BPJS Kesehatan 'disemprot' Jokowi: Apa yang sesungguhnya terjadi?

Jumat, 19 Oktober 2018

GILANGNEWS.COM - Presiden Joko Widodo meminta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan memperbaiki sistem manajemen agar tak terus-menerus mengalami defisit keuangan saban tahun.

Teguran Jokowi itu dilontarkan menyusul besarnya tunggakan BPJS Kesehatan kepada rumah sakit, meski telah memberikan talangan sebesar Rp4,9 triliun.

Hanya saja menurut Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, kesalahan tak sepenuhnya di tangan direksi BPJS Kesehatan. Seretnya dana pembiayaan kesehatan itu terjadi karena "pemerintah menunda kenaikan iuran kepesertaan".

Saat ini iuran peserta BPJS Kesehatan hanya Rp23.000 per bulan, padahal kalau merujuk pada hitungan para akademisi nilai aktuaria (risiko keuangan) harus di kisaran Rp36.000.

Angka tersebut sejalan dengan rekomendasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ketika beraudiensi dengan Presiden Jokowi pada akhir September lalu.

"Sebetulnya Presiden harus melihat secara umum, karena persoalan ini dikontribusikan juga oleh pemerintah pusat. Iuran yang tak naik di tahun 2018. Padahal amanat Perpres 111/2013 mengatakan paling lambat dua tahun iuran harus dievaluasi," ujar Timboel Siregar.

"Kalau iuran tidak naik, dari mana mereka bisa menyelesaikan pembayaran kesehatan ke rumah sakit?" sambungnya.

BPJS Watch mencatat, jika iuran naik menjadi Rp27.000 maka kas BPJS Kesehatan bisa bertambah Rp4,5 triliun. Sementara kalau memasang angka Rp30.000, besaran uang yang bisa disimpan sebesar Rp9 triliun.

"Jadi harusnya tetap ada kenaikan. Tidak meski ideal memang, tapi jangan tidak naik."

Persoalan lain, tingkat kepesertaan BPJS Kesehatan yang rendah ketimbang BPJS Ketenagakerjaan. Berdasarkan catatannya, jumlah pekerja swasta baru 12,7 juta orang atau selisih 2 juta.

Menurut dia, rendahnya kepesertaan itu disebabkan tak ada koordinasi antarlembaga.

"Harusnya ada sinkronisasi data. Tapi kenapa tak bisa dikejar? Saya tak mau bilang BPJS Kesehatan malas, tapi kinerjanya memang buruk," ujarnya.

"Dan poin ketiga, BPJS Kesehatan tidak mampu menciptakan sebuah sistem yang bisa memaksa peserta mandiri membayar tunggakan iurannya. Teknis, tapi strategis dalam meningkatkan keuangan," jelasnya.

Defisit keuangan BPJS Kesehatan ini sudah terjadi sejak 2014 dan nilainya terus membengkak. Pada 2014 sebesar Rp3,3 triliun dan tahun berikutnya mencapai Rp5,7 triliun.

Kemudian di 2016, selisih pemasukan yang mesti ditanggung BPJS Kesehatan Rp9,7 triliun dan terus membesar hingga Rp12 triliun pada 2018.

Belakangan pemerintah memutuskan menyuntikkan dana talangan dengan memakai pajak rokok daerah.

Dalam skema Kementerian Keuangan, pemerintah akan mengambil alih 75% dari dana bagi hasil cukai hasil tembakau yang setiap tahun disalurkan dan menjadi hak pemerintah daerah.

"Makanya ke depan, evaluasi di jajaran direksi BPJS Kesehatan harus dilakukan tiap tahun dan tertulis. Kalau tidak mampu, Presiden bisa mengganti. Ini yang tak terjadi," kata Timboel.

Menjawab permasalahan ini, seperti dikutip Kompas, juru bicara BPJS Kesehatan, Iqbal Ma'ruf, mengatakan pihaknya sudah pernah menawarkan kenaikan iuran. Namun usulan tersebut ditolak Presiden Jokowi.

BPJS Kesehatan juga akan berupaya menghindari kerugian keuangan. Salah satu caranya dengan menata sistem rujukan hingga mengendalikan biaya pelayanan kesehatan yang tidak efisien.

Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Sigit Priohutomo, mendukung upaya BPJS Kesehatan menata manajemennya. Terutama merancang sistem secara online yang bisa dipantau oleh mitra kerja semisal Kementerian Kesehatan dan DJSN.

"Sejak lama yang diminta sistem manajemennya. Kan tidak mahal. Yang mahal itu komitmen," ujarnya.

Masih terkait dengan manajemen, hal lain yang harus dibenahi adalah sistem kepesertaan. Dimana publik bisa mengetahui keaktifan mereka membayar iuran.

Harapannya pemerintah bisa ikut memantau berapa banyak tunggakan iuran yang harus ditagih. Tak hanya itu, rumah sakit juga bisa menolak melayani calon pasien yang tak membayar kewajibannya.

"Yang menunggak itu menumpuk. Catatan saya ada 17 juta orang menunggak membayar. Coba kalau mereka membayar, pemasukan pasti besar."

"Sistem pendaftaran juga susah. Mau membayar juga susah. Akhirnya banyak yang tidak membayar. Jadinya numpuk. Ini kan persoalan manajemen," jelasnya.

Jika penataan manajemen itu dilakukan sejak awal, Sigit meyakini defisit keuangan BPJS Kesehatan bisa diperkecil.

"Kami siap bantu, tapi BPJS juga harus membuka diri dengan stakeholder," kata Sigit.