'Badai' Keluarga Sepeninggal Ismail Marzuki

Sabtu, 26 Mei 2018

Foto Ismail Marzuki dengan istrinya, Eulis Zuraida.

GILANGNEWS.COM - "Nanti kalau saya sudah tidak ada, saya menyimpan sesuatu di kolong tempat tidur," kata Ismail Marzuki kepada istrinya, Eulis Zuraida, suatu hari di April 1958.

Anak semata wayang Ismail Marzuki, Rachmi Aziah masih ingat cerita ibunya, Eulis yang mengisahkan pesan Ismail tersebut, saat CNNIndonesia.com berkunjung menemuinya di rumah dia di Perum Bappenas Kedaung Sawangan, Depok, Mei 2018.

Ismail benar berpulang sebulan setelah menitip pesan pada istrinya. Namun Eulis sang istri baru mengisahkan 'pesan terakhir' suaminya beberapa waktu setelah Ismail meninggal dunia, 25 Mei 1958.

Rachmi masih delapan tahun kala ditinggal Aa, panggilan akrab Ismail di rumah. Ia pun hidup sebagai yatim bersama ibunya, Eulis yang akrab disapa Uu.

Eulis tadinya sudah melupakan ucapan Ismail tersebut. Namun selepas hidup tanpa Ismail, Eulis mulai sulit memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari hingga ia teringat pesan mendiang suaminya.

Penasaran, Eulis pun menengok bawah ranjang seperti yang diceritakan Ismail.

Tak disangka, Eulis menemukan ubin 60 x 30 centimeter yang longgar dan ketika dibuka terdapat sebuah lubang dengan kaleng di dalamnya. Kaleng itu berisi kalung, liontin, cincin, dan gelang emas.

"Itu dibongkar oleh Uu, dan ternyata benar ada," kata Rachmi untuk pertama kalinya mengisahkan hal itu kepada wartawan.

"[Pesan] itu disampaikan Aa sebulan sebelum meninggal. Waktu diberitahu, tidak langsung dicek [oleh Eulis]," lanjutnya. "Enggak tahu kapan dibikin," katanya.

'Harta karun' itu pun sanggup membantu perekonomian Eulis dan Rachmi. Eulis mengelola hasil penjualan perhiasan itu sebaik mungkin agar bisa bersintas sepeninggal Ismail.

Cukup tak cukup, hidup harus tetap berjalan.

Pucuk dicita ulam pun tiba, kala itu ada penerbit buku yang datang ke rumah Ismail di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Mereka meminta izin hak mengumumkan (performing right) atas karya Ismail Marzuki dengan memberikan royalti.

"Saya baru tahu kalau orang mau menggunakan lagu ternyata harus bayar. Sejak itu saya ke toko buku untuk melacak buku yang memuat lagu Ismail tapi belum mengantongi izin," kata Rachmi.

Rachmi menyurati sejumlah penerbit buku yang belum mengantongi izin. Ada penerbit yang membayar royalti, ada penerbit yang tidak membayar.

Bahkan mereka sampai berdebat panjang untuk menanyakan keabsahan ahli waris Ismail.

Eulis dan Rachmi menjadikan itu sebagai pelajaran berharga. Tak lama setelah itu mereka mengurus administrasi hukum ke notaris agar menjadi ahli waris Ismail Marzuki yang sah.

Kemudian pada Maret 1991, Rachmi memberikan kuasa lagu Ismail pada Yayasan Karya Cipta Indonesia yang saat ini bernama Karya Cipta Indonesia.

"Kami kalau nuntut terus ke pemerintah kayak ngemis banget dan malu. Saya bilang ke ibu untuk terima apa adanya," kata Rachmi.

Namun pada 1991, Rachmi sempat mengirim surat ke Taman Ismail Marzuki (TIM) untuk meminta bantuan atas kondisi ekonomi keluarganya kala itu.

Usaha itu berbuah manis lantaran TIM bersedia memberi bantuan sebesar Rp100 ribu per bulan dan mengalami penyesuaian setiap ada pengajuan.

"Dalam perjanjian, tertulis bantuan berlangsung selama Eulis masih ada. Setelah [Eulis] meninggal [pada 2001] ya bantuan itu putus," kata Rachmi.

Beruntung, Ismail Marzuki ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 10 November 2004. Pemberian gelar tersebut membantu kehidupan Rachmi dan keluarganya hingga kini.

Kala itu, pemerintah melalui Kementerian Sosial memiliki program memberikan bantuan kepada keluarga pahlawan nasional sebesar Rp1,5 juta per bulan. Bantuan itu kemudian naik menjadi Rp50 juta per tahun sejak 2013.

"Uang itu saya pakai untuk bayar utang, sisanya buat modal usaha."

Menjaga Barang Peninggalan Ismail

Bukan hanya meninggalkan rumah dan perhiasan, Ismail juga mewariskan sejumlah alat musik dan partitur dari karyanya. Semua itu dijaga oleh keluarga sebaik mungkin.

Namun sebagian peninggalan Ismail Marzuki juga diberikan kepada Taman Ismail Marzuki untuk disimpan. Barang-barang tersebut adalah biola, akordeon, jam, dan sejumlah partitur lagu.

Kini Rachmi hanya menyimpan plakat dan sertifikat penghargaan Ismail, serta beberapa partitur.

Setiap sertifikat terpampang rapi dengan pigura di dinding ruang tamu, termasuk sertifikat penghagaan Ismail sebagai pahlawan nasional.

Rachmi mengatakan, sebisa mungkin, ia tak ingin menjual barang peninggalan ayahnya lantaran nilai memori yang ada di dalamnya.

Namun Rachmi dan Eulis sebelumnya sempat menjual rumah mereka yang terletak di Kampung Bali, Tanah Abang, pada pertengahan dekade '90-an.

Selain untuk membantu kelangsungan ekonomi yang kala itu tengah dilanda krisis, ada alasan personal yang membuat keduanya memutuskan melepas rumah penuh kenangan itu.

Usai ditinggal sang suami pada 1958, Eulis disebut Rachmi bak kehilangan pegangan hidup.

"Sudah enggak ada suami seperti orang ling-lung, saya sebagai anak [kala itu] juga bingung mau menolong bagaimana," kata Rachmi.

"Rumah yang di Kampung Bali akhirnya dijual, saya dan ibu pindah ke Dayeuhkolot, Bandung. Ia ingin kembali ke tanah kelahirannya," kata Rachmi.

Namun Rachmi tak lama tinggal di Bandung. Ia kemudian hijrah kembali ke Jakarta dan tinggal di kerabat dari keluarga besar Ismail Marzuki.

Ternyata Rachmi tak tega meninggalkan ibunya di Bandung. Pada 1998, usai dirinya menempati rumah di kawasan Sawangan, Rachmi membujuk Eulis untuk ikut dirinya.

Eulis akhirnya luluh dan memutuskan menghabiskan masa senjanya bersama anak semata wayangnya itu. Eulis meninggal 8 Agustus 2001 dan dimakamkan di samping pusara sang suami di TPU Karet Bivak.

"Ibu pesan supaya saya baik-baik sama keluarga dan minta menjaga cucu agar tidak terlalu bebas pergaulan," kata Rachmi.