Selain upah, ini daftar ketidakadilan pada buruh penghasil emas hijau Indonesia

Ahad, 29 April 2018

Ilustrasi Pekerja kelapa sawit.

GILANGNEWS.COM - Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (Serbundo), Natal Sidabutar, mengungkapkan masih banyaknya masalah yang membelit jutaan buruh sawit di Indonesia. Burus sawit saat ini dikungkung dan diforsir untuk memproduksi 'emas hijau' Indonesia yang sangat bernilai.

Lembar Fakta Buruh Sawit 2018 yang dirilis Koalisi Buruh Sawit awal 2018 mengungkapkan dua permasalahan utama yang dihadapi buruh sawit yaitu terkait penegakan hukum yang lemah. Sebab, adanya pembiaran terjadinya eksploitasi buruh sawit akibat dari target kerja terlampau tinggi dan tidak manusiawi.

"Dan minimnya perlindungan terhadap kesehatan dan keselamatan kerja, diskriminasi terhadap buruh perempuan juga keberadaan pekerja anak," kata Natal dalam sebuah acara diskusi, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (29/4).

Selain itu, status pekerja buruh sawit juga tidak memiliki kejelasan. Banyak tenaga kerja yang bersifat tidak tetap sehingga keselamatannya tidak menjadi tanggungan perusahaan.

"Kita memandang pekerjaan itu sifatnya menetap, sifatnya pekerjaan yang berhubungan dengan produksi. Tetapi kawan-kawan buruh itu sering dipekerjakan sebagai Buruh Harian Lepas (BHL)," ujarnya.

Tidak hanya itu, praktik upah murah yang melanggar ketentuan upah minimum juga masih terjadi di kalangan buruh sawit. "Di samping status kerja juga ada persoalan upah yang sebenarnya persoalan upah ini jika diterapkan dengan diperbandingkan dengan jumlah kalori yang dikeluarkan oleh buruh di perkebunan. Itu sangat tidak mencukupi untk mengganti kalori yang sudah dikeluarkan oleh kawan-kawan buruh di perkebunan," ujarnya.

Natal mengungkapkan, kebebasan berserikat juga masih menjadi barang langka. Saat ini serikat buruh independen masih mengalami pemberangusan dan intimidasi dari pengusaha. Pembarangusan tersebut dilakukan dengan berbagai macam pola seperti kriminalisasi terhadap pengurus serikat buruh, pemutusan hubungan kerja (PHK), mutasi hingga intervensi atau ancaman kepada anggota keluarga aktivis serikat buruh.

"Hal itu disebabkan ketiadaan peraturan khusus yang menjamin hak-hak buruh sawit."

Selama ini jaminan perlindungan yang ada dalam undang-undang ketenagakerjaan UU No. 13/2003 dinilai gagal memberikan perlindungan pada buruh sawit karena landasan kriteria UU Ketenagakerjaan adalah sektor manufaktur.

"Contohnya jam kerja, beban kerja (3.000 kalori/ hari), peralatan kerja, dan ketersediaan teknologi. Sifat pekerjaan di perkebunan sama sekali berbeda, dimulai dengan kebutuhan kalorinya yang jauh lebih tinggi dan penerapan beban kerja yang tidak bisa hanya ditetapkan berdasarkan waktu kerja. Saat ini, kebutuhan perlindungan hak pekerja di sektor pertanian/perkebunan sungguh sangat mendesak."

Menurut Menteri Tenaga Kerja, Hanif Dhakiri, pada tahun 2016 ada sekitar 10 juta orang bekerja di sektor perkebunan kelapa sawit. LSM Sawit Watch memperkirakan setidaknya 70 persen buruh sawit adalah buruh harian lepas, yaitu pekerja yang tidak memiliki kepastian kerja, penghasilan maupun masa depan.

"Kini dalam konteks sawit sebagai komoditas ekspor, keberadaan buruh sawit diabaikan. Setidaknya hal ini terlihat dalam dua dokumen yang diluncurkan Parlemen Uni Eropa (UE), didalamnya sama sekali tidak menyinggung mengenai permasalahan perburuhan di perkebunan kelapa sawit."

Dia menjelaskan, dalam resolusi parlemen UE di awal 2018 yang berjudul Palm Oil and Deforestation of the Rainforests (Kelapa Sawit dan Deforestasi Hutan Tropis), mereka menuding bahwa pengembangan industri kelapa sawit menjadi penyebab utama deforestasi dan perubahan cuaca.

Selanjutnya, UE bersepakat menyetujui proposal Renewable Energy Directive (RED) II. Proposal tersebut akan mengeluarkan penggunaan biodiesel yang terbuat dari minyak sawit di mana salah satu produsen terbesarnya adalah Indonesia. Peraturan tersebut direncanakan mulai berlaku pada 2021, sehingga minyak sawit tidak lagi digunakan dalam campuran biodiesel di Eropa karena penggunaannya untuk bahan makanan.

"Hal ini jelas bahwa keputusan UE bukan saja akan memperburuk kehidupan buruh tetapi juga tidak berkontribusi terhadap perbaikan kondisi kerja di perkebunan kelapa sawit Indonesia."

Setali tiga uang dengan parlemen UE, pemerintah Indonesia juga absen dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak buruh sawit, meskipun diketahui banyak terjadi pelanggaran hak asasi manusia dan hak buruh di perkebunan kelapa sawit Indonesia. "Pemerintah, melalui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan getol membela sawit Indonesia dan melakukan lobi-lobi tekanan ke parlemen UE bahkan sampai ke Vatikan."