalian uang US$7,3 juta dan menolak permintaannya untuk mendapat status 'justice collaborator.'

Setya Novanto menyampaikan pembelaan pribadi ini, sebelum pembelaan hukum yang disampaikan tim pengacaranya, dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (13/4).

Di ujung pembelaannya, Setya Novanto sempat tersedu-sedan beberapa kali, saat menyebut isteri dan anak-anaknya.

Setya Novanto memapar berbagai bantahannya terhadap dakwaan jaksa, dan menyangkal terlibat dalam korupsi itu, dan justru menyalahkan Kementerian Dalam Negeri.

Dalam sidang terdahulu, Setya Novanto menyebut sejumlah nama yang disebutnya menerima aliran dana korupsi KTP Elektronik. Ia bahkan menyebut Puan Maharani dan Pramono Anung turut menerima aliran dana sebesa masing-masing $500.000 AS, kendati ia menyebut hanya mengetahuinya berdasarkan penuturan pengusaha Made Oka Masagung dan Andi Narogong menemuinya di rumahnya

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani saat itu menjabat sebagai Ketua Fraksi PDIP di DPR, sementara Sekretaris Kabinet Pramono Anung saat itu adalah anggota DPR.

Baik Puan Maharani maupun Pramono Anung membantah mentah-mentah pernyataan Setya Novanto, yang mereka sebut sebagai akal-akalan belaka untuk mendapat status 'justice collaborator,' agar mendapat tuntutan hukum ringan.

Pengacara Setya Novanto berkali-kali menyatakan perlunya jaksa memberi status justice collaborator itu. Sementara jaksa dan KPK menganggap, selama ini Setya Novanto tidak sungguh-sungguh untuk membongkar lebih jauh kasus itu. Itu ditunjukan dengan berbagai manuver Setya Novanto untuk menghindari hukum.

Setya Novanto didakwa secara bersama-sama melakukan perbuatan tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp2,3 trilliun dalam proyek pengadaan KTP Elektronik pada tahun anggaran 2011-2013.

Mantan ketua umum Golkar ini dianggap memiliki pengaruh untuk meloloskan jumlah anggaran KTP Elektronik ketika dibahas di Komisi II DPR RI pada 2011-2012.

KPK pernah beberapa kali memberikan status justice collaborator kepada terdakwa kasus korupsi, mantan anggota DPR dari Fraksi PDIP Agus Tjondro Prayitno dalam kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004 lalu.

Agus divonis bersalah namun mendapat pembebasan bersyarat.

Selain itu terdakwa kasus dugaan korupsi yang mendapat status justice collaborator adalah mantan anggota DPR serta bendahara partai Demokrat, Nazarudin dan mantan anggota DPR, Damayanti Wisnu Putranti.