Kerumitan masalah Papua di balik penembakan di Nduga

Rabu, 05 Desember 2018

Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono, memperlihatkan proyek jalan Trans Papua.

GILANGNEWS.COM - Peristiwa penembakan terhadap sejumlah pekerja proyek pembangunan jembatan di Kabupaten Nduga, Provinsi Papua, yang disebutkan dilakukan oleh kelompok bersenjata yang terkait dengan Organisasi Papua Merdeka tak bisa langsung dikaitkan dengan persoalan politik, kata pengamat.

Kepada Heyder Affan dari BBC News Indonesia, Selasa (04/12) pagi, juru bicara Kodam XVII Cenderawasih menyebut pelaku penembakan sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), yang dikaitkan dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Bahkan, Menteri Pertahanan dan Keamanan Ryamizard Ryacudu menyebut, pelakunya "bukan kelompok kriminal tapi pemberontak."

Dalam keterangan kepada para wartawan di Jakarta, M Iqbal selaku Kepala Divisi Humas Mabes Polri, mengatakan motif para pelaku "belum jelas".

"Polri dan TNI akan mengejar, melakukan tindakan tegas terhadap kelompok-kelompok ini," cetusnya.

Secara terpisah, Waka Pendam XVII/Cenderawasih, Letkol Inf Dax Sianturi menyatakan telah diberangkatkan personel gabungan TNI/Polri sebanyak 150 orang untuk melakukan pengejaran.

Pembangunan Trans Papua

Berdasarkan keterangan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono, penembakan dilakukan terhadap pekerja pembangunan Jembatan Kali Aorak dan Jembatan Kali Yigi di Distrik Yigi, Kabupaten Nduga, Provinsi Papua.

Kedua jembatan merupakan bagian dari Trans Papua segmen 5 yang menghubungkan Wamena-Mumugu dengan panjang 278,6 km.

"Dengan kejadian ini, seluruh kegiatan kami hentikan," ujar Basuki, yang menurutnya telah mencapai kemajuan sebanyak 72%.

Padahal, menurutnya, tidak ada resistensi masyarakat dalam proyek pembangunan Trans Papua.

"Tidak ada warga yang menolak pembangunan Trans Papua ini. Ini dilakukan kelompok bersenjata. Tapi kalau warganya sendiri, semua sangat menerima pembangunan infrastruktur konektivitas ini," imbuhnya.

Klaim pemerintah bahwa proyek infrastruktur di Papua mendapat dukungan masyarakat Papua ditepis Ones Suhuniap selaku juru bicara Komite Nasional Papua Barat—kelompok yang mendukung aspirasi Papua memisahkan diri dari Indonesia.

Ones mengklaim selama referendum Papua tidak dilaksanakan, akan ada selalu elemen dari masyarakat Papua yang menempuh jalan kekerasan.

"Supaya tidak ada pembunuhan, pembangunan bisa jalan mulus, untuk mengakhiri konflik berkepanjangan, kami menawarkan referendum. Supaya rakyat Papua menentukan haknya, apakah mau tetap dengan Indonesia atau mau merdeka," kata Ones.

Masalah pelik
Bagaimanapun, terlalu dini untuk menyatakan bahwa peristiwa penembakan di Kabupaten Nduga terkait dengan ideologi dan politik.

"Kalau bicara ideologi Papua merdeka itu kan basisnya banyak di Pegunungan Tengah. Tapi kan juga tidak serta-merta semua kejadian dikaitkan dengan persoalan ideologis," kata peneliti kajian Papua di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth.

"Apakah kita semua paham budaya Papua, misalnya? Tension, perselisihan, itu kan mulainya dari yang hal-hal sederhana. Yang untuk kita bukan masalah, untuk orang lain masalah," imbuhnya, merujuk pemberitaan yang menyebutkan para pekerja yang meninggal dunia merupakan orang-orang luar Papua.

Soal pembangunan infrastruktur, menurutnya, boleh jadi punya andil dalam masalah.

"Apa sih pengaruh dari pembangunan itu kepada perubahan sosial? Kemudian ada isu-isu lainnya. Kecenderungannya di Papua ada sebuah isu yang terkait isu lain. Jadi tidak selalu isu itu berdiri sendiri," ujarnya.

Karena persoalan-persoalan di Papua pelik, Adriana menyarankan agar semua pemangku kepentingan—termasuk pemerintah dan kelompok pro-Papua merdeka—duduk bersama menyelesaikannya.

"Kita selalu konsisten mengatakan perlunya duduk bersama, kita bicara. Apa sih yang dimaksud pemerintah terhadap Papua dan Papua memahaminya seperti apa?"

Jumlah korban peristiwa penembakan di Kabupaten Nduga hingga saat ini masih beum dapat dipastikan. Juru bicara Kodam Cenderawasih menyebut antara 24 hingga 31 pekerja pendatang telah meninggal dunia.

Jumlah ini, menurut pegiat Human Rights Watch, Andreas Harsono, merupakan korban sipil terbanyak di Papua sejak 20 tahun terakhir.