Persija vs Persib: Yel Kebencian Bisa Jadi Bom Waktu

Rabu, 10 Juli 2019

Pengamat sosial menilai yel kebencian harus segera dihentikan karena akan menjadi bom waktu.

GILANGNEWS.COM - Ujaran kebencian yang kerap terlontar dari suporter Persija Jakarta maupun Persib Bandung tak bisa lagi dianggap lumrah. Budaya ini bisa memicu bom waktu bagi seseorang untuk berperilaku destruktif.

Demikian diungkapkan Pengamat Sosial Vokasi UI, Devie Rahmawati, yang dihubungi media, belum lama ini.

Devie menilai, perseteruan The Jakmania (suporter Persija) dan Viking -komunitas pendukung Persib- harus dianggap sebagai masalah serius. Sebab, kebencian yang telah dibangun sudah sampai merenggut nyawa dari masing-masing suporter.

Salah satu ujaran kebencian yang menjadi fokus dalam perseteruan Jakmania-Viking adalah chant atau nyanyian kedua suporter yang menyematkan lirik "Dibunuh Saja!" Terlebih yel ini mulai diwarisi ke anak-anak di bawah lima tahun.

"Ujaran kebencian yang membudaya seperti ini bisa jadi bom waktu bagi seseorang untuk melakukan hal-hal destruktif. Maka, jangan heran bentrok fisik mudah terjadi ketika kedua suporter berhadapan di stadion atau di berbagai kesempatan," kata Devie.

Perseteruan The Jakmania dan Viking memang tak jarang memakan korban. Sedikitnya ada enam orang meninggal sejak 2012 sebagai imbas permusuhan mereka.

Sebagian korban meninggal dengan kasus serupa. Menyusup ke dalam stadion meski kepolisian sudah mengeluarkan larangan hadir kepada suporter tim tamu. Terakhir, pemuda asal Jakarta, Haringga Sirla, yang menjadi korban.

Nyawa Haringga tak tertolong usai dikeroyok suporter tim lawan di area Stadion Gelora Bandung Lautan Api,23 September 2018. Meski tak menggunakan atribut Persija, keberadaan Haringga di area stadion diketahui Bobotoh dan berujung maut.

Devie menilai, konflik Jakmania vs Viking meniru perilaku holiganisme yang berasal dari Inggris yang kemudian merambah ke Eropa dan sekitarnya. Namun, para pemangku kepentingan sepak bola sudah menemukan solusi untuk meredam aksi mereka.

Di Inggris, pelaku kerusuhan di stadion bakal disanksi tak boleh menyaksikan pertandingan beberapa tahun atau bahkan seumur hidup. Hukuman ini berlaku di seluruh stadion Inggris.

FA juga sengaja membebaskan pagar pembatas tribune dan lapangan. Tujuannya agar bisa merekam identitas pelaku kerusuhan dengan jelas.

Indonesia memang bukan Inggris. Tapi PSSI dinilai Devie bisa belajar merumuskan sanksi yang ideal sesuai dengan tingkat kesalahan masing-masing.

"Solusi jangka pendeknya adalah hukuman berat bagi siapapun yang melakukan ujaran kebencian. Biar para pelaku jera dan para suporter lainnya mulai memahami bahwa ujaran kebencian model ini bisa menimbulkan sanksi," ujarnya.

Strategi lainnya, lanjut Devie, membuat kesepakatan yang dengan para pemangku kepentingan.

"Operator kompetisi, pemilik klub, kepolisian, pentolan suporter, harus menyepakati regulasi yang dirumuskan bersama. Dosa suporter otomatis jadi tanggung jawab klub. Bila perlu klub dihukum berat agar suporter jera tak bisa mendukung klubnya," terang wanita lulusan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI tersebut.

Devie mengakui, ujaran kebencian memang sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari budaya sepak bola modern dewasa ini. Tapi, fanatisme berlebihan bisa dibatasi dengan sanksi ketat.

Solusi jangka panjang, lanjut Devie, edukasi kepada orangtua agar tak meremehkan potensi bocah terpapar bibit kebencian.

"Orangtua harus waspada dan tidak boleh anggap remeh lagu (dibunuh saja) itu. Jangan beri ruang terhadap budaya bully sejak kecil. Karena kebencian yang tertanam dari kecil bisa jadi bom waktu di kemudian hari," terangnya.

Ia berharap, komitmen untuk menghapus chant 'dibunuh saja' berlanjut di laga Persija vs Persib di SUGBK, Rabu (10/7). Jika tidak, pekerjaan rumah untuk mendamaikan kedua kubu akan semakin berat.