Nasional

Ketika ratusan orang Indonesia yang 'hilang' mendapat kewarganegaraan lagi

Berlian Napitupulu, Konsul Jenderal Indonesia di Davao, menyebut warga Indonesia di Filipina tidak hanya mendapat paspor tapi juga Nomor Induk Kependudukan.

GILANGNEWS.COM - Lebih dari 500 orang asal Indonesia yang puluhan tahun tinggal di Filipina, yang boleh dikata tanpa kewarganegaraan, akhirnya memperoleh paspor Indonesia dalam sebuah acara di Konsulat Jenderal Indonesia di Davao.

Dini hari yang dingin, di tepi dermaga Pulau Balut, Filipina, angin Barat bertiup kencang, membuat ombak bergulung tinggi dan laut tak bersahabat. Namun puluhan orang itu tetap memutuskan berangkat berlayar menuju daratan Pulau Mindanao yang berjarak 13 km, terpisah Selat Saranggani, dengan sebuah perahu motor yang tak begitu besar.

"Menakutkan juga perjalanannya, tapi kami sudah biasa. Dan terutama, ini kesempatan untuk tidak lagi jadi orang stateless," kata Nestor Kuinage, 48 tahun, sesaat setelah turun berlabuh.

"Dengan paspor ini berarti saya sah sebagai warga Indonesia," katanya.

Nestor, dan ratusan orang lain, memenuhi kompleks KJRI Davao selama tiga hari, awal Juni lalu, untuk menjalani proses mendapatkan paspor Indonesia.

Ini merupakan gelombang kedua proses pemberian paspor kepada warga asal Indonesia di kawasan itu, kata Berlian Napitupulu, Konsul Jenderal Indonesia di Davao.

Gelombang pertama, prosesnya berlangsung akhir tahun lalu, dipuncaki pemberian paspor kepada sekitar 300 orang oleh Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, dalam suatu acara khusus, 3 Januari 2018.

"Ini gelombang kedua, dan kali ini agak berbeda," kata Berlian Napitupulu, di tengah kesibukan para staf Deplu staf KJRI dan relawan, yang melakukan pendataan terhadap ratusan orang hari itu.

"Kali ini, kami tak hanya memproses paspor, tetapi juga Nomor Induk Kependudukan (NIK). Data mereka dimasukkan dalam sistem administrasi kependudukan, sehingga mereka nantinya kalau pulang dan menetap di Indonesia lagi, akan bisa punya KTP."

Ia menyebut, data mereka juga dimasukkan dalam sistem portal peduli WNI yang dibuat oleh Kemenlu sebagai mekanisme perlindungan para WNI.

Sudah tinggal sejak dua abad lalu

Dalam pendataan yang dilakukan pemerintah Indonesia bersama pemerintah Filipina dan UNHCR sejak 2011, di Filipina terdapat 8.745 orang yang berdarah Indonesia, namun bukan berarti mereka semua pasti orang Indonesia atau warga Indonesia.

"Dari jumlah itu, 2.619 terdata murni Indonesia. Sementara 2.655 justru murni Filipina, kendati memiliki darah Indonesia. Lalu sebagian memiliki dua kewarganegaraan, yakni anak-anak di bawah 18 tahun yang lahir dari perkawinan campur," kata Berlian.

Mereka terpencar di 28 kantung di Mindanao. Paling banyak di Pulau Balut dan pulau tetangganya, Pulau Sarangani.

Orang-orang itu, khususnya yang dianggap warga Indonesia, selama ini hanya memiliki kartu ACR (Alien Certificate of Registration,) kartu bagi orang asing yang tak memiliki dokumen, namun dicatat resmi bermukim di Filipina.

Mereka adalah generasi ketiga dari orang-orang yang datang dari Sulawesi Utara sekitar dua abad lalu, saat indonesia dan Filipina belum merdeka, dan belum menentukan batas-batas negara.

Saat itu, orang-orang dari Sangir dan sekitarnya terbiasa berlayar menangkap ikan di perairan sekitar Filipina, dan berlabuh di Pulau Balut dan Sarangani, yang jaraknya hanya 75 km dari pulau Marore, salah satu pulau di Sulawesi Utara.

Sebagian dari mereka kemudian bermukim di Balut dan Saranggani, dan di Pulau Mindanao. Sebagian besar menjadi nelayan, atau bertani kopra.

"Ada pula yang datang belakangan, ketika ada boom industri ikan di General Santos, kota yang menjadi pusat industri perikanan Filipina," kata Berlian.

Disebutkan, untuk berkomunikasi dengan warga Indonesia di 28 kantung itu, KJRI menunjuk 16 orang, empat di antaranya perempuan, untuk menjadi penghubung antara warga Indonesia di Filipina dengan KJRI.

Salah satu penghubung itu adalah Jembres Sesamu, yang saat itu sibuk mengurus perjalanan puluhan warga Pulau Balut dan Pulau Sarangani.

"Seharusnya kami berangkat dari Balut lebih awal, namun cuacanya buruk, sehingga kami harus menunggu sampai cuacanya lebih memungkinkan," kata Jembres.

Karenanya, kedatangan di Mindanao jadi lebih siang, dan lokasi pendaratan yang asalnya direncanakan di Margus Bay, dialihkan ke pantai Balangunan, sebuah kampung nelayan yang terletak lebih ke utara.

Dari tempat pendaratan, warga Balut dan Sarangani itu harus berjalan lagi sekitar satu kilometer menyeberangi sungai yang harus ditembus dengan berjalan kaki, atau menggunakan ojek, ke lokasi bis-bis kecil yang akan membawa mereka ke KJRI di Davao, yang jaraknya sekitar empat jam perjalanan.

"Syukurlah semua lancar" kata Jembres yang tampak kelelahan.

Di KJRI, sudah ada sekitar 100 orang lain yang menjalani proses pendataan untuk paspor. Khususnya warga yang tinggal di Margus Bay, di daratan Mindanao.

Salah satunya Niawulain, perempuan berusia 78 tahun yang tinggal di Margus, desa di kawasan pantai di seberang Pulau Balut.

"Di usia saya setua ini, ya saya bisa juga dapat paspor," katanya dalam bahasa Bisaya, yang disampaikan melalui penerjemah.

Niawulain tidak tahu apa yang akan dilakukannya setelah punya paspor nanti. "Mungkin jadi lebih gampang ke sana kemari, tapi mau ke mana juga," katanya tersenyum.

Yang pasti, katanya, dia merasa diakui. "Jadi sama seperti orang Indonesia lain," tegasnya.

Perempuan sepuh ini, sebagaimana sebagian besar warga berdarah Indonesia di sana, tidak lagi, atau memang tak pernah bisa berbahasa Indonesia. Mereka berbicara sehari-hari dalam bahasa Sangir -bahasa daerah di tempat leluhur mereka di Sulawesi Utara, atau bahasa Bisaya- salah satu bahasa daerah di kawasan Midanao, Filipina Selatan.

Menetap atau pulang

Ada pun Ratna Makatiho, 68 tahun, yang begitu antusias untuk memperoleh paspor, bisa berbahasa Indonesia walaupun tak terlalu lancar.

"Kalau sudah punya paspor, saya akan jadi orang Indonesia biasa, walaupun masih menetap di sini," katanya.

"Dan maunya sih, jadi lebih bebas untuk ketemu saudara-saudara di Sangir," tambahnya pula.

"Kalau bisa, nanti saya pulang ke Sangir saja. Tapi tidak tahu," tambahnya pula.

Tentang orang-orang yang mau pulang ini, kata Konjen RI di Davao, Berlian Napitupulu, pemerintah Indonesia sudah mulai menyiapkannya.

"Kami mempersiapkan kuesioner, apakah mereka mau tinggal di sini, atau pulang. Nah yang mau tinggal di sini lah yang diprioritaskan untuk mendapat paspor," paparnya.

Mereka yang mau tinggal itu nantinya diusahakan mendapat izin tinggal dari pemerintah Filipina, yang memungkinkan mereka mencari pekerjaan lain, di luar profesi mereka sekarang, yang kebanyakan adalah nelayan dan petani atau buruh perkebunan kopra.

"Sisanya, yang memilih pulang, kami koordinasikan dengan pemerintah Jakarta dan daerah. Karena mereka belum tentu di kampung itu masih punya rumah atau tanah, karena sudah dua tiga generasi tinggal di sini."

Disebutkannya, Deplu sudah berkoordinasi dengan Pemda Sulawesi Utara, menyiapkan lima pilihan lokasi di Sulawesi Utara bagi yang ingin pulang: Tahuna, Talaud, Marore, Bitung, Manado, Laina.

Rospince Sarageti, 33, adalah salah satu yang belum bisa memastikan, apakah akan menetap atau pulang.

"Ya sekarang ini, kami di sini. Nantinya bagaimana, kalau sudah punya paspor, nanti lihat saja. Tapi yang jelas sangat senang akan mendapat paspor. Jadi merasa berharga saja sebagai manusia," katanya.

Adapun Nestor termasuk di antara yang berniat pulang, karena ibunya sudah terlebih dahulu pulang ke Bitung, beberapa tahun lalu.

"Anak saya juga sudah sempat pulang ke Bitung, tinggal bersama neneknya, dan sekolah di sana, selama setahun. Tapi karena kami, saya dan isteri saya masih di sini, dia kembali ke sini," kata Nestor.

Anaknya kini sekolah setingkat SMP.

"Rencananya, kalau nanti dia sudah lulus sekolah setingkat SMA, kami akan pulang ke Bitung. Saya mau dia jadi orang Indonesia sepenuhnya, bekerja di sana," tegas Nestor, mantap.

Dengan tekad itu pula Nestor menjalani seluruh proses pembuatan paspor saat itu, bersama ratusan orang lain, yang berlangsung sejak pagi hingga malam.

Ia mesti menunggu seluruh proses hari itu selesai, karena ia bagian dari rombongan besar yang akan kembali ke Balut bersama-sama.

Larut malam, rombongan berangkat dengan bis-bis kecil; semula, menuju pantai Balangunan. Sekitar subuh rombongan sampai di sana, beristirahat sekitar tiga jam, menunggu kapal yang akan membawa mereka kembali.

Ada pula Drikson Adilang, 38 yang juga sibuk sebagai penghubung, memandang masa depan secara berbeda.

"Saya tidak tahu. Saya sejak lahir di sini. Orang tua di sini. Kakek nenek, di sini. Tapi saya juga orang Indonesia," katanya nanar, sambil berjalan menuju bis di Balangunan.

"Tetapi, kalau pulang, di sana, juga tak punya tanah. Dan di sini, saya punya lingkungan, kawan-kawan, keluarga. Apakah menjadi orang Indonesia, berarti harus pulang ke Indonesia?" dia melontarkan pertanyaan retorik.

Betapa pun, sebagaimana ratusan orang lain hari itu yang memproses paspor, dan hari ini mendapatkannya ia mengungkapkan, betapa ia merasa dihargai, ketika memperoleh paspor itu.

"Mungkin selama ini kami tak mendapat masalah juga di sini, walaupun tak punya dokumen, dan cuma punya kartu ACR, sebagai orang asing. Petugas Filipina tak menghalang-halangi kami. Warga Filipina juga tak memperlakukan kami secara berbeda," katanya, terutama karena dia dan seluruh warga Indonesia di sana berbahasa Bisaya dengan sangat lancar.

"Namun, memiliki paspor, membuat saya merasa jadi orang yang berbeda saja. Tak terkatakan," dan wajahnya yang kelelahan akibat kurang istirahat sepanjang hari, tampak berseri.


Tulis Komentar