Perlukah pengawasan atas mahasiswa untuk mencegah terorisme?

Senin, 04 Juni 2018

Polisi menyebut tiga alumnus UNRI menginap di mes mahasiswa dan menyimpan peralatan teror di ruang kemahasiswaan.

GILANGNEWS.COM - Pengelola perguruan tinggi diminta untuk merancang sistem pengawasan yang tepat dalam mendeteksi penyebaran radikalisme atau aktivitas terorisme di kalangan mahasiswa.

Metode pengawasan terhadap mahasiswa dipertanyakan setelah Densus 88 menangkap tiga alumnus Universitas Riau (UNRI), yang diduga merakit empat bom untuk peledakan sejumlah tempat, termasuk gedung DPR di Jakarta.

"Mahasiswa tidak bisa ditekan secara represif," kata Edy Suandi Hamid, pakar pendidikan sekaligus mantan Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Indonesia, Minggu (03/06).

"Pencegahan seharusnya melalui cara yang edukatif yang dilakukan sejak awal, misalnya pembekalan bernuansa toleransi saat mereka masih berstatus mahasiswa baru," jelasnya kepada wartawan BBC News Indonesia, Abraham Utama.

Edy menanggapi kerja sama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan sejumlah universitas untuk memantau kegiatan mahasiswa, terutama Lembaga Dakwah Kampus (LDK).

Menurutnya, perguruan tinggi seharusnya mengedepankan upaya preventif untuk mencegah mahasiswa terlibat kegiatan terorisme karena pengawasan yang berlebihan berpotensi melanggar kebebasan berpikir peserta didik.

"Harus ada dialog terbuka antara lembaga kemahasiswaan dan universitas agar mereka tidak merasa diintervensi. Mereka sudah dewasa dan sudah sepatutnya mempunyai filter sendiri," tegas Edy.

Sebuah jajak pendapat yang dilakukan BNPT tahun 2017 lalu memperlihatkan 39% mahasiswa di 15 provinsi tertarik pada paham radikal dan Riau termasuk dalam 15 daerah yang dikaji.

Beberapa provinsi lainnya adalah Jawa Barat, Lampung, Banten, Sulawesi Tenggara, dan Kalimantan Tengah.

Dalam pantauan media lokal di Riau, April tahun lalu mahasiswa UNRI bernama Cahyono secara terang-terangan menolak kerja sama dengan BNPT maupun kampus serta mempertanyakan pengawasan terhadap LDK.

"Apakah BNPT menganggap LDK sebagai tempat pembibitan teroris?" ujar Cahyono kala itu.

Direktur Deradikalisasi BPNT, Irfan Idris, menyebut pengawasan radikalisme di perguruan tinggi belum maksimal, meski sejumlah kajian menunjukkan adanya bibit teror di kampus.

"Pelibatan Kemenristek Dikti ada dalam sinergitas kelembagaan tapi belum sampai pada level kampus, baru di tingkat kementerian atau kepala. Saat ini rencana aksi baru difinalisasi," kata Irfan.

Menurut Irfan, pengawasan radikalisme di kampus justru bergantung pada civitas academica, dari rektor, dekan, dosen, pegawai hingga mahasiswa.

"BNPT, TNI, dan Polri tidak cukup. Karena terorisme adalah kejahatan luar biasa, seluruh komponen harus waspada terhadap setiap kegiatan di sudut-sudut kampus," ucapnya.

Sebelumnya, Rektor UNRI, Aras Mulyadi, mengklaim tak pernah mencium gelagat radikalisme di kampusnya dan mengaku kaget ketika Densus menciduk tiga orang serta menemukan bom maupun senjata di lingkungan UNRI.

"Tidak ada hal mencurigakan selama ini, apalagi kejadian yang mengarah ke terorisme," tutur Aras.

Ketidaktahuan pihak universitas, menurut Edy Suandi, tidak bisa menjadi alasan bagi pemerintah untuk menjatuhkan sanksi kepada rektor atau pengelola kampus mengingat terorisme sukar disadari warga sipil seperti pengelola lembaga pendidikan.

"Pihak yang mengancam teror, terkadang intel saja bisa tidak mengetahui. Apakah Ketua BIN lantas dihukum? Kan tidak."

"Tapi perguruan tinggi memang harus berhati-hati, walau tak pantas dihukum, kecuali mereka tahu tapi mendiamkan," kata Edy.

Merujuk keterangan Kadiv Humas Polri, Irjen Setyo Wasisto, seorang alumnus UNRI yang ditangkap, berinisial MNZ, diduga berjejaring dengan kelompok teror Jemaah Ansharut Daulah yang dipimpin Aman Abdurrahman.

MNZ, kata Setyo, mengaku kepada Densus 88 pernah menerima pesanan merakit bom dari pelaku penyerangan kantor Polda Riau pada pertengahan Mei lalu. Serangan itu menewaskan seorang polisi.

"MNZ alias Zam-Zam terkait tersangka terorisme atas nama Pak Ngah. Pak Ngah dan kelompoknya pernah memesan bom kepada yang bersangkutan," ujar Setyo.

Minggu malam polisi sudah menetapkan MNZ menjadi tersangka sementara dua alumnus UNRI lainnya diperiksa sebagai saksi.